Episode 5: Retakan dalam Diri

Asap dan debu belum sepenuhnya reda. Di tengah kawah raksasa yang terbentuk dari pertarungan dahsyat itu, Rex masih terduduk lemas. Tubuhnya diliputi luka, napasnya pendek dan berat. Namun matanya—masih menatap langit. Masih sadar.

Langkah berat mendekat. Suara tanah retak. Tapi bukan dari musuh.

Pesawat Skywatcher milik Rex turun perlahan dari langit, siluetnya mengiris sisa awan yang tergulung. Bayangannya menyelimuti Rex, lalu pintu belakang terbuka, dan Frozz melompat keluar dengan es membeku di sekeliling kakinya.

“Rex! Cepat!” serunya.

Rex hanya mengangkat satu tangan pelan. “Bukan mimpi, kan? Kau kelihatan agak… cemas.”

Frozz mengangkat alis. “Aku nyaris meledakkan satu kota untuk menyelamatkanmu. Jangan bercanda! Cepat sebelum TGoE datang!”

Ia membantu Rex bangkit. “Zhack?” tanyanya.

“Hilang,” sahut Rex. “Tapi aku juga hampir… hilang.”

Frozz menatapnya lekat. “Tubuhmu—berpendar. Dan suhu tubuhmu melonjak jauh di luar batas manusia biasa. Apa sebenarnya yang kau—”

“Aku nggak tahu,” potong Rex. Ia menggeleng. “Sumpah. Aku bahkan nggak bisa bilang apa yang kulakukan tadi. Tiba-tiba... rasanya semua gerakanku dipercepat.”

Mereka berjalan tertatih ke dalam Skywatcher. Pintu menutup. Pesawat naik ke udara dan menghilang dari kawah, meninggalkan tempat itu dalam keheningan dan reruntuhan. Sebelum akhirnya pesawat dari TGoE menyusul.

––

Beberapa jam kemudian, Rex berbaring di ruang perawatan Skywatcher. Luka-lukanya telah dibersihkan dan diperban oleh sistem medis otomatis. Namun pikirannya jauh lebih kacau daripada tubuhnya.

Ia mencoba mengingat kembali momen saat melawan Zhack.

“Ketika aku pukul dia… aku nggak lihat diriku bergerak. Tapi tiba-tiba aku udah di depannya. Kayak… waktu berhenti?” bisiknya.

Frozz berdiri di samping, mengamati monitor. “Tidak. Waktu tetap jalan. Tapi kau yang bergerak melampaui batas persepsi manusia. Sistem sensor bahkan sempat kehilangan jejakmu selama dua detik penuh. Seolah kau teleportasi… tapi tanpa portal.”

Rex terdiam.

Frozz melanjutkan. “Rex, kau sadar... gerakanmu tadi nyaris mencapai kecepatan cahaya?”

Rex tertawa kecil. “Kau serius? Aku bahkan nggak pernah bisa menang lomba lari di akademi waktu kecil…”

“Ini bukan candaan.”

Suasana menjadi hening. Mesin Skywatcher berdengung lembut di latar belakang.

“Kalau kekuatan ini memang nyata,” ujar Rex pelan, “kenapa aku nggak bisa mengontrolnya?”

“Karena mungkin… kekuatan itu bukan milikmu dari awal,” kata Frozz lirih. “Atau mungkin, kau belum sepenuhnya membangunkannya.”

Rex menoleh. “Kau tahu sesuatu, Frozz?”

Frozz menggeleng. “Tidak. Tapi aku tahu satu hal. Destiny tidak akan bereaksi seperti itu pada seseorang yang tidak memilikinya.”

Rex memejamkan mata. Tubuhnya masih bergetar. Kadang muncul kilatan cahaya samar di bawah kulitnya, lalu menghilang. Seperti sesuatu yang mengendap dan ingin keluar, tapi tidak tahu bagaimana.

––

Beberapa hari kemudian.

Skywatcher mendarat di sebuah planet terdekat: Delta Vornis, planet tandus dengan langit ungu dan lembah-lembah kristal. Tempat ini dijadikan markas latihan sementara oleh Rex dan Frozz.

Rex berdiri di tepi tebing, menatap padang luas di bawahnya. Angin meniup rambutnya. Tangannya terulur, mencoba membangkitkan energi itu lagi. Tapi tidak berhasil.

“Rasanya seperti menyalakan api tanpa korek. Atau membuka pintu yang tak punya kunci,” gumamnya.

Frozz berdiri beberapa meter di belakang, bersandar pada dinding kristal. “Mungkin kau harus berhenti mencoba. Dan membiarkan tubuhmu yang bicara.”

Rex menoleh. “Maksudmu?”

“Kau ingat saat kau bergerak secepat cahaya melawan Zhack? Kau tidak mencoba. Kau hanya… bertahan.”

“...Insting.”

Frozz mengangguk. “Kekuatan yang kau miliki, mungkin bukan sesuatu yang bisa dikendalikan dengan pikiran. Tapi dengan perasaan. Atau situasi.”

Rex menatap tangannya lagi. Lalu mengepalkannya. “Kalau begitu… mari kita ciptakan situasi itu.”

––

Latihan dimulai.

Frozz menciptakan arena es luas di lembah, memantulkan cahaya ungu dari langit Delta Vornis. Rex berdiri di tengah arena, sementara Frozz mulai menembakkan peluru es ke arahnya.

Rex menghindar.

Satu.

Dua.

Tiga.

Namun tidak cukup cepat. Bahunya tertembak es tumpul. Ia jatuh terguling.

“Ayo!” seru Frozz. “Jangan pikirkan caranya! Rasakan saja ancamannya!”

Rex mengerang, bangkit. Darah menetes dari pelipisnya.

Lalu Frozz melompat, menciptakan serangan area—es berduri muncul dari tanah dan mengepung Rex.

Dan di saat itulah...

CRAAASH!

Seketika tubuh Rex menghilang dalam kilatan cahaya pendek.

Saat ia muncul kembali, ia sudah berdiri di belakang Frozz—sejauh 40 meter dari posisi semula.

Frozz terkejut. “Itu dia!”

Rex terengah. “Aku… bergerak lagi. Tapi… kepalaku pusing.”

Tubuhnya goyah. Ia hampir jatuh, tapi Frozz menangkapnya.

“Kau terlalu memaksa. Kau belum bisa menahan beban kecepatan itu. Setiap sel tubuhmu butuh waktu beradaptasi.”

Rex tersenyum. “Tapi itu berhasil, kan?”

Frozz mengangguk. “Iya. Itu berhasil.”

––

Di kejauhan, dari atas salah satu bukit Delta Vornis, seseorang memperhatikan mereka.

Matanya menyala merah. Armor hitamnya menyatu dengan lingkungan sekitar.

Zhack.

Ia tidak datang untuk bertarung.

Belum.

Tapi ia tahu sekarang.

“Jadi… itu kekuatanmu sebenarnya, Rex. Bukan Destiny. Tapi sesuatu yang bahkan tidak bisa diklasifikasikan.”

Ia menatap langit.

“TGoE akan tertarik pada ini. Tapi aku... ingin melawanmu sekali lagi, sebelum mereka mengotori pertempuran kita.”

Zhack menghilang dalam bayangan, menyisakan jejak hitam samar di batuan.

––

Di dalam Skywatcher, malam hari.

Rex duduk sendirian di kursi kokpit, memandangi bintang-bintang.

“Kenapa aku? Apa yang sebenarnya aku miliki?” gumamnya.

Tidak ada jawaban. Tapi ia tahu, dunia tidak akan memberinya waktu lama untuk mencari tahu. Karena di balik semesta ini, badai sedang berkumpul.

Dan ia—mau tak mau—harus jadi pusatnya.