Prolog: Panggilan Gema yang Lemah
Malam sunyi senyap, dan Ling Yu duduk sendirian di meja kayu usang di asrama Universitas Ningcheng, memegang erat sebuah halaman kuning dari buku catatan. Itu adalah peninggalan ibunya, tinta memudar namun memancarkan kehangatan samar. Jarinya meraba kertas itu, dan wajahnya muncul di pikirannya—kurus namun teguh, selalu berbisik di sisi tempat tidur, “Yu’er, ingatlah jalanmu sendiri.”
Tiba-tiba, udara dingin menusuk masuk melalui celah jendela, dan lampu berkedip-kedip. Ia mengangkat kepala. Malam di luar gelap seperti tinta, tapi sebuah cahaya aneh menembusnya—biru pucat, retak, seperti luka yang mengoyak langit. Suara lemah terdengar di telinganya, serak namun akrab: “Ling Yu… selamatkan aku…”
Ia melonjak berdiri, jantung berdegup kencang. Suara itu bukan dari dunia ini—ia menusuk dalam ke jiwa, seperti kenangan yang terlupakan mulai berbisik. Ia pernah memimpikan ini: sebuah bayangan mencapai tangan dalam kegelapan, air mata berkilau di matanya, memanggil namanya. Setelah bangun, ia menganggap itu hanya ilusi kelelahan, tapi kini nama itu terucap dari bibirnya: “Ruiya?”
Celah di luar melebar, bintang-bintang berputar menjadi lukisan diam yang mengambang di udara. Didorong insting, Ling Yu tersandung keluar dari asrama, berlari menuju tebing di belakang kampus. Angin berhenti, waktu seolah membeku, dan jarum jamnya terpaku pada pukul 03:33 dini hari. Celah itu berubah menjadi sebuah pintu, kabut bergolak di dalamnya, bisikan merembes keluar—berjuta suara bercampur, namun tak ada yang tampak berbicara.
Berdiri di tepi tebing, tangannya gemetar. Suara itu kembali, kali ini penuh duka tak bertepi: “Maaf… jika saja aku mengerti lebih awal…” Rasa sakit tajam menusuk dadanya, seolah kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Wajah ibunya bercampur dengan “Ruiya” yang tak dikenal ini, dan menggertakkan gigi, ia melangkah maju.
Tanah di bawahnya lenyap, digantikan oleh lautan kesadaran yang mengapung. Dunia runtuh—kampus, kota, masa lalunya—berubah menjadi sisa-sisa cahaya. Cahaya putih membutakan menelan segalanya, dan berjuta tatapan menatapnya, dingin dan mengganggu. Kenangan membanjiri: ketidakberdayaan di sisi tempat tidur ibunya, kesepian malam tanpa henti, keraguan akan masa depan—semua gambar itu ditelanjangi dan dinilai oleh kekuatan tak terlihat.
Suara mekanis bergema di pikirannya: “Identifikasi selesai. Inang: Ling Yu, otentikasi berhasil.” Cahaya putih memudar, mengungkap koridor yang ditenun dari pita cahaya berkilau. Jendela transparan mengambang di udara, masing-masing memuat “dia”—berperang di dunia asing, merenung di menara futuristik, menatap galaksi seperti dewa.
Seorang pria yang hampir mirip dengannya keluar dari cahaya, api perak-biru menari di matanya. Suaranya dalam dan bergema: “Selamat datang di titik pertemuan takdir. Aku adalah kamu, dan kamu yang belum menjadi. Sejak saat ini, pilihanmu akan menentukan segalanya.”
Ling Yu menghela napas dalam, matanya tertuju pada jendela-jendela diri lain. “Kalau begitu, biarkan aku menghadapinya,” gumamnya, tekadnya menguat.
Prakata Mimpi: Panggilan yang Retak
Ling Yu terbangun dengan napas tersengal di ranjang sempit asramanya. Dalam mimpinya, ia berdiri di kegelapan tak bertepi, bintang-bintang pecah bertebaran di bawahnya seperti selubung langit yang sobek. Sebuah bayangan muncul dari kabut, rambut pendeknya bergoyang, air mata berkilau di matanya. Ia meraih tangan, suaranya serak namun akrab: “Ling Yu… selamatkan aku…” Ia berusaha mendekat, tapi rasa sakit menusuk menariknya kembali—ke wajah ibunya, kurus namun hangat, berbisik, “Yu’er, ingatlah jalanmu sendiri.”
Bayangan itu berbalik, punggungnya lenyap ke dalam kabut, meninggalkan sebuah nama: “Ruiya…” Jantungnya bergetar hebat, dan ia tersentak bangun, keringat dingin membasahi dahinya. Malam di luar dalam, lampu asrama berkedip tak menentu. Menggelengkan kepala, ia menganggap itu hanya kelelahan—sampai ia menyadari buku catatan tua yang masih digenggamnya. Di halaman kuning itu, kata-kata samar tertangkap matanya: “Ketika celah muncul, jangan takut.”
Ia terpana. Sebelum sempat memeriksanya lebih jauh, suara aneh terdengar dari jendela—cahaya biru pucat turun, mengoyak langit malam seperti luka. Suara itu kembali: “Ling Yu…” Jantungnya berdebar, ia melonjak berdiri, berlari keluar dari asrama, menuju tebing di belakang kampus.
Dilanjutkan…