Kabut senja mulai merambat di antara pepohonan saat Lyelvia menapaki jalanan tanah yang dilapisi guguran daun kering. Hutan ini pernah ia lewati bersama rekan-rekannya. Kini, hanya gema langkahnya sendiri yang terdengar.
Langit mengguratkan warna keunguan yang sendu, sementara angin berhembus membawa aroma tanah lembap dan bunga liar. Di tangan kirinya, ia masih menggenggam bunga biru kecil. Di tangan kanan, pedang tua yang dahulu tak pernah ia cabut, kini menggantung tanpa sarung. Ia siap.
"Dulu... kami pernah melewati hutan ini bersama," bisiknya, matanya menatap langit. "Suara tawa mereka... masih tertinggal di antara bisikan angin."
Sebuah ledakan cahaya memecah kesunyian. Asap sihir membubung dari arah timur, diikuti semburat cahaya biru yang melesat ke langit.
Lyelvia berhenti sejenak. Sorot matanya mengeras. "Sihir arkana tingkat menengah... Ada seseorang di sana."
Ia berlari, langkahnya ringan meski tanah lembap. Begitu tiba di puncak bukit, ia melihat seorang gadis muda dengan jubah lusuh tengah bertarung melawan kawanan makhluk kegelapan—bayangan kelam dengan mata merah menyala dan cakar beracun. Bola-bola api melesat dari tongkat sihir sang gadis, tapi gerakannya mulai melambat. Nafasnya terengah.
"Shade," gumam Lyelvia. "Makhluk kutukan."
Satu makhluk melompat, mencakar dari sisi kiri sang gadis. Tapi sebelum mencapai sasarannya, sebuah kilatan cahaya memancar dari udara.
Lyelvia melompat dari atas bukit. Dengan satu ayunan, pedangnya memancarkan cahaya biru terang, membelah makhluk kutukan hingga lenyap menjadi abu.
Gadis itu terdiam, terkejut, tubuhnya gemetar.
"Siapa kau...?" tanyanya dengan suara ragu.
"Hanya seorang pengelana," jawab Lyelvia tenang.
Ia mengayunkan pedangnya sekali lagi, menghabisi sisa makhluk yang tersisa tanpa satu pun luka. Setelah semuanya hening, ia duduk di bawah pohon, napasnya tenang seperti angin malam.
Gadis muda itu mendekat, masih menatap dengan kagum dan rasa penasaran.
"Namaku Mira," katanya. "Penyihir kelana. Terima kasih karena telah menyelamatkanku."
"Lyelvia," jawabnya singkat.
"Kau kuat… Kau bukan penyihir biasa, bukan?"
Lyelvia tersenyum kecil, tipis, nyaris tak terlihat. "Aku hanya seseorang yang sudah kehilangan terlalu banyak."
Mira terdiam. Lalu, dengan suara yang sedikit bergetar, ia berkata, "Aku juga kehilangan seseorang karena kutukan... Itu sebabnya aku ingin menghancurkan sumbernya. Jika kau juga mengejarnya... izinkan aku ikut."
Lyelvia memandangnya dalam diam. Tatapannya menguji, sekaligus memahami.
"Kalau kau memilih jalan ini," ucapnya pelan, "kau mungkin tak bisa kembali."
"Aku tidak berniat kembali," jawab Mira.
Langit semakin gelap, hanya cahaya bulan yang menyinari jalan di depan. Keduanya mulai berjalan berdampingan, menembus malam dan kabut.
Di kejauhan, siluet pegunungan berkabut mulai terlihat—tempat kuil tua tersembunyi, penuh rahasia yang menunggu untuk diungkap.
Dan dalam keheningan itu, Lyelvia membisikkan kata-kata untuk dirinya sendiri:
"Mereka yang tetap berjalan... bukan karena tak takut. Tapi karena tahu, ada sesuatu yang harus diselesaikan."