Langit Volkra-7 perlahan menggelap saat pesawat Skywatcher meninggalkan atmosfer berapi planet itu. Di dalamnya, suasana justru terasa lebih hangat—bukan karena sisa panas dari Pyro, tapi karena untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Rex tidak sedang bertarung, tidak sedang dikejar, dan tidak sedang dibakar hidup-hidup.
Ruangan utama Skywatcher cukup lega: lantai metalik berkilau, jendela transparan besar yang menampilkan bintang-bintang, dan meja makan lipat di tengah ruangan. Frozz duduk bersandar di kursi dengan tangan disilangkan, matanya tertutup. Ia tampak seperti sedang mediasi, tapi sebenarnya hanya tidur sambil duduk.
Pyro duduk bersila di lantai, dikelilingi snack packs yang entah darimana ia temukan—dan sedang membakar marshmallow di ujung jari telunjuknya.
Rex berdiri di dapur mini, menuangkan sup kaleng ke dalam mangkuk, sesekali melirik ke arah Pyro.
“Lo sadar kan, kau bisa bakar makanan gue dari jarak dua meter?”
Pyro menyeringai. “Namanya juga mood lighting. Biar lebih berasa suasana makannya.”
“Suasana kebakaran, iya.”
“Eh, lo mau marshmallow gak?” tanya Pyro, mengacungkan satu yang gosong parah. “Keren ini. Aku panggang pake teknik baruku.”
Rex menatapnya curiga. “Jangan bilang namanya ‘Mini Sweet Burn Something’.”
“Bukan.” Pyro menggigit marshmallow-nya. “Namanya Fluffy Fire Edition V.2.”
“Lebih buruk dari yang kukira.”
Mereka makan dalam diam selama beberapa menit, masing-masing tenggelam dalam pikiran. Di luar, bintang-bintang bertebaran, dan planet-planet berwarna ungu serta biru lewat dengan lambat di balik jendela transparan kapal.
“Jadi,” kata Pyro sambil menyuap keripik pedas ke mulut, “kemana kita sebenarnya?”
Rex menyesap supnya. “Planet Oureon. Salah satu dunia terdalam di Cluster Abyssal.”
Pyro mengangkat alis. “Kedengerannya… gelap.”
“Dan berbahaya,” sambung Rex. “Tapi katanya di sana ada pengguna Destiny tipe gravitasi. Frozz dapat info dari jaringan pasarnya. Dia katanya kuat.”
Pyro mengangguk, lalu merebahkan tubuhnya di lantai kapal, tangannya dijadikan bantal.
“Lo tau, sebelum ketemu lo, gue kira orang yang ngajakin lawan TGoE itu pasti sosok besar, bijak, jenggot panjang gitu… bukan remaja kayak lo, apalagi yang nggak punya Destiny.”
Rex nyengir. “Maaf, aku gagal memenuhi ekspektasi Gandalf lo.”
“Kau memang bukan Gandalf. Lebih kayak... hobbit yang tersesat di pesawat luar angkasa.”
“Tapi hobbit-nya bisa mukul api pakai tangan kosong,” jawab Rex.
“Touché.”
Suasana mulai melunak. Frozz masih tertidur—atau pura-pura tidur, susah ditebak. Pyro dan Rex kini duduk di atas meja makan, kaki menggantung.
“Kau nggak takut ya?” tanya Pyro tiba-tiba.
Rex menoleh. “Takut apa?”
“Ya… berhadapan langsung sama organisasi yang udah nguasain multi-semesta selama seribu tahun. Nggak punya Destiny. Belum tahu apa rahasia kekuatanmu. Dan pasukanmu… ya baru dua orang, sama satu es batu jalanan dan satu korek api ambulans.”
Rex terdiam. Dia menatap jendela pesawat, melihat cahaya bintang yang diam tapi tak pernah mati.
“Aku nggak tahu ini suara siapa dalam kepalaku, tapi sejak bangun tanpa ingatan, aku tahu satu hal: Aku nggak bisa biarin dunia terus kayak gini. Dunia yang dikuasai rasa takut, dikendalikan Destiny, dan diisi orang-orang yang menyerah. Kalau aku bisa berdiri—meski sendiri—dan bilang ‘cukup’, mungkin itu udah jadi langkah pertama.”
Pyro menatapnya lama. Api di rambutnya mengecil, lalu padam. Suara pesawat jadi satu-satunya yang terdengar.
“…Lo serius ngomong kayak gitu atau lo ngutip dari film?”
“Bisa dua-duanya.”
“Gila juga lo.”
Rex tersenyum. “Makanya lo ikut.”
Pyro mengangguk pelan. “Dan gue gak nyesel.”
Beberapa jam berlalu. Frozz akhirnya bangun dan langsung masuk ke dapur untuk membuat teh es (karena tentu saja dia pengguna Destiny es). Pyro tertidur dengan punggung menempel ke dinding, mendengkur pelan sambil memeluk kantong snack seperti boneka.
Rex masuk ke ruang kendali, sendirian. Panel kendali Skywatcher menyala redup, menampilkan jalur orbit menuju Oureon.
Ia duduk di kursi pilot, lalu menyalakan satu rekaman hologram kecil yang pernah ia temukan di kokpit—satu-satunya petunjuk tentang masa lalunya.
Gambar muncul: seorang wanita berambut hitam panjang dengan mata tajam menatap ke arah kamera. Suaranya pelan, tapi jelas.
“Kalau kau melihat ini, itu berarti aku gagal menghentikan mereka. Tapi aku yakin… kekuatan itu sudah tumbuh dalam dirimu. Jangan takut. Jangan berhenti. Percayalah, Rex. Dunia ini belum selesai. Kamu… belum selesai.”
Rekaman berhenti. Rex menghela napas panjang, lalu bersandar.
“Siapa aku sebenarnya…”
Keesokan harinya, suasana di dalam Skywatcher jauh lebih hidup. Frozz sedang membaca majalah Destiny Digest, Pyro duduk di lantai sambil menulis daftar nama jurus barunya di atas tablet, dan Rex memeriksa senjata-senjata kecil yang ada di ruang simpan.
“Dengar ini,” kata Pyro sambil menyeringai. “Gimana menurut kalian nama teknik: Flame Tornado Pancake Deluxe?”
Frozz menatapnya datar. “Itu nama jurus atau menu sarapan?”
“Multifungsi,” jawab Pyro bangga.
Rex mendekat dan melihat daftar itu. Ia membaca keras-keras:
Flaming Uppercut of Friendship
Ultra Burny Surprise
Explodo Flamey Strike (maybe too much?)
The Fire That Does Things
Hot Hands McGee
“Bro… serius? Yang nomor lima itu kayak nama komedian.”
“Gue sedang eksperimen artistik.”
“Eksperimen penamaan gagal total.”
“Eh, lo kan gak punya jurus bernama, jadi lo gak boleh nge-judge!” Pyro membalas.
“Makanya aku bisa hidup lebih tenang.”
Waktu terus berjalan. Planet Oureon masih jauh—sekitar dua hari perjalanan dengan kecepatan maksimal. Tapi suasana di dalam Skywatcher mulai berubah. Hari-hari penuh perang dan api terasa lebih jauh, dan momen ini terasa… damai.
Namun, damai tidak pernah bertahan lama di hidup Rex.
Beberapa jam kemudian, Skywatcher mendeteksi sinyal tak dikenal.
Rex menoleh ke layar. “Apa itu?”
Frozz mendekat. “Sinyal distress?”
Pyro melongok dari belakang. “Atau jebakan.”
Rex menyesuaikan radar. Di layar muncul siluet pesawat kecil—terombang-ambing tanpa arah.
“Sumber dari orbit asteroid terdekat,” kata Frozz. “Tidak ada identifikasi resmi. Tapi sinyalnya lemah.”
“Kita dekati,” kata Rex.
“Mungkin kita bisa bantu,” tambah Pyro.
“...Atau ketemu masalah baru.”
Skywatcher meluncur menuju asteroid terdekat. Kabut kosmik menutupi sebagian pandangan, dan sinyal mulai mengganggu instrumen.
Pesawat kecil itu terlihat sekarang. Rusak parah. Tidak ada tanda-tanda energi aktif, tapi lampu sinyal menyala redup.
“Docking manual,” kata Rex. Frozz membantu menstabilkan posisi pesawat, dan Skywatcher berhasil menempel di sisi lambung kapal misterius itu.
Rex mengenakan pelindung udara ringan, lalu melangkah masuk ke kapal asing bersama Frozz dan Pyro.
Di dalamnya… sunyi. Gelap. Hanya suara langkah mereka yang menggema.
Mereka menyusuri lorong-lorong sempit, sampai akhirnya tiba di ruang utama.
Di sana, ada satu kapsul tidur. Retak. Terbuka.
Dan kosong.
Frozz mengangkat senjatanya. “Ini tidak terasa benar.”
Pyro menyalakan api kecil di tangannya. “Mungkin dia kabur?”
Lalu—BUM!
Pintu di belakang mereka tertutup otomatis.
Sinyal dalam kapsul berbunyi.
Rekaman hologram menyala. Kali ini, bukan wanita misterius. Tapi seorang pria dengan mata merah, dan simbol TGoE di bahunya.
“Untuk siapa pun yang menemukan ini… kalian terlambat. Aku sudah bangun.”
Rex menegang. “Apa maksudnya?”
Rekaman itu tersenyum sinis.
“Kami tahu kalian sedang mengumpulkan kekuatan. Tapi... kami juga. Lain kali kita bertemu, kalian akan menghadapi lebih dari sekadar sisa-sisa TGoE. Kalian akan melihat... inti sebenarnya dari kehancuran.”
Rekaman padam. Suara di dinding mulai berdengung. Kapal ini adalah jebakan—dan mulai meledak.
Mereka berlari keluar, melompat ke Skywatcher tepat waktu sebelum kapal musuh itu meledak jadi puing-puing.
Pyro duduk terengah, Frozz memegangi lengannya yang tergores.
Rex berdiri di depan jendela, menatap ke luar. Jantungnya berdegup.
“Dia bangun…”
Skywatcher kembali melaju. Kini menuju Oureon. Tapi kali ini, bukan hanya untuk mencari sekutu… tapi karena mereka tahu, TGoE juga sudah bergerak.
Pyro menatap Rex. “Apa rencana kita?”
Rex mengepalkan tangannya.
“Kita tetap ke Oureon. Kita tetap cari mereka yang berani berdiri. Tapi kita gak bisa jalan santai lagi. Ini… baru dimulai.”
Frozz menambahkan, “Kita akan hadapi musuh yang belum kita kenal. Tapi aku percaya satu hal…”
“Apa?”
Frozz menatap mereka berdua. “Kalau kita bersama… mereka akan tahu, bahwa harapan itu belum padam.”
Skywatcher menembus awan bintang, menuju planet jauh bernama Oureon. Di sana, takdir baru menanti. Tapi di dalam pesawat kecil itu, tiga pemuda yang berbeda—es, api, dan misteri—melangkah bersama, menantang sejarah yang selama seribu tahun tak pernah berubah.
Lalu, di balik layar terakhir radar...
Satu bayangan muncul. Tak terdeteksi. Tapi melihat.
Dan tersenyum.