Langit tidak pernah lebih sunyi dari saat kehampaan mengambil segalanya.
Tepat di atas atmosfer planet tak bernama di tepi sistem bintang Pheraxis, pesawat antariksa Skywatcher bergerak tak stabil. Alarm meraung di seluruh ruang kendali, lampu merah berkedip gila. Rex, berusia 18 tahun, duduk di kursi pilot dengan peluh menetes di pelipis. Napasnya berat. Di sampingnya, Frozz sedang berjuang menahan kerusakan sistem pertahanan otomatis.
"Aku rasa kita dibuntuti..." suara Frozz terdengar khawatir.
Seketika, layar utama menampilkan siluet besar, gelap, dan menyeramkan: sesosok makhluk humanoid dengan jubah hitam berkibar di ruang hampa. Mata merahnya menyala di antara kegelapan, dan tubuhnya seolah menyatu dengan ruang itu sendiri.
"Zhack..." gumam Rex.
Zhack the Eternal—salah satu ajudan elit TGoE. Pemilik Destiny kegelapan. Ia tak dikenal karena kekuatan brutal semata, tapi karena kekosongan yang ia tinggalkan setelah setiap kemunculannya. Dimana Zhack hadir, cahaya seolah lenyap.
"Rex, sistem perisai tidak merespons!" seru Frozz.
Terlambat.
Zhack melesat bagaikan petir kegelapan, menembus medan gaya Skywatcher seperti pisau menembus udara. Dengan sekali hentak tangan, ia menghancurkan sebagian lambung pesawat, menciptakan ledakan internal.
Rex terlempar keluar dari kabin, tubuhnya melintasi kehampaan antariksa—tidak dengan dramatis, tidak dengan suara. Hanya sunyi. Tubuhnya seperti serpihan kecil, jatuh ke arah planet di bawahnya. Atmosfernya menghantam keras. Api membalut tubuhnya saat ia jatuh seperti meteor.
CRASH!
Tanah keras menyambut tubuhnya.
Asap mengepul. Kerikil beterbangan. Debu logam memenuhi udara.
Hening.
Kemudian batuk—parau, berat, tapi hidup.
Rex terbaring telungkup, tubuhnya nyaris tak bisa digerakkan. Ia menggeliat pelan, meraih punggungnya, dan duduk sambil mengeluh.
"Aduh... tulang ekorku... siapa yang menaruh batu di tengah angkasa gini sih?"
Ia tertawa kecil, batuk lagi, lalu perlahan berdiri. Kakinya sedikit goyah, jelas terkilir, tapi masih bisa menopang. Ia mulai berjalan, pincang, menatap sekeliling: hamparan gurun hitam, langit gelap kemerahan, dan reruntuhan—tanda bahwa peradaban pernah hidup di sini.
"Aku... jatuh dari orbit... dan cuma keseleo kaki?" gumamnya. "Oke, itu aneh..."
Suaranya terhenti saat ia merasakan sesuatu.
Dingin. Gelap. Seolah gravitasi di sekitarnya berubah menjadi sesuatu yang lain.
Bayangan besar perlahan muncul dari balik kabut gurun. Mata merah itu kembali. Jubahnya mengepul seperti asap yang hidup. Tak ada suara langkah, tak ada suara napas. Hanya kehadiran yang menusuk jiwa.
Zhack.
"Jadi ini manusia bodoh yang katanya bisa mengumpulkan pasukan?" suaranya dalam, serak, seperti dua dimensi bicara bersamaan. "Mereka menyebutmu pemimpin. Padahal kau... hanya pecahan kesalahan."
Rex menelan ludah. "Kalau aku pecahan kesalahan, kenapa kau repot-repot datang sendiri, Zhacky?"
Zhack tidak bereaksi.
"Jadi? Mau menyerah atau mau kita joget dulu?" lanjut Rex, senyum miring.
Dalam sekejap, Zhack sudah ada di depan Rex, tangan besarnya mencengkeram leher Rex dan menghantamkannya ke tanah dengan keras. Tanah retak. Udara bergetar.
Tubuh Rex terhempas ke batu besar. Retakan menyebar di permukaan. Tapi Rex tertawa sambil memegangi perutnya.
"Aduh... kau suka main keras, ya..."
Zhack mendekat tanpa ampun. Ia melepaskan gelombang kegelapan dari tangannya—energi Destiny gelap yang membentuk semacam cambuk hitam yang hidup, menyayat udara dan menghantam Rex berulang kali.
Tubuh Rex terpental, terguling di tanah. Debu menutupi seluruh tubuhnya. Tapi ia tetap bergerak. Perlahan. Menyebalkan.
"Hah... ini belum... sarapan," katanya terengah-engah.
Zhack mendekat, kali ini menyiapkan serangan mematikan. Dari telapak tangannya, terbentuk tombak gelap yang berdenyut. Ia melompat dan melemparkan senjata itu langsung ke dada Rex.
BRAKK!!
Ledakan terjadi. Kawah terbentuk. Kabut dan asap memenuhi udara.
Sunyi.
Lalu...
"Aku rasa... aku alergi... tombak..." suara serak itu muncul dari dalam asap.
Zhack menatap. Rex berjalan keluar dari kepulan asap, pakaian sobek, wajah berdarah, tapi tubuhnya tetap utuh. Luka-luka mulai sembuh perlahan, seperti tak terikat aturan biologis biasa.
Zhack menyipit. "Tubuhmu... bukan tubuh biasa."
"Aku juga baru sadar," jawab Rex. "Sepertinya aku lebih keras kepala dari tulangku sendiri."
Zhack menyerang lagi. Gelombang kegelapan mengubah tanah menjadi lubang. Rex menghindar, melompat, terguling, meluncur, seolah tubuhnya tahu ke mana harus bergerak sebelum pikirannya berpikir.
Serangan berikutnya menembus tanah, menciptakan pusaran hitam. Rex terjebak di tengahnya.
Lalu Zhack mendekat dan mengayunkan tinjunya—keras dan padat energi Destiny. Tapi sebelum pukulan itu tiba, Rex menangkis. Bukan dengan senjata. Tapi dengan telapak tangannya sendiri.
CLANG!!
Benturan keras terjadi, tapi bukan Rex yang terpental—Zhack yang terdorong mundur.
Untuk pertama kalinya, mata sang makhluk abadi menyipit sedikit.
"Mustahil..."
Tangan Rex bergetar, tapi ia berdiri tegap. Matanya bersinar—bukan dengan cahaya Destiny, tapi sesuatu yang lebih tua, lebih dalam, dan... lebih tenang.
"Aku tak tahu siapa aku, Zhack. Tapi tubuhku tahu. Dan tubuhku bilang... aku bukan lelucon."
Zhack meraung, suara dentuman hitam meledak dari tubuhnya. Ia melepaskan Destiny-nya sepenuhnya. Langit berubah. Tanah runtuh. Suara tangisan dan bisikan memenuhi udara.
Rex bersiap. Ia mengencangkan ototnya, menurunkan bahunya.
Dan mereka berdua meluncur ke arah satu sama lain.
Pertempuran sejati dimulai.
Serangan demi serangan dibalas. Kekuatan kegelapan bertabrakan dengan tubuh yang tak bisa dimengerti. Zhack memanggil bayangan berbentuk naga hitam, Rex meninju dengan kekuatan yang meledakkan udara.
Tak ada Destiny di tubuh Rex. Tapi entah bagaimana, tiap serangannya mematahkan struktur energi kegelapan. Ia menghajar, menghindar, melompat, dan menghantam dengan kekuatan yang bahkan tak ia pahami.
Di tengah pertarungan, Zhack sempat berseru:
"KAU... BUKAN MANUSIA!"
Dan Rex tertawa sambil memutar bahunya.
"Aku juga penasaran sebenarnya aku ini apa. Tapi kau tahu? Aku lebih suka bikin kau pingsan dulu, baru cari tahu."
Zhack bersiap mengakhiri. Ia menciptakan bola hitam pekat di tangannya—Void Heart, teknik terlarang TGoE yang bisa menghapus eksistensi siapa pun yang terkena.
Ia melemparkan bola itu.
Rex melihatnya. Ia tahu ia tak punya perisai. Tak punya Destiny. Tak punya waktu.
Tapi sesuatu dalam dirinya... terbuka.
Matanya bersinar putih kebiruan. Udara membeku sesaat. Tanah diam.
Dan dalam satu gerakan cepat, ia meninju Void Heart itu.
BOOM!
Bola itu meledak ke segala arah, namun tak menghapus Rex—justru Rex menghancurkannya dari dalam.
Zhack tertegun. Ia berlutut. Kekuatannya bergetar.
"Ini... ini bukan Destiny..."
Rex berjalan mendekat.
"Aku tak tahu nama kekuatanku, Zhack. Tapi aku tahu satu hal—aku tak bisa membiarkan kalian terus menyiksa semesta ini."
Lalu ia mengayunkan pukulan terakhir.
Zhack terpental jauh ke balik batu-batu raksasa.
Sunyi kembali. Hening. Hanya napas Rex yang terdengar.
Ia berdiri goyah. Tapi senyum lelahnya muncul.
"Frozz pasti khawatir banget. Harus cepat kembali."
…