Hari-hari di sekolah mulai terasa seperti panggung sandiwara.
Yuto mulai lebih dekat dengan Aika. Ia menyodorkan buku-buku, ikut dalam tugas kelompok, bahkan menawarkan diri untuk mengantarnya pulang.
Kazuki hanya menatap dari jauh. Dingin. Menghitung. Menunggu.
Aika, walau tahu siapa Yuto sebenarnya, memilih untuk bermain aman. Senyum tipis, tawa palsu. Tapi dalam hati, ia muak.
“Dia menyebalkan,” ucap Aika suatu malam, menatap langit dari balkon apartemen.
Kazuki, yang sedang membersihkan pisaunya, menoleh pelan.
“Tenang saja. Semua orang punya waktu kedaluwarsanya.”
Di balik layar, Kazuki mulai menyelidiki.
Ia menyusup ke ruang guru, memeriksa berkas Yuto. Data sekolah terlalu sempurna. Terlalu bersih. Kazuki menemukan nama sekolah sebelumnya — dan saat dicek, sekolah itu tidak pernah ada.
Yuto adalah agen. Dan Kazuki yakin: dia ditargetkan.
Beberapa hari kemudian, Kazuki mengatur sebuah jebakan.
Ia memancing Yuto keluar sekolah, berpura-pura pergi sendirian ke gudang tua belakang perpustakaan.
Yuto mengikutinya. Instingnya menjerit.
Ketika Yuto masuk, pintu ditutup. Gelap. Sunyi. Dan suara Kazuki terdengar pelan dari balik bayangan:
“Kau cukup pintar... tapi tidak cukup cepat.”
Yuto mencoba keluar, tapi seluruh area sudah dipagari jebakan kecil: tali tripwire, pecahan kaca, dan lorong sempit yang hanya bisa dilewati satu arah.
Kazuki muncul di belakangnya. Pisau di tangan.
Pertarungan singkat terjadi.
Yuto adalah petarung terlatih, tapi Kazuki jauh lebih brutal dan efisien.
Saat Yuto terluka dan terjatuh, Kazuki menatap matanya.
“Maaf... tapi ini bukan tentang keadilan. Ini tentang bertahan hidup.”
Kazuki menusuknya... sekali, dua kali. Yuto tersungkur... sekarat.
Sebelum napas terakhirnya, Yuto tersenyum pahit. “Kalian... tidak akan bisa kabur selamanya.”
Kazuki menatapnya dingin. “Kami tidak berniat kabur. Kami akan lenyap.”
Malam itu,
Kazuki dan Aika membakar tubuh Yuto di dalam drum besi di area pembuangan sekolah. Tak ada yang tahu. Tak ada yang curiga.
Dan sekolah pun kembali sunyi...
Untuk sementara.