Bumi, Tahun 3107
Zona Terisolasi: Sektor Selatan, Wilayah Beku A-2
Langit siang tidak memancarkan cahaya. Awan kelabu menggantung rendah, seolah menindih tanah tandus di bawahnya. Sektor Selatan dulunya pernah menjadi bagian dari Asia Timur, sebelum runtuhnya sistem negara dan kebangkitan TGoE menghapus batas-batas dunia. Kini, wilayah itu tak lain adalah tanah buangan — tempat di mana manusia bertahan hidup seperti bayangan, dan di mana Destiny tumbuh liar atau menjadi liar.
Di tengah lanskap putih membeku dan reruntuhan kota kecil yang tertutup es, berdiri seorang remaja lelaki dengan rambut putih keperakan. Matanya dingin seperti tempat itu sendiri. Ia berdiri di atas tumpukan kendaraan lapuk, tangannya disilangkan, dan butiran salju melayang lembut di sekelilingnya, membentuk pusaran kecil yang taat pada kehendaknya.
Frozz, usia delapan belas tahun. Pemilik Destiny bertipe Cryo — penguasa unsur es dan suhu.
Frozz hidup sendiri di zona beku ini, menolak bergabung dengan koloni bawah tanah atau kelompok perlawanan. Alasannya sederhana: ia percaya pada satu hal — bahwa setiap orang dengan Destiny pada akhirnya akan dikendalikan, entah oleh kekuasaan, harapan, atau kebohongan.
Dan ia tidak akan menjadi bagian dari itu.
Namun hari itu berbeda. Sejak pagi, ia merasakan sesuatu mendekat. Sesuatu aneh, bukan dari sistem TGoE, bukan dari mutan liar — tapi manusia biasa, entah bagaimana... mendekat begitu santai, menembus suhu beku dan medan sensor miliknya.
Dan lalu ia datang.
Seorang pemuda seusianya, dengan rambut hitam awut-awutan, topi butut miring, dan jaket penuh tambalan yang terlalu besar untuk tubuhnya. Ia tersenyum seperti anak kecil yang menemukan mainan rusak.
“Kau Frozz, kan?” tanyanya sambil melambai. “Akhirnya ketemu juga. Gila, zona ini dinginnya kayak mantan yang nyimpen dendam.”
Frozz tak menjawab. Ia hanya menurunkan satu tangan dari pelukannya, dan tanah di sekitar si pemuda langsung membeku. Kabut es mengalir seperti kabut pagi — padat, cepat, mengancam.
Namun pemuda itu masih tersenyum.
“Aku Kazeichi Rex,” katanya ringan. “Tapi cukup panggil Rex. Aku nggak datang buat cari masalah. Aku cuma pengen ngobrol.”
“Tidak ada yang datang ke sini untuk ngobrol,” jawab Frozz datar. “Kau siapa sebenarnya?”
“Aku manusia biasa. Tanpa Destiny. Tanpa senjata. Cuma punya ide dan kaki capek,” kata Rex, melangkah maju walau tanah di bawahnya mulai bersalju es.
Frozz mengangkat alis. “Kau serius datang ke zona beku ini tanpa perlindungan, tanpa armor termal, dan… sepatu bolong?”
Rex menatap sepatunya. “Ups. Ya, itu ventilasi alami. Desain pribadi. Gaya baru, tahu?”
“Ini bukan tempat untuk gaya,” tukas Frozz, lalu dalam sekejap ia menghentakkan kakinya. Pilar es runcing menyembur ke arah Rex dari tanah. Namun pemuda itu dengan lincah berguling, meliuk ke samping, dan menghindar seolah tubuhnya hafal ritme serangan itu.
“Aku tahu kau kuat,” kata Rex sambil bangkit lagi. “Itu sebabnya aku ke sini.”
“Apa maksudmu?” Frozz mempersempit mata.
“Aku sedang membentuk kelompok. Isinya orang-orang dengan Destiny. Yang kuat, tapi gak tunduk pada TGoE. Namanya... Mighty Force.”
Frozz tertawa pelan. “Kelompok pasukan Destiny? Dan kau pemimpinnya?”
Rex mengangguk tanpa ragu.
“Tapi kau bukan pemilik Destiny.”
“Benar. Aku bukan orang yang diberi takdir. Tapi kadang, justru orang seperti akulah yang bisa melawan takdir itu.”
Kebekuan di udara terasa lebih tajam saat Frozz maju mendekat. Suhunya bisa membunuh manusia biasa. Rex berkeringat dingin, tapi tak mundur.
“Kenapa aku?” tanya Frozz.
“Karena aku tahu... kau pernah menyelamatkan anak-anak desa D’nair saat serangan TGoE empat bulan lalu. Padahal kau bisa saja kabur. Tapi kau tidak pergi. Kau membekukan seluruh hutan demi menghambat mereka.”
Frozz menunduk sedikit. “Itu bukan karena kepahlawanan. Itu... refleks.”
“Itu kemanusiaan,” kata Rex. “Kau pura-pura dingin, tapi aku tahu kau peduli. Dan itu lebih berharga dari Destiny jenis apapun.”
Hening.
Lalu Frozz mengangkat tangannya lagi. “Kalau begitu, buktikan. Hadapi aku. Tapi jangan pakai Destiny. Kau bilang kau bisa hidup tanpanya, kan?”
Rex menelan ludah. “Yah... kalau itu maksudmu, baiklah.”
Serangan pertama datang cepat. Frozz meluncurkan gelombang es dari telapak tangannya. Rex tak sempat berpikir — ia lompat ke kanan, menghindar. Frozz bergerak lebih agresif, menciptakan tombak es dari udara dan melemparkannya ke arah Rex.
Rex tak menyerang balik. Ia hanya menghindar. Setiap lemparan, setiap gelombang, setiap gumpalan es yang meledak — ia lawan dengan refleks, kelincahan, dan sesekali... lelucon.
“Woah! Itu hampir kena keningku yang indah!”
“Ups, hampir jatuh. Eh, aku cuma kepleset, bukan kabur!”
“Aku mulai merasa ini kayak latihan senam.”
Frozz semakin cepat. Nafasnya mulai tidak beraturan. Ia tak terbiasa musuh diam dan menghindar — bukan karena lemah, tapi karena tidak ingin melawan.
Akhirnya, Rex terguling dan terjebak di bawah tumpukan es kecil. Frozz mendekat, menodongkan sebilah es ke lehernya.
Rex hanya terengah-engah sambil tersenyum. “Kalau aku mati... tolong tulis di batu nisan: ‘Ia mati dalam keadaan masih bercanda’.”
Frozz tidak tertawa. Tapi tombaknya meleleh perlahan. Ia berbalik.
“Kau idiot.”
“Terima kasih. Itu pujian di dunia saya.”
Frozz menatap langit, mendesah panjang. “Aku akan ikut. Tapi... bukan karena aku percaya padamu. Hanya saja... aku ingin tahu sejauh mana orang tanpa Destiny bisa menantang dunia yang dikuasai oleh takdir.”
Rex berdiri pelan, nyengir. “Wah, baris itu bagus buat promosi kelompok kita.”
Malam Hari – Kamp Sementara Rex
Frozz duduk di depan api unggun kecil yang dilapisi teknologi penstabil panas. Ia menatap Rex yang sedang membongkar alat-alat kecil, menyusun kembali pelindung energi dan drone pemindai.
“Aku masih tidak mengerti,” gumam Frozz. “Kalau kau tidak punya Destiny... bagaimana kau bisa bergerak secepat itu? Refleksmu... bukan milik manusia biasa.”
Rex berhenti, menatap tangannya sendiri. “Aku juga nggak ngerti. Sejak aku sadar di reruntuhan 3 tahun lalu, aku bahkan gak ingat namaku. Tapi tubuh ini… seperti sudah terlatih. Aku belajar sendiri dari nol, tapi kadang aku bisa... melakukan hal-hal yang bahkan aku sendiri gak tahu kenapa bisa.”
Frozz menatapnya tajam. “Kau amnesia?”
“Yap. Total. Tapi... kadang aku merasa, ada sesuatu yang tertidur di dalam diri ini. Sesuatu yang... bukan Destiny, tapi... lebih tua. Lebih dalam.”
Frozz memandangi api. Ia tidak berkata-kata. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa bukan sendirian. Ia dan Rex — dua remaja yang menolak tunduk pada garis hidup yang ditentukan — kini memulai sesuatu.
Mungkin bukan perang.
Tapi mungkin... awal dari akhir tirani.