Chroma Abyss: The Soul Eater

Chroma Abyss: The Soul Eater

BAB 2: PEMANGSA DAN MANGSA

Bagian 1: Raungan Jiwa yang Terlahir

Waktu seakan merayap, melambat hingga nyaris berhenti. Bagi Kai, dunia kini tereduksi menjadi satu pemandangan tunggal yang mengerikan: sebuah lengan raksasa, sebesar bangunan, turun dari langit. Angin dari pergerakannya menerbangkan debu dan puing-puing, menampar wajahnya. Teriakan orang-orang di sekelilingnya menjadi suara latar yang jauh, teredam oleh detak jantungnya sendiri yang berdebar di telinga.

Di sampingnya, Lina berdiri mematung. Wajahnya pucat pasi, matanya yang biasanya penuh binar kini melebar dalam kengerian murni. Dia bahkan tidak bisa berteriak.

Aku harus bergerak. Pikiran itu terlintas, tetapi otot-otot Kai seolah membeku, terikat oleh rantai ketakutan yang tak terlihat. Aku tidak berguna. Aku lemah. Aku tidak bisa melindunginya.

Lengan raksasa itu semakin dekat. Kegelapan bayangannya menelan mereka. Inikah akhirnya? Mati bahkan sebelum sempat memiliki tujuan hidup? Mati sebagai seorang pengecut yang hanya bisa menonton?

TIDAK!

Sebuah raungan primal, bukan dari tenggorokannya, tapi dari lubuk jiwanya yang paling dalam, meledak keluar. Raungan itu bukan berisi amarah atau keberanian, melainkan penolakan absolut terhadap takdir yang ada di depan matanya. Penolakan terhadap dirinya yang lemah.

"LINA!!!"

Saat nama itu keluar dari bibirnya, dunia meledak dalam cahaya keemasan.

Bukan cahaya yang menyilaukan, tapi cahaya yang hangat dan murni. Energi itu menyembur keluar dari tubuh Kai, membentuk sebuah kubah pelindung sesaat. Lengan Goliath Echo yang seharusnya menghancurkan mereka, saat bersentuhan dengan cahaya itu, justru mulai terkikis. Batu obsidian dan otot gelapnya larut menjadi partikel-partikel cahaya keemasan, seperti gula yang meleleh di dalam air panas.

Sang Goliath meraung—bukan lagi raungan kemenangan, tapi raungan kesakitan dan... ketakutan. Untuk pertama kalinya, makhluk dari ketiadaan itu merasakan emosi yang seharusnya menjadi makanannya. Ia mencoba menarik lengannya, tapi sudah terlambat.

Aura emas dari Kai tidak hanya bertahan. Ia menyerang balik. Seperti sulur-sulur cahaya, energi itu menjalar, merambati lengan sang Goliath, melahap eksistensinya dengan rakus. Monster raksasa itu, yang tadinya merupakan perwujudan dari kekuatan penghancur, kini terlihat seperti mangsa yang ketakutan. Ia mencoba mundur, kembali ke Abyss Gate di langit, tapi rantai-rantai emas dari Kai menahannya.

Kemudian, tarikan itu dimulai.

Tubuh raksasa sang Goliath ditarik paksa ke arah Kai, menyusut dengan cepat seiring energinya diserap. Di pusat dadanya, sebuah kristal hitam keunguan yang berdenyut hebat—Echo Core miliknya—terekspos. Dengan satu tarikan terakhir yang dahsyat, inti itu tercabut dari tubuhnya, melesat seperti meteor kecil, dan menghantam dada Kai dengan telak.

Rasanya seperti ditusuk balok es dan disambar petir pada saat yang bersamaan. Dunia Kai berputar, dan kegelapan menelannya sepenuhnya saat ia jatuh terkulai ke tanah. Di langit, Abyss Gate yang kehilangan jangkarnya menjadi tidak stabil dan menutup dengan sendirinya dalam sebuah implosi sunyi.

Keheningan yang aneh pun menyelimuti medan perang yang hancur itu.

Bagian 2: Keheningan dan Sosok yang Aneh

Kenji dan Maya mendarat di tanah, terengah-engah. Mereka menatap pemandangan di depan mereka dengan tidak percaya. Monster S-Rank yang nyaris tidak bisa mereka gores, kini telah lenyap. Dan di pusat dari semua itu, terbaring seorang anak laki-laki biasa yang pingsan.

"Apa... apa yang baru saja terjadi?" tanya Maya, suaranya serak.

Kenji tidak menjawab. Dia hanya menatap Kai dengan tatapan penuh selidik dan curiga. Kekuatan macam apa itu? Itu bukan Chroma yang pernah ia lihat. Terlalu murni, terlalu liar, dan terlalu... lapar.

Tiba-tiba, sesosok pria berjalan santai memasuki area itu, seolah sedang berjalan-jalan di taman pada hari Minggu. Pria itu berambut perak, mengenakan mantel laboratorium putih yang sedikit lusuh di atas pakaian kasual, dan sandal jepit. Wajahnya tampak rileks, tapi matanya yang tersenyum menyiratkan kecerdasan yang tajam. Dia adalah Ren.

"My, my," kata Ren sambil melihat ke sekeliling. "Benar-benar pesta kembang api yang meriah. Kalian berdua baik-baik saja?"

"Ren-san!" kata Kenji, terkejut. "Apa yang Anda lakukan di sini?"

"Mendengar ada keributan, jadi mampir," jawab Ren enteng. Matanya kemudian tertuju pada Kai yang terbaring pingsan. Dia berjongkok di sampingnya, mengamati dengan minat seorang ilmuwan yang menemukan spesimen langka. "Fascinating... Jadi ini dia anomali yang muncul di data."

Dia mengangkat komunikatornya. "Tim Epsilon, silakan masuk. Standar Prosedur Amnestik 7-B untuk seluruh area. Aroma lavender, kalau bisa. Biarkan warga sipil yang ketakutan ini mendapatkan mimpi yang indah."

Ren kemudian menatap Kenji dan Maya. "Bawa dia dan gadis di sebelahnya ke fasilitas medis. Pastikan tidak ada yang mengganggunya sampai aku datang. Terutama dari dewan petinggi yang kaku itu."

Bagian 3: Kebohongan yang Menenangkan dan Kebenaran yang Menyakitkan

Kai terbangun oleh suara mesin monitor jantung yang berbunyi teratur. Bau desinfektan yang tajam memenuhi hidungnya. Dia berada di sebuah ruangan putih yang steril. Kepalanya pusing, dan dadanya terasa aneh, dingin namun penuh energi.

"Lina..." Itulah kata pertama yang terlintas di benaknya.

"Kai! Kau sudah sadar!"

Dia menoleh dan melihat Lina duduk di kursi di samping tempat tidurnya, matanya sembap tapi kini penuh kelegaan. "Syukurlah... kukira aku akan kehilanganmu."

"Apa yang terjadi?" tanya Kai, ingatannya masih kabur. "Monster itu..."

"Monster? Kata para petugas, ada ledakan pipa gas besar di area festival," jelas Lina. "Semua orang panik. Lalu... kau mendorongku menjauh dan melindungiku dengan tubuhmu dari ledakan utama. Kau pahlawanku, Kai."

Ledakan pipa gas? Cerita itu terdengar sangat masuk akal, namun terasa salah. Tapi melihat Lina selamat dan baik-baik saja di sampingnya, Kai memutuskan untuk tidak membantahnya. Untuk saat ini, kebohongan yang menenangkan ini sudah cukup.

Setelah seorang dokter (yang sebenarnya adalah agen Aegis) mengatakan jam besuk selesai, Lina pun pamit. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka lagi. Ren masuk sambil membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat.

"Teh melati. Bagus untuk menenangkan saraf," kata Ren sambil meletakkan secangkir di meja samping tempat tidur Kai.

"Anda siapa?" tanya Kai.

"Aku Ren. Anggap saja aku konselor pembimbingmu mulai sekarang," jawabnya sambil duduk dengan santai. "Cerita ledakan gas itu manis sekali, ya? Romantis, heroik... dan sepenuhnya bohong."

Kai menegang. "Apa maksud Anda?"

"Maksudku," kata Ren, senyumnya sedikit memudar, digantikan oleh ekspresi serius. "Tidak ada ledakan pipa gas. Yang ada adalah robekan realitas yang disebut Abyss Gate, dan monster yang keluar darinya disebut Echo. Dan orang-orang sepertiku, yang memburu mereka, disebut Harmonizer."

Ren menjelaskan semuanya dengan sabar. Tentang dunia rahasia yang ada di balik layar, tentang energi Chroma, tentang Aegis.

"Lalu... apa yang terjadi padaku?" tanya Kai, suaranya bergetar. "Cahaya emas itu..."

Ren menyesap tehnya. "Itu pertanyaan yang paling menarik. Harmonizer normal, seperti Kenji dan Maya, melawan Echo dengan kekuatan Chroma mereka. Mereka menghancurkannya. Tapi kau, Kai... kau melakukan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang seharusnya tidak mungkin."

Dia menatap lurus ke mata Kai.

"Kau tidak menghancurkannya. Kau... memakannya. Sampai ke intinya."

Bagian 4: Pilihan di Ujung Jalan

Penjelasan Ren membuat kepala Kai berputar. Dunia yang ia kenal selama 17 tahun ternyata hanyalah sebuah fasad. Dan kini, ia adalah bagian dari dunia mengerikan di baliknya.

"Echo Core itu sekarang menyatu dengan jiwamu," lanjut Ren. "Itu sebabnya kau masih hidup, dan itu sebabnya kau punya energi yang luar biasa besar sekarang. Tapi itu juga menjadikanmu sebuah suar. Kehadiranmu akan menarik Echo lain yang lebih kuat, seperti darah yang menarik hiu."

"Jadi... aku tidak bisa kembali ke kehidupanku yang normal?" tanya Kai lirih.

Ren menggeleng. "Tidak bisa. Kau terlalu berbahaya bagi orang-orang di sekitarmu, terutama bagi gadis bernama Lina itu. Jadi, kau punya dua pilihan."

Dia mengangkat dua jari.

"Pertama: Aegis punya prosedur untuk 'anomali' sepertimu. Kami akan menyegelmu secara permanen dalam kondisi tidur magis. Kekuatanmu akan diredam, kau tidak akan menjadi ancaman. Kau akan aman, tapi hidupmu, secara efektif, berakhir."

Jantung Kai mencelos.

"Kedua," kata Ren, nadanya sedikit lebih lembut. "Kau bisa bergabung dengan kami. Belajar mengendalikan kekuatan mengerikan di dalam dirimu itu. Gunakan kekuatan pemangsa itu untuk memburu para pemangsa lainnya. Hidupmu akan penuh bahaya, kau akan melihat hal-hal yang lebih buruk dari monster tadi. Tapi... kau akan bisa melindungi."

Ren membiarkan pilihan itu menggantung di udara. Kai menunduk, menatap tangannya. Dia teringat kembali pada momen di festival. Perasaan tak berdaya saat melihat lengan raksasa itu turun. Wajah Lina yang pucat pasi. Dia tidak pernah ingin merasakan perasaan itu lagi. Dia tidak pernah ingin melihat wajah itu lagi di orang yang ia sayangi.

Tujuannya yang selama ini kosong, kini terisi.

"Aku... aku akan bergabung," kata Kai, mengangkat kepalanya. Matanya tidak lagi menunjukkan kebingungan, melainkan tekad yang dingin dan membara.

Ren tersenyum, kali ini senyum yang tulus. "Pilihan yang bijak."

Bagian 5: Selamat Datang di Dunia Nyata

Ren membimbing Kai keluar dari ruang medis. Mereka berjalan menyusuri koridor logam yang panjang dan steril. Di ujungnya, sebuah pintu raksasa terbuka dengan desisan hidrolik.

Pemandangan di baliknya membuat Kai terkesiap.

Itu adalah sebuah markas bawah tanah yang sangat besar dan ramai. Puluhan orang berseragam sedang berlatih di berbagai arena, beberapa mengeluarkan api dari tangan mereka, yang lain beradu pedang dengan kecepatan super. Di dinding, layar-layar raksasa menampilkan data dan peta dunia dengan titik-titik merah yang berkedip. Ini adalah jantung dari Aegis. Dunia rahasia yang sesungguhnya.

Di salah satu arena latihan, Kenji dan Maya sedang berdebat. Mereka berhenti saat melihat Kai dan Ren. Tatapan Kenji penuh kecurigaan. Tatapan Maya penuh rasa ingin tahu.

"Selamat datang di Aegis, Kai," kata Ren sambil merangkul pundaknya. "Pelatihan pertamamu dimulai besok. Dan percayalah padaku..."

Ren menyeringai.

"...ini akan jadi sangat menyenangkan."

(Bersambung...)