Planet F-15508
Tahun 3108 — Seribu Tahun Setelah Kebangkitan TGoE
Langit tampak seperti luka yang belum sembuh.
Retak-retak merah menyala membentang di atas planet F-15508, menyinari puing-puing kota kuno yang pernah dikenal sebagai Zeriveth Prime — pusat teknologi terbesar di zaman kejayaan manusia.
Kini, kota itu mati.
Tak ada lagi suara mesin, tawa, atau nyanyian masa depan. Yang tersisa hanyalah reruntuhan baja, kaca pecah, dan dingin yang menggigit seperti dendam yang belum terbalas.
Sudah satu milenium sejak dunia dikendalikan oleh kekuatan kegelapan bernama TGoE — The God of Evil. Organisasi ini bukan sekadar penguasa, melainkan pembentuk ulang hukum realitas. Mereka tidak hanya merebut kebebasan, tapi juga menentukan takdir.
Dengan energi misterius bernama Destiny, TGoE mengikat 60% umat manusia dalam pola yang tak bisa dilawan. Destiny bukan sihir, bukan teknologi — melainkan kekuatan fundamental yang tumbuh dalam tubuh manusia, membentuk kemampuan, arah hidup, bahkan jalan kematian mereka.
Tapi tidak semua orang memilikinya.
.
.
.
.
.
Di atas menara pengawas yang hampir runtuh, berdiri seorang remaja. Tubuhnya masih kurus, belum sepenuhnya terbentuk oleh pertempuran panjang, namun sorot matanya keras.
Ia hanya 18 tahun — namun telah melihat lebih banyak kematian daripada kebanyakan orang yang hidup tiga kali usianya.
Frozz, begitu ia dipanggil.
Rambut putih perak menutupi sebagian wajahnya, dan kabut dingin terus-menerus keluar dari sarung tangan pelindungnya. Armor ringan yang ia kenakan lebih mirip pakaian yang terlalu besar, namun dari tangan mungil itu memancar kekuatan besar: Destiny bertipe Cryo — pengendalian es.
Tembakan pertama datang dari kejauhan. Frozz tidak bergeming. Ia mengangkat tangan kanan, dan dinding es transparan membentuk perisai yang memantulkan serangan drone TGoE.
Puluhan drone berbentuk serangga meluncur dari arah barat. Frozz memejamkan mata sejenak, menarik napas, dan berlari ke depan. Es membeku di bawah kakinya seiring gerakannya. Dengan satu lompatan, ia meluncur di atas rel es buatannya sendiri, lalu melayang di udara — melemparkan bilah es seperti tombak ke arah tiga drone yang mendekat.
Ketiganya meledak sebelum bisa menembak balik.
Namun jumlah musuh terus bertambah. Frozz jatuh ke tanah, tergelincir, bahunya tertembak sinar plasma. Ia meringis dan bersandar di balik puing.
“Frozz ke markas. Aku butuh backup! Ulangi: ini zona merah!”
Tak ada jawaban.
Lalu, suara lain muncul di alat komunikasinya. Lebih ringan, santai — seperti bukan dari medan perang.
“Hei. Jangan panik dulu. Aku cuma lima ratus meter dari tempatmu. Tungguin aku, ya?”
Frozz memukul dinding puing dengan frustasi. “Rex?! Ini bukan waktunya bercanda!”
“Siapa bercanda? Aku serius. Dan tenang, aku bawa sesuatu yang bisa bikin suasana jadi… dingin.”
“Jangan main kata-kata soal dingin padaku.”
“Ups. Lupa. Maaf ya, Mr. Frosty.”
Frozz ingin menutup sambungan radio, tapi ia tahu satu hal: suara itu, sebodoh dan seabsurd apapun, selalu datang saat ia benar-benar terpojok.
Dari langit, sebuah pesawat kecil berbentuk seperti kapsul bersayap meluncur. Ia tidak menggunakan sistem senjata besar, tapi cukup cepat dan lincah untuk menghindari sensor TGoE. Di bawahnya, satu sosok meluncur turun dengan bantuan sepatu pendorong buatan sendiri.
Kazeichi Rex.
Remaja 18 tahun, berambut hitam pekat, jaket putih, dan ekspresi ceria seolah tidak paham dunia sedang kiamat. Ia tidak memiliki Destiny. Tidak punya kekuatan.
Namun entah bagaimana, ia tetap hidup — dan lebih dari itu, ia membuat orang lain bertahan.
“Yo, Frozz!” teriak Rex saat melayang turun. “Aku datang bawa... em, tangan kosong dan niat baik?”
Frozz hanya mengangkat alis. “Kau ini... manusia aneh.”
“Aku tahu. Makanya aku spesial.”
Beberapa drone menargetkan Rex yang baru mendarat. Ia berputar, menghindar, lalu menjatuhkan koper logam dari punggungnya dan membukanya dengan sekali ketuk. Sebuah perisai energi melengkung muncul, melindungi mereka berdua.
Frozz menatap heran.
“Aku pikir kau nggak punya kekuatan.”
“Aku memang nggak punya. Tapi aku punya otak,” kata Rex sambil menyeringai. “Dan tangan yang nggak bisa diam. Benda ini ciptaanku.”
Drone-drone menembak lagi. Rex melompat ke arah Frozz, menariknya ke belakang perisai.
“Dengar, Frozz. Aku datang ke sini bukan cuma buat menolongmu. Aku datang karena kau penting.”
“Aku cuma remaja yang bisa bikin es.”
“Dan aku cuma remaja yang katanya gak punya masa depan. Tapi tahu nggak?”
Rex menatap mata Frozz.
“Kita bukan bagian dari sistem Destiny. Kita adalah... kebocoran. Dan kadang, kebocoran kecil bisa menenggelamkan kapal sebesar apapun.”
Frozz tidak tahu harus menjawab apa. Tapi kata-kata Rex menggema dalam pikirannya.
“Jadi... kenapa aku?” gumam Frozz. “Kenapa kau ingin aku bergabung denganmu?”
Rex menunjuk ke langit, tempat lambang TGoE terlihat samar seperti hantu.
“Karena mereka butuh dilawan. Dan aku gak bisa melakukannya sendirian.”
Dari balik reruntuhan, satu kapal induk TGoE mulai turun, membawa pasukan baru. Getaran dari tanah menguat. Tapi kali ini, Frozz tidak berlari.
Ia berdiri. Luka di bahunya mulai membeku sendiri. Ia memanggil Destiny-nya — kali ini lebih dalam, lebih terfokus. Es menjalar dari tanah, membentuk medan pertahanan di sekitar mereka. Dinding-dinding kristal biru mencuat seperti tombak yang tumbuh dari bumi.
“Baik,” katanya. “Kalau aku mati hari ini, setidaknya aku tahu aku melawan.”
Rex menepuk punggungnya.
“Selamat datang di Mighty Force.”
Dari kejauhan, kamera tak kasat mata milik TGoE merekam kejadian itu. Mereka tidak tahu: dua remaja, satu dengan Destiny, satu tanpa kekuatan, berdiri melawan kekuatan yang telah menguasai multisemesta selama seribu tahun.
Namun apa yang belum mereka sadari adalah ini:
Rex bukan tanpa kekuatan. Ia adalah misteri yang bahkan TGoE tidak bisa pecahkan.
Dan di dalam tubuhnya, terkunci sesuatu yang sudah tidur selama ribuan tahun.
Sesuatu yang lebih tua dari Destiny.
Sesuatu yang disebut dalam naskah kuno hanya dengan satu nama:
The Origin Core.