Episode 4: Warisan yang Hilang

Tanah yang membara itu menjadi saksi. Debu naik tinggi, dan angin bergulung membawa suara kehancuran. Di tengah kawah besar yang baru terbentuk, sosok itu berdiri berhadapan—terpisah oleh diam dan ketegangan. Dia masih belum kalah.

Zhack, si pemilik Destiny kegelapan, tubuhnya setengah tertutup jubah yang koyak, berdiri tenang, tapi matanya merah menyala. Nafasnya pelan, tapi berat. Ia tampak tak terusik.

Sementara Rex, berdiri agak membungkuk, tubuhnya penuh goresan, dan luka lebam. Kedua tangannya mengepal, masih mengepulkan sisa panas dari bentrokan sebelumnya. Ia menarik napas dalam, mencoba mengatur ritme jantungnya yang berdetak terlalu cepat.

“Cuma segini?” tanya Zhack datar. “Aku pikir kau akan lebih… menyulitkan.”

Rex menyeringai meski darah menetes dari pelipisnya. “Aku tak menyangka, Elite TGoE memang tak bisa diremehkan…” mendecak

“Dan… Maaf, aku biasanya menyulitkan dengan cara lebih elegan. Hari ini… hari buruk.”

Zhack tidak tertawa. Dia mengangkat satu tangan. Energi gelap mulai terkumpul di telapak tangannya, membentuk bola berwarna ungu gelap, berdenyut dan mendistorsi udara di sekelilingnya.

“Aku tak punya waktu bermain dengan orang tak berguna.”

Seketika, bola itu meluncur.

Rex melompat ke samping, namun energi gelap itu meledak sebelum menyentuh tanah, memancarkan gelombang gravitasi kuat. Tubuh Rex terseret di udara, menghantam batu besar di belakangnya.

Brakkk!

Ia jatuh berdebu, mencoba bangkit. “Oke… itu sakit.”

Zhack muncul di hadapannya dalam sekejap. Sebelum Rex sempat bereaksi, Zhack mencengkeram lehernya dan mengangkat tubuhnya dari tanah. Mata mereka bertemu.

“Kau… bahkan bukan pengguna Destiny. Apa yang membuatmu begitu berani?”ia menatap tajam, tak menghiraukan kekuatan sebelumnya yang membuat dia terpental, itu hanya ia anggap sebagai keberuntungan belaka

Rex tersenyum lemah. “Mungkin… karena aku nggak tahu rasa takut. Atau… mungkin karena aku amnesia dan terlalu bodoh untuk kabur.”

Zhack menghantamkan Rex ke tanah. Retakan menyebar dari titik jatuhnya.

Namun saat Zhack hendak melayangkan serangan berikutnya, tubuh Rex tiba-tiba bersinar samar. Tidak menyilaukan, tidak megah—hanya cahaya aneh berwarna biru keputihan yang mulai merayap di bawah kulitnya.

Zhack mundur sedikit. “Apa itu? Kenapa itu muncul lagi?” Batinnya,

Rex mengerang, memegang kepalanya. Cahaya itu menyebar ke dadanya, lalu ke tangan dan kakinya, membentuk pola yang tampak seperti jaringan bercahaya. Ia merasakan sesuatu mendidih di dalam. Tapi bukan kemarahan. Bukan rasa takut. Sesuatu yang… asing.

Sejenak, Rex terdiam.

Kemudian ia membuka matanya—bersinar.

Dan ia bergerak.

Satu pukulan menghantam perut Zhack, membuat pria itu mundur tiga langkah. Sebelum Zhack sempat menyerap dampaknya, Rex sudah berputar dan menendang ke arah sisi tubuhnya. Tanpa Destiny, tubuh Rex kini bergerak dengan kecepatan dan kekuatan yang bahkan tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Zhack terpental dan menghantam batu besar. Untuk kedua kalinya

Rex berdiri tegak, napasnya mulai stabil. Ia memandang tangannya sendiri, seolah tak percaya.

“Aku… bisa melukai dia?lagi? owh ini bukan keberuntungan Gesss!” Ia melompat senang

Zhack bangkit, dan kali ini ia menarik senjata dari bayangannya sendiri—dua pedang gelap yang mengalir seperti asap padat. “Kau memang menarik… Rex. Tapi ini bukan pertunjukan. Ini pembasmian.”

Gelombang gelap menyelimuti area itu. Zhack menyerang—serangan cepat, terarah, dan mematikan. Rex menangkis dan menghindar. Keduanya mulai bertarung serius, membuat tanah di sekeliling mereka meledak, struktur batu runtuh, dan udara terasa tebal oleh tekanan.

Tubuh Rex terus bergerak seolah digerakkan oleh insting. Serangan yang mustahil dihindari, berhasil ia baca sepersekian detik sebelum datang. Pukulan-pukulannya sekarang menimbulkan gelombang dorong yang membuat medan pertarungan menjadi kacau.

Namun, keanehan itu juga punya harga.

Tiap kali Rex menggunakan kekuatan aneh itu, tubuhnya mulai bergetar. Tangan kirinya terlihat mengalami tremor. Cahaya di pembuluh darahnya mulai berkedip tak stabil.

Zhack memperhatikan. “Kau belum bisa mengendalikannya.”

Rex menggertakkan gigi. “Aku… bahkan nggak tahu ini apa.”

Zhack tersenyum bengis. “Bagus. Maka mari kita lihat… seberapa lama kau bisa bertahan.”

Ia menjentikkan jarinya.

Langit tiba-tiba menghitam, dan bayangan besar menyerupai sayap iblis muncul di belakangnya. Sebuah medan kekuatan kegelapan menyelimuti seluruh area.

“Ini kekuatan penuh Destiny-ku. Bukan bayangan, bukan salinan. Ini adalah Kegelapan Murni.”

Rex melangkah mundur. Tanah di bawahnya mulai terkelupas. Semua terasa berat, seolah gravitasi planet meningkat puluhan kali lipat. Cahaya dari tubuhnya berdenyut keras, seolah ingin meledak keluar.

Zhack melayang di udara, dua pedangnya memanjang dan membentuk busur cahaya gelap. “Bersiaplah, Rex… karena ini akhir dari keberadaanmu.”

Ia menerjang ke depan.

BRAAAAKKK!

Benturan kekuatan terjadi. Cahaya dan kegelapan bertabrakan di tengah-tengah. Suara ledakan mengguncang langit. Gunung kecil di kejauhan runtuh. Air dari danau terangkat ke langit.

Namun…

Tak ada pemenang.

Di akhir ledakan itu, Rex dan Zhack terlempar ke arah berlawanan. Keduanya jatuh, tubuh mereka terguncang, luka di mana-mana.

Rex berusaha bangkit, lututnya gemetar. Cahaya di tubuhnya kini tidak stabil—berkedip cepat, seolah kehilangan sinkronisasi.

Zhack juga berdarah, bagian tubuhnya tampak terbakar. Ia menatap Rex dengan napas berat.

“…Kau lebih menyebalkan dari yang kukira.”

Rex tersenyum letih. “Aku sering dapat pujian kayak gitu.”

Langit bergemuruh.

Sesuatu... mendekat.

Namun bukan bala bantuan.

Cahaya di langit menunjukkan adanya pesawat militer dari TGoE yang mendekat. Zhack memandang ke atas. “Mereka datang terlalu cepat…”

Ia kembali menatap Rex. “Kau belum kalah. Tapi belum menang juga.”

Lalu ia menghilang dalam semburan bayangan, ditarik oleh sistem evakuasi TGoE sebelum pesawat sampai.

Rex jatuh terduduk. Tangannya gemetar. Ia menatap langit.

“...Apa yang barusan terjadi…?”

Suara Frozz terdengar di komlink-nya, panik.

“REX!? Aku membaca lonjakan energi gila di lokasimu! Jawab aku!!”

Rex mengangkat tangannya, menekan tombol komunikasi. Suaranya pelan.

“…Masih hidup. Tapi… aku butuh tumpangan.”

Frozz menghela napas. “Tunggu. Skywatcher dalam perjalanan. Jangan mati, bodoh.”

Rex menatap tangannya. Cahaya itu perlahan menghilang. Tapi jejak panasnya masih tersisa di dalam tubuhnya.