Skywatcher meluncur tenang di antara gugusan bintang. Planet Oureon tinggal tiga puluh jam lagi dalam kecepatan penuh. Di ruang utama kapal, Rex sedang merekayasa ulang bagian bawah panel kendali. Frozz membaca peta kuantum Oureon, sedangkan Pyro—dengan gaya khasnya—menghias helm tempur dengan stiker api.
“Gimana? Keren, kan?” Pyro mengacungkan helm barunya.
Rex menoleh sekilas. “Lo nempelin stiker di peralatan tempur kayak anak TK.”
“Kalau itu yang bikin musuh meremehkan kita, itu strategi,” sahut Pyro.
Frozz melirik. “Atau musuh malah kasihan.”
“Justru itu jebakannya!” Pyro tertawa.
Suasana dalam Skywatcher begitu ringan. Terlalu ringan, seolah-olah semesta sedang menarik napas sebelum teriak.
Dan benar saja.
Alarm tiba-tiba meraung. Lampu di ruang kendali berpendar merah. Di layar depan, muncul notifikasi besar:
“DETEKSI OBJEK MENDADAK – INTERSEPSI DARI DEPAN DAN BELAKANG.”
Rex berdiri cepat. “Frozz, kendali belakang! Pyro, siap di senjata pertahanan!”
Frozz menekan panel holografik. “Tiga kapal kecil, model TGoE. Dua di depan, satu belakang… dan—tunggu—”
Tiba-tiba seluruh kapal terguncang. Dentuman menggelegar dari sisi kanan Skywatcher.
“—Mereka sudah tembak duluan!!” teriak Frozz.
Pyro meloncat ke kursi meriam belakang. “Akhirnya! Aksi!”
Rex menggertakkan gigi. “Pasang perisai reaktif. Aktifkan sistem mimikron—buat mereka pikir kita terbakar.”
Skywatcher segera memuntahkan percikan api buatan, mengecoh sensor musuh. Tapi TGoE bukan musuh bodoh.
Mereka mulai mengepung.
“Frozz, buatkan kabut es buatan di luar kapal. Hambat visual mereka,” kata Rex cepat.
“Siap.”
Frozz membuka saluran ventilasi atas dan melepaskan gelombang uap dingin. Luar angkasa yang tadinya terang berubah menjadi buram. Pyro menembak secara acak—untuk mengalihkan perhatian.
“Kita terjebak dalam Formasi Kerucut. Ini skema TGoE buat nangkap kapal kecil,” ujar Rex.
“Gimana cara keluar?” tanya Frozz.
Rex membuka panel rahasia di meja depan. Di dalamnya ada joystick kecil dan tampilan 3D penuh dari pesawat Skywatcher.
“Pakai ini.”
Dengan cepat, ia menyambungkan joystick itu ke sistem utama. Skywatcher langsung berbelok tajam ke kanan, lalu berputar vertikal dalam gerakan yang mustahil.
“Lo ngendaliin pesawat kayak main game!” seru Pyro.
“Memang ini game,” jawab Rex. “Tapi nyawanya nyata.”
Skywatcher menembus jalur bawah kapal musuh, melepaskan bom kejut mini dari ekor pesawat. Dua dari kapal musuh terguncang—satu kehilangan kontrol dan menabrak asteroid kecil.
Namun satu tetap mengejar. Dan lebih cepat.
“Yang satu itu beda,” ujar Frozz sambil membaca data.
“Teknologinya... lebih baru. Lebih kuat.”
Rex menarik tuas. “Baik. Kita berhenti kabur.”
“Eh?” Pyro membalik. “Maksud lo?”
“Kita berbalik dan lawan mereka di luar.”
“YEAH!” Pyro berdiri dan bertepuk tangan.
Frozz menghela napas. “Akhirnya…”
Skywatcher menukik tajam dan membuka semua pintu luar.
mereka bertiga melompat ke luar angkasa—dengan pelindung udara khusus.
Rex mendarat di atas asteroid kecil. Frozz membekukan permukaan untuk menciptakan pijakan. Pyro berdiri di atas pecahan logam, dikelilingi api yang menyelimuti tubuhnya seperti jubah.
Dari kejauhan, pasukan TGoE turun dari kapal utama. Dua puluh prajurit bersenjata, masing-masing dengan Destiny tipe baja dan plasma. Semua mengenakan armor hitam berlogo mata satu.
“Target dikonfirmasi: Rex. Tanpa Destiny,” terdengar suara pemimpin pasukan dari pengeras suara.
“Tugas kita adalah menangkap. Bukan membunuh. Kecuali terpaksa.”
“Terpaksa, katanya,” Pyro menyeringai. “Waktunya bersenang-senang.”
Frozz mengangkat tangannya. “Lima detik.”
Rex melirik. “Apa?”
“Lima detik sebelum mereka menembak duluan.”
Dan benar saja, BLAM!
Hujan tembakan energi menghantam posisi mereka.
Rex melesat seperti cahaya, bergerak zigzag melintasi tembakan. Ia meninju satu prajurit dan membuat armor-nya hancur berantakan. Tak menunggu, ia melompat ke atas, menghantam dua lagi dengan tinju bercahaya misterius.
Pyro berteriak, “Waktunya teknik baruuu—Firework Punch of Destiny!”
“Masih jelek,” sahut Rex sambil menghindar.
Ledakan api menghancurkan lima prajurit sekaligus, membuat sisa mereka terpental.
Frozz mendarat di tengah arena. Ia menancapkan tangannya ke tanah asteroid, dan seluruh permukaan beku dalam hitungan detik. Lawan-lawannya terpeleset.
“Serang dalam formasi!” teriak pemimpin TGoE.
Tetapi formasi mereka segera hancur karena Rex muncul di tengah, menghancurkan tanah beku dengan satu pukulan misterius yang menciptakan celah gravitasi kecil.
“Bro, apa itu?” tanya Pyro.
“Gak tahu. Tapi berhasil,” jawab Rex.
Rex menarik alat dari sabuknya—sebuah bola kecil bercahaya biru.
“Ini bukan senjata,” katanya. “Tapi umpan hologram. Kita bisa bikin tiruan kita tiga kali lipat banyaknya.”
Ia melempar bola itu ke udara. Tiba-tiba, sepuluh versi Rex, Pyro, dan Frozz muncul, semua bergerak cepat seperti aslinya.
Musuh panik. Mereka menyerang hologram dan mengacaukan formasi sendiri.
“Sekarang!” seru Frozz.
Tiga pahlawan kita menyerbu ke depan. Pyro melompat, menciptakan ledakan berbentuk naga api. Frozz membuat paku es dari langit dan menjatuhkannya seperti hujan. Rex muncul di tengah mereka, seperti kilat.
Prajurit demi prajurit tumbang.
Hingga akhirnya…
“Berhenti.”
Suara itu menghentikan segalanya.
.
.
.
.
Dari kapal utama TGoE, sosok tinggi menjulang muncul. Mengenakan armor gelap keunguan dengan jubah panjang, ia melayang pelan ke tengah medan perang.
Di dadanya, simbol TGoE lebih besar. Dan di tangan kanannya, terdapat Destiny berbentuk belati kristal—berpendar ungu pekat.
Wajahnya sebagian tertutup topeng. Tapi matanya… tajam. Mematikan.
Semua pasukan TGoE mundur.
“Komandan…” bisik Frozz.
Rex menatapnya. “Siapa dia?”
Frozz menjawab lirih. “Komandan kelas Omega. Salah satu dari lima tangan kanan TGoE.”
Komandan itu angkat suara. Suaranya berat, dalam, dan dingin.
“Rex… Frozz… Pyro… Aku penasaran seperti apa kalian. Sekarang aku lihat langsung. Kalian... bukan ancaman. Hanya kebisingan.”
Pyro mengangkat tinjunya. “Kebisingan bisa jadi ledakan, tahu nggak?”
Komandan mengangkat belati Destiny-nya.
“Aku tidak perlu membunuh kalian sekarang. Tapi… akan kuberi sedikit rasa.”
Ia menebas udara.
Garis ungu membelah ruang.
Udara membeku. Asteroid retak.
Dan Rex—yang bergerak seperti cahaya—hampir tertangkap.
Hampir.
Tapi ia lolos. Dengan napas berat.
Komandan hanya tersenyum.
“Lain kali… aku tidak akan meleset.”
Lalu ia lenyap.
Pasukan TGoE yang tersisa mundur mengikuti komandan. Dalam hitungan menit, mereka semua menghilang dari radar.
Skywatcher kembali stabil.
Rex, Pyro, dan Frozz berdiri di atas asteroid yang kini sunyi dan penuh bekas pertempuran.
Mereka terdiam.
“Dia… terlalu kuat,” bisik Pyro.
“Dan dia tidak serius,” tambah Frozz.
Rex mengepalkan tinjunya. Matanya menatap ke arah langit kosong.
“Aku… ingin tahu… kenapa aku bisa bergerak secepat cahaya, tapi masih terasa lambat di depan dia?”
Frozz menatapnya. “Kita butuh lebih banyak sekutu.”
Pyro menyahut, “Dan nama jurus yang lebih keren.”
“Fokus, Pyro,” balas Frozz.
Mereka kembali ke Skywatcher. Rex duduk lama di kursi pilot.
“Kita tetap lanjut ke Oureon,” katanya pelan.
Frozz dan Pyro menatapnya.
“Kita gak bisa berhenti di sini.”
Dan saat Skywatcher kembali meluncur ke dalam bintang-bintang...
Jauh di tempat lain, di ruang gelap penuh kristal ungu...
Komandan itu berdiri di depan siluet besar, dengan enam mata menyala.
“Dia mulai menyatu.”
“Lanjutkan pengintaian. Jangan biarkan dia mengingat semuanya.”
“Jika dia sadar... semua akan berakhir.