Lokasi: Stratosfer Bumi – Orbit Rendah
Pesawat Antariksa: Skywatcher
Langit Bumi memudar. Biru tua berganti hitam kelam, ditaburi titik-titik bintang yang tak terhingga. Di dalam ruang kendali Skywatcher, pesawat antariksa yang didesain dengan presisi futuristik, dua sosok muda duduk berdampingan di kursi pilot — Kazeichi Rex dan Frozz.
Meski tampak sederhana dari luar, Skywatcher adalah karya unik: ramping, cepat, dan dilengkapi teknologi yang bahkan melebihi pesawat tempur TGoE. Mesin pendorong warp hybrid, sistem navigasi berbasis pikiran, dan sistem pertahanan otomatis—semuanya dirancang atau dimodifikasi sendiri oleh Rex, meski ia sendiri masih tidak tahu bagaimana ia bisa melakukannya.
"Kenapa F-15508?" tanya Frozz. Matanya menatap ke luar jendela, di mana Bumi semakin kecil.
Rex menghela napas, menyandarkan kepala. "Karena di sana semuanya mungkin bermula. Termasuk... aku."
"Termasuk kau?" Frozz menoleh.
"Aku ditemukan di planet itu. Tidak tahu nama, tidak tahu siapa diriku. Hanya Skywatcher yang tersisa, parkir di tengah reruntuhan. Dan sesuatu dalam diriku bilang... tempat itu menyimpan kunci siapa aku sebenarnya."
Frozz mengangguk pelan, tidak menanggapi lebih jauh. Meski dingin dan terkontrol, ia mulai menganggap Rex bukan hanya pemimpin—tapi teka-teki hidup yang harus dipecahkan bersama. Dan yang jelas, mereka kini satu tujuan: mencari kekuatan untuk melawan organisasi jahat TGoE yang telah menguasai multi-semesta selama seribu tahun.
Rex menyentuh panel di sisi konsol. Sebuah hologram tiga dimensi muncul—peta sistem bintang lokal, memperlihatkan titik merah: F-15508.
"Planet ini dulunya pusat riset," ucap Rex. "Di sinilah ilmuwan dari berbagai semesta membangun Core Nexus—proyek gabungan yang ingin memahami dan menstabilkan energi Destiny di semua manusia."
"Tapi gagal?"
"Tidak diketahui. Proyeknya dihentikan secara misterius. Tak lama setelah itu, TGoE muncul dan menghancurkan semuanya."
Frozz diam. "Kau rasa itu bukan kebetulan?"
Rex menggeleng. "Aku rasa tidak. Aku bahkan yakin... apa pun yang terjadi di sana adalah alasan kenapa aku tak punya Destiny."
Sebelum Frozz bisa menanggapi, suara alarm mendadak menggema.
[PERINGATAN] – Objek Tak Dikenal Terdeteksi.
Jarak: 0.05 AU. Tipe: Drone Pemburu – TGoE – Kelas Hunter.
"Mereka menemukanku lagi," gumam Rex.
"Bisakah kita kabur?"
"Skywatcher dibangun bukan untuk kabur. Tapi untuk menari di antara peluru."
Dengan satu tekanan tombol merah di konsol utama, mesin warp Skywatcher bersinar. Suara lembut berubah menjadi gemuruh plasma. Gaya dorong meningkat drastis.
"Pegangan!" teriak Rex.
Pesawat melesat ke kecepatan sub-warp, menghindari tembakan laser dari drone yang mulai mengejar. Frozz terpaku pada layar, menyadari betapa jauh teknologi pesawat ini dibandingkan milik dunia mereka. Bahkan Destiny pun tak sanggup membendungnya.
Dalam manuver spiral, Skywatcher menembus celah gravitasi dan melompat ke dalam ruang warp. Dalam sekejap, mereka menghilang.
Orbit Planet F-15508 – Satu Jam Kemudian
Planet itu sunyi dan mati. Langitnya merah gelap, penuh debu dan sisa badai ion. Reruntuhan kota kuno tersebar di sepanjang permukaan, dihantui sisa-sisa teknologi yang terbengkalai.
Skywatcher meluncur pelan, mengunci koordinat dan mendarat di landasan tua berdebu, tertutup pasir logam. Saat pintu pesawat terbuka, Frozz dan Rex melangkah keluar mengenakan pelindung atmosfer tipis.
"Destiny terasa... liar di sini," ucap Frozz sambil memejamkan mata. "Seperti ada banyak jiwa yang tidak pernah benar-benar pergi."
"Core Nexus ditinggalkan secara mendadak. Para ilmuwan, teknisi, bahkan penjaga Destiny... hilang begitu saja. Aku ingin tahu kenapa."
Mereka berjalan menuruni lereng menuju menara pusat — bekas fasilitas utama proyek Core Nexus. Di sana, Rex yakin, ia akan menemukan sebagian dari dirinya yang hilang.
Namun saat mereka hampir mencapai pintu utama, tanah bergetar.
Cyberbeast.
Makhluk bio-mekanik setinggi empat meter itu bangkit dari tanah. Tubuhnya dari paduan baja, daging sintetis, dan inti energi Destiny hijau berdenyut di dadanya.
"Penjaga sisa. Pasti warisan TGoE," ujar Frozz sambil menarik napas.
Makhluk itu menyerang tanpa peringatan.
Frozz meluncur maju, Destiny-nya aktif. Es membentuk bilah tajam di kedua tangannya. Ia menangkis dan menebas, tetapi makhluk itu terlalu kuat. Sekali pukul, Frozz terpental.
Rex tetap tenang. Matanya menajam. Tubuhnya bergerak secara otomatis — cepat, presisi, tak terduga.
Dalam sepersekian detik, ia sudah berada di atas bahu Cyberbeast, menancapkan alat pengganggu sinyal ke tulang belakang mesin.
CRACK!
Ledakan listrik kecil menyebar. Cyberbeast mengerang, lalu tumbang.
Frozz menatap Rex, terengah.
"Kau bergerak... seperti orang terlatih."
"Aku bahkan tak tahu bagaimana aku melakukannya," bisik Rex. "Tubuhku bergerak lebih dulu daripada pikiranku."
Mereka berdiri di depan pintu utama Core Nexus. Pintu logam berkarat, setinggi lima belas meter, terbuka perlahan. Di baliknya, lorong panjang menuju masa lalu yang terlupakan.
Rex menatap ke depan. Tatapannya tidak genting, tapi dalam.
"Uh..."Keluhnya.
_______
____
__
"Kita tak menemukan apa-apa... "Ujar Frozz, iya menghela napas pelan
"Yaaahhh... Tak apa, memang begini kerjaan ku..." Rex menjawab santai, iya menatap layar buram pada Skywatcher, hasil nihil membuat Rex terdiam.