Chroma Abyss: The Soul Eater
BAB 1: HARI RETAKAN
Prolog
Satu dekade yang lalu, dunia masih berjalan di atas rel kepastian. Manusia, dengan segala kesombongan teknologinya, percaya bahwa mereka adalah penguasa mutlak planet ini. Mereka membangun menara-menara pencakar langit yang menusuk awan, menghubungkan benua dengan kabel-kabel serat optik, dan memetakan setiap sudut bumi dengan satelit. Mereka adalah puncak rantai makanan, sang penakluk.
Lalu, langit retak.
Itu bukan kiamat yang diramalkan dalam kitab-kitab suci. Tidak ada sangkakala, tidak ada api dari surga. Semuanya dimulai dengan sebuah suara—sebuah nada sumbang yang seolah merobek kain realitas itu sendiri. Di pusat kota Tokyo yang ramai, di tengah lautan manusia dan cahaya neon, goresan pertama muncul di angkasa. Goresan itu berwarna ungu kehitaman, seperti luka memar di wajah langit yang biru cerah.
Dalam sekejap, luka itu menganga. Dari robekan dimensional itu, mimpi buruk terburuk umat manusia mulai berjatuhan. Mereka bukan alien atau monster dari mitologi kuno. Mereka adalah Echo—gema dari ketiadaan, makhluk-makhluk yang lahir dari emosi negatif dan kekosongan jiwa. Bentuk mereka bengis dan tidak wajar; beberapa seperti serangga bengkok yang terbuat dari bayangan, yang lain seperti raksasa tanpa wajah yang tubuhnya terus meneteskan kegelapan.
Kepanikan adalah simfoni pertama yang mereka ciptakan. Suara sirine, teriakan, dan ledakan menjadi musik pengiringnya. Pasukan Bela Diri Jepang merespons dengan cepat. Tank-tank meraung di jalanan, jet-jet tempur membelah angkasa. Tapi semua itu sia-sia. Peluru dan misil hanya menembus tubuh para Echo tanpa meninggalkan bekas, seolah mereka hanyalah fatamorgana yang mematikan. Para Echo, sebaliknya, tidak menyerang dengan senjata. Mereka hanya "memangsa". Siapa pun yang mereka sentuh, jiwanya akan tersedot, meninggalkan tubuh yang kosong sebelum akhirnya menjadi debu.
Di tengah keputusasaan itulah, saat dunia seolah akan berakhir, keajaiban pertama muncul.
Dari antara kerumunan yang berlarian, beberapa sosok manusia melesat maju. Tubuh mereka diselimuti aura energi murni yang berwarna-warni—Chroma. Seorang wanita dengan aura biru es menciptakan dinding es raksasa untuk melindungi warga sipil. Seorang pria dengan aura merah api menebaskan pedang yang terbentuk dari apinya sendiri, dan untuk pertama kalinya, para Echo menjerit kesakitan saat tubuh mereka terbakar menjadi abu.
Mereka adalah para Harmonizer dari Aegis, organisasi rahasia yang telah bersembunyi dalam bayang-bayang sejarah. Hari itu, mereka terpaksa menunjukkan diri. Hari itu, umat manusia menyadari dua kebenaran yang mengerikan sekaligus penuh harapan: mereka tidak sendirian di alam semesta, dan mereka bukan lagi penguasa.
Hari itu selamanya akan dikenang sebagai Hari Retakan.
Bagian 1: Pagi yang Biasa dan Sedikit Malas
KRIIING! KRIIING!
Suara alarm digital yang nyaring merobek keheningan sebuah kamar yang sedikit berantakan. Sebuah tangan kurus terjulur dari balik selimut, menepuk-nepuk meja nakas dengan malas sebelum akhirnya berhasil membungkam sumber suara bising itu.
Kai membuka matanya dengan enggan. Sinar matahari pagi yang cerah menembus celah gordennya, seolah mengejek kemalasannya. Ia meraih ponselnya. Notifikasi tugas sekolah yang belum selesai, pesan pengingat dari ibunya untuk tidak lupa sarapan, dan sebuah berita utama di portal berita lokal: "GEMPA MISTERIUS DAN PEMADAMAN LISTRIK KEMBALI MELANDA DISTRIK 7."
"Gempa lagi, ya?" gumamnya pada diri sendiri.
Itulah dunia yang Kai kenal. Sebuah dunia di mana "gempa misterius" dan "ledakan pipa gas" menjadi berita sehari-hari—sebuah kebohongan publik yang dirancang dengan rapi untuk menutupi kebenaran yang jauh lebih mengerikan. Bagi Kai dan miliaran orang lainnya, para Echo dan Harmonizer hanyalah cerita fantasi.
TOK! TOK! TOK!
Sebuah ketukan keras di jendela kamarnya membuatnya terlonjak kaget. Di luar, sesosok gadis dengan rambut kuncir kuda dan senyum secerah matahari sedang melambai dengan tidak sabar. Lina, teman masa kecilnya, tetangganya, dan mesin penggeraknya yang paling setia.
"KAI! Cepat bangun, pemalas! Festival musim panas sudah mulai! Stan takoyaki terenak di kota bisa kehabisan kalau kita kesiangan!" teriak Lina dari luar.
Kai menghela napas panjang, tapi senyum tipis terukir di bibirnya. "Iya, iya, aku bangun!" balasnya sambil beranjak dari tempat tidur.
Lima belas menit kemudian, Kai berjalan gontai di samping Lina yang sudah berceloteh tentang semua hal yang ingin mereka coba di festival.
"Pertama takoyaki, lalu es serut pelangi, setelah itu kita harus coba permainan menembak hadiah! Aku mengincar boneka kapibara raksasa itu sejak tahun lalu!" kata Lina penuh semangat.
"Kau bilang begitu setiap tahun, dan setiap tahun pula kau gagal mendapatkannya," balas Kai dengan nada datar.
"Itu karena kau tidak pernah mau membantuku! Ayolah, tujuan hidupmu setelah lulus itu apa sih? Masa hanya rebahan dan bermain game?"
Kai terdiam. Pertanyaan itu selalu berhasil membuatnya bungkam. Dia tidak punya jawaban. Lulus sekolah, kuliah, bekerja... semua itu terasa seperti jalur yang sudah ditetapkan, tapi tidak ada satu pun yang terasa benar baginya. Dia hanya... ada. Mengalir mengikuti arus.
Saat mereka melewati sebuah gang kecil, Kai tiba-tiba berhenti. Seekor anak kucing kurus dengan bulu acak-acakan sedang mengeong lemah, mencoba mengais-ngais tempat sampah. Tanpa berkata apa-apa, Kai mengeluarkan sisa roti dari sakunya, meremukkannya, dan meletakkannya di dekat si anak kucing. Ia menunggu sampai kucing itu mulai makan dengan lahap sebelum akhirnya tersenyum.
Lina, yang tadinya akan protes karena Kai berhenti, hanya bisa menghela napas melihat pemandangan itu. "Kau ini... selalu saja begitu," katanya lembut. "Terlalu baik untuk duniamu yang malas itu."
Kai hanya mengangkat bahu dan kembali berjalan. Dia tidak tahu kenapa, tapi dia selalu merasa kasihan pada makhluk-makhluk yang terlihat sendirian dan tak berdaya. Mungkin karena dia merasa, jauh di dalam lubuk hatinya, dia juga sama.
Bagian 2: Langit yang Salah di Atas Festival
Area festival begitu hidup. Aroma manis dari permen kapas, gurih dari takoyaki yang sedang dimasak, bercampur dengan suara tawa anak-anak dan musik dari panggung utama. Kai dan Lina, seperti ribuan orang lainnya, tenggelam dalam kemeriahan itu. Mereka berhasil mendapatkan takoyaki (setelah Lina sedikit menyikut dalam antrean), mencoba es serut, dan kini sedang menuju ke area permainan.
Namun, saat matahari mulai condong ke barat, Kai merasakan sesuatu yang aneh.
Pertama, sebuah dengungan. Dengungan rendah yang seolah tidak berasal dari mana pun, tapi terasa bergetar di dalam tulang-tulangnya. Dia mencoba menutup telinga, tapi suaranya tetap ada.
"Lina... kau dengar itu?" tanya Kai.
Lina, yang sedang fokus membidik hadiah, menggeleng. "Dengar apa? Suara hatiku yang menjerit karena ingin boneka kapibara itu? Tentu saja aku dengar."
Bukan hanya itu. Langit yang tadinya berwarna oranye keemasan kini mulai memiliki semburat warna ungu yang tidak wajar di cakrawala. Burung-burung yang biasanya berkicau kini terbang menjauh dengan panik. Suasananya menjadi... salah. Berat dan menekan.
"Aku serius," kata Kai, wajahnya sedikit pucat. "Rasanya aneh."
Tepat saat ia mengatakan itu, dengungan itu menjadi semakin keras. Getarannya begitu kuat hingga membuat botol-botol di stan permainan berjatuhan. Semua orang berhenti, menatap ke langit dengan bingung.
Lalu, realitas pun robek.
Di langit, tepat di atas pusat keramaian, sebuah retakan hitam keunguan muncul, persis seperti yang terjadi satu dekade lalu. Retakan itu menyebar seperti jaring laba-laba di atas kaca, mengeluarkan suara robekan yang memekakkan telinga.
Kepanikan belum sempat meledak sepenuhnya. Orang-orang masih dilumpuhkan oleh kebingungan dan rasa tak percaya. Apa itu? Fenomena alam? Proyeksi holografik?
Pertanyaan mereka terjawab saat retakan itu menganga menjadi sebuah pusaran kegelapan yang berdenyut. Dan dari dalamnya, sesosok makhluk turun dengan perlahan.
Ukurannya sebesar gedung apartemen. Tubuhnya humanoid, tapi tanpa kulit, hanya otot-otot gelap yang menyatu dengan material seperti batu obsidian. Kakinya yang besar menghancurkan beberapa stan festival saat mendarat, menciptakan gempa kecil. Ia tidak memiliki wajah, hanya sebuah lubang hitam menganga di tempat seharusnya mulut berada, seolah siap menelan seluruh dunia. Goliath Echo.
Keheningan pecah. Digantikan oleh sebuah simfoni teriakan teror.
Dunia fantasi yang selama ini disembunyikan di balik berita "gempa misterius" kini telah menunjukkan wujud aslinya di hadapan mereka semua. Dan Kai, bersama Lina yang gemetar di sampingnya, berada tepat di pusat mimpi buruk itu.
Bagian 3: Para Pemburu dan Sang Mangsa
Kekacauan meledak. Orang-orang berlarian tak tentu arah, saling mendorong, saling menginjak. Kai menarik tangan Lina, mencoba mencari jalan keluar dari lautan manusia yang panik itu. Tapi kemana pun mereka melihat, hanya ada kengerian. Goliath Echo itu bergerak, setiap langkahnya adalah sebuah penghancuran. Ia tidak peduli pada bangunan. Ia memburu kehidupan.
Tiba-tiba, tiga kilatan cahaya—satu hitam, satu merah, satu biru—melesat dari antara gedung-gedung dan mendarat di antara Goliath Echo dan kerumunan. Mereka adalah para Harmonizer Aegis.
Kai melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Kenji, dengan wajah dingin dan tatapan tajam, mengangkat tangannya. Bayangan di bawah kakinya bangkit dan membentuk puluhan tombak hitam yang langsung melesat dan menusuk kaki sang Goliath. [Tusukan Bayangan Beruntun (Shadow Spike Barrage)]!
Di sampingnya, Maya, dengan sarung tangan tempur di tangannya, meraung. Auranya menyala-nyala. Dia melesat maju dan menghantam lutut sang Goliath dengan kekuatan luar biasa. [Pukulan Dampak Singa (Lion Impact Blow)]!
Goliath itu meraung kesakitan, tapi luka-luka itu tidak cukup untuk menghentikannya. Para Harmonizer itu—para pahlawan super yang hanya ada dalam rumor—nyata, dan mereka sedang bertarung mati-matian. Mereka kuat, cepat, dan terkoordinasi. Tapi monster yang mereka hadapi... berada di level yang berbeda.
Pertarungan itu mengguncang bumi. Serangan bayangan Kenji yang mematikan dan pukulan Maya yang menghancurkan hanya mampu menggores permukaan monster itu. Sang Goliath mengayunkan lengannya yang raksasa, memaksa kedua Harmonizer itu melompat mundur.
Frustrasi karena diganggu oleh serangga-serangga lincah itu, sang Goliath sepertinya membuat keputusan. Ia mengabaikan Kenji dan Maya. Ia menoleh, dan lubang hitam di wajahnya seolah menatap lurus ke arah kerumunan yang paling padat—tempat di mana Kai dan Lina masih terjebak, lumpuh karena rasa takut.
Waktu seakan berhenti bagi Kai. Ia melihat lengan raksasa yang terbuat dari batu dan mimpi buruk itu terangkat ke udara. Ia melihat lengan itu mulai turun, mengarah tepat ke tempat di mana Lina berdiri gemetaran di sampingnya.
Pikiran Kai kosong. Tubuhnya tidak mau bergerak. Tidak ada teriakan. Tidak ada rencana. Hanya ada satu perasaan murni yang meluap-luap di dalam hatinya: sebuah keinginan putus asa untuk melindungi satu-satunya cahaya dalam hidupnya yang biasa-biasa saja.
Lengan raksasa itu turun semakin cepat, membawa serta angin kematian. Dan di bawah bayang-bayang kehancuran itu, sesuatu di dalam jiwa Kai yang selama ini tertidur, akhirnya terbangun.
(Bersambung...)