Bab 1: Celah Reinkarnasi

Bagian 1: Pintu yang Membelah Ketenangan

Malam baru saja turun, namun langit di belakang Gunung Universitas Ningcheng tak terasa seperti malam—seperti selaput waktu yang dikupas. Celah itu menggantung tinggi, mekar tanpa suara dengan cahaya biru pucat, seperti mata yang menatap dari kedalaman kosmos, mengamati dunia di bawahnya tanpa suara. Ling Yu menahan napas, mendekati celah itu dengan langkah terhuyung. Cahaya itu dingin menusuk tulang, namun membawa kejelasan aneh, seolah jiwanya dilucuti di bawah tatapan tak terlihat. Detak jantungnya semakin cepat, dan buku catatan di tangannya terlepas—hanya untuk mengambang di udara, ditahan oleh kekuatan tak terlihat. Dari celah itu, seutas cahaya turun, menenun pintu setengah transparan. Kabut bergolak di baliknya, bisikan naik seperti ombak.

Bayangan muncul di pikirannya—senyum lembut ibunya, suara yang memanggil “Ruiya”—mendorongnya maju. Ia menghela napas dalam, berbisik pada diri sendiri, “Aku tak bisa berhenti sekarang.” Ketika kakinya melangkah, tanah bergetar, udara bergetar, dan pintu itu perlahan terbuka.

Cahaya itu bukan cahaya bintang, bulan, atau fenomena fisik yang dikenal. Tak ada riak, tak ada hangat, namun memaksa kebangkitan yang menusuk tulang, seolah jiwa tiba-tiba melihat dirinya sendiri. Bagi mereka yang tertidur dalam aturan dan kewajaran, celah itu tak terdeteksi—karena ia tak milik dunia ini.

Ling Yu berdiri di tepi tebing, matanya menatap sobekan itu, mendengar panggilan di luar suara itu sendiri. Kehadiran itu tak perlu kata-kata—hanya ada—dan ia menjawabnya. Sejak meninggalkan asrama, ia tahu Ling Yu malam ini tak akan kembali ke hidup lamanya.

Di bawah kakinya terbentang lautan bintang yang membeku—bukan pantulan, bukan ilusi, melainkan lapisan dasar yang muncul hanya ketika waktu terputus. Lautan bintang itu diam seperti es, seolah seluruh alam semesta menanti di bawah tebing untuk dilihat, jatuh, atau menjadi bagian darinya.

Napasnya tersendat, dadanya tertekan oleh beban tak terlihat. Ia mengangkat tangan untuk melihat waktu—jarum jamnya terpaku pada pukul 03:33 dini hari, detik terhenti di angka 3, seolah alam semesta menahan iramanya.

Angin berhenti, bahkan lampu kota jauh lenyap dalam kegelapan. Ini bukan malam—ini efek runtuh ketika dimensi tinggi bersentuhan dengan realitas rendah. Semua irama hilang, hanya keberadaannya sendiri yang terasa.

Ia pernah memimpikan ini.

Dalam mimpinya, ia berdiri di sini, melihat celah bintang terbuka perlahan. Bayangan menyerupai dirinya keluar dan berkata:

“Ini bukan awal atau akhir, melainkan titik temu tak terhitung nasibmu.”

Setelah bangun, ia mengira itu delusi kelelahan. Tapi kini ia paham, itu bukan mimpi—melainkan gema kenangan. Dari masa depan, masa lalu, dari “dia” yang pernah, akan, atau tak pernah menjadi.

Ling Yu tak lari. Ia tahu tak ada pilihan lagi. Ia menatap celah itu, cahaya meluncur seperti benang menenun pintu yang terbuka. Di baliknya ada kabut, suara, tatapan… dan sesuatu yang menanti.

Telinganya bergetar—bukan dari suara, melainkan “napas” ruang itu sendiri, seolah kehendak besar memandang melalui pintu, memilihnya, menilai apakah ia siap masuk realitas lebih dalam.

Ia menghela napas dalam, berbisik, “Aku datang.”

Bukan keberanian atau kesadaran, melainkan pengakuan dari diri yang lebih dalam—tersembunyi dalam setiap mimpi, momen hilang, setiap “kekacauan” yang tak terjelaskan di masa lalunya.

Kakinya melangkah pertama.

Suara itu tak jatuh di batu, melainkan bergema ke dalam struktur kesadaran. Tanah bergetar lembut, udara bergoyang, seolah pintu… sedang dibuka.

Langkah itu menyulut mekanisme tak terlihat. Udara di tepi tebing memutar, dan aliran cahaya biru mengalir dari celah, seperti air atau serat optik, melukis jalur berliku di udara.

Tubuh Ling Yu tertarik, namun pikirannya tetap jernih. Ia tak jatuh, tak mengapung—melainkan dituntun ke ranah di balik waktu, di sisi ruang, dimensi tak teramati oleh pikiran biasa, hanya bisa diakses ketika “nasib mengizinkan.”

Pemandangan di sekitarnya mulai runtuh. Ia melihat kampus universitasnya melebur seperti bayangan jauh—bangunan, jalan, pohon—berubah menjadi cahaya geometris bengkok, seperti kenangan yang dikupas hingga sisa data mentah.

Kemudian, semuanya menjadi putih murni.

Bukan kekosongan, melainkan keadaan jenuh di mana warna, suara, dan waktu terkompresi menjadi “lapangan pengamatan.” Ia berdiri di sana, tak ada dinding, tak ada tanah, hanya berjuta tatapan menusuknya—tak berbentuk namun lebih invasif dari pandangan mana pun.

Sekejap, ia merasa seperti kesadaran telanjang, setiap kenangan dan rahasia terbuka. Gambar muncul—masa kecilnya menatap punggung ibunya di ranjang sakit, menangis sendirian di malam tak diketahui, ragu akan tujuan studinya dan masa depan—bukan kenangan, melainkan dilihat, dianalisis, dipilih.

Tiba-tiba, suara bergema di pikirannya:

“Identifikasi selesai. Otentikasi inang berhasil.”

Nada itu tenang, tanpa emosi, namun membawa otoritas tak terbantah. Saat itu, Ling Yu merasa sistem yang mengunci jiwanya terbuka, seperti lapisan firewall spiritual dicabut, membiarkan kekuatan merembes masuk.

Ia membuka mata, menemukan diri di koridor tak berujung.

Bukan bangunan, melainkan saluran kesadaran, dindingnya ditenun dari pita cahaya berkedip dan aliran data. Di udara mengapung jendela transparan—masing-masing memuat “dia” yang berbeda.

Beberapa berperang di dunia asing, yang lain merenung di menara futuristik, satu duduk dalam jubah meditasi di tengah galaksi tak bertepi, menatap seperti dewa. Ini bukan khayalan—melainkan versi nyata dirinya di nasib paralel.

“Ini adalah Stasiun Pengamatan Inti Nasib,” suara itu kembali, kini dengan kehangatan dan wujud.

Seorang pria muncul di depannya, hampir sama wajahnya, kecuali api perak-biru membakar matanya seperti alam semesta mini. Berpakaian jubah energi kesadaran, ia berdiri tegak, kehadirannya terjaga namun kuat.

“Aku adalah kamu, dan kamu yang belum menjadi.”

Ling Yu membuka mulut tapi tak bisa bicara. Kondisi ini akrab—ditemui dalam mimpi, saat kesadaran hilang, di mana ia berjumpa “diri” ini berkali-kali tanpa dialog sejati. Kali ini berbeda.

“Kamu sedang menyeberangi Jembatan Nasib, memasuki lapisan banyak diri. Di antara kami, kamu yang pertama membuka ‘Celah Reinkarnasi,’” pria itu berkata, suaranya rendah namun bergema kuno, seolah ada sejak kelahiran alam semesta.

“Selanjutnya, kamu akan menghadapi tiga pilihan—setiap pilihan akan menulis ulang nasib hidupmu dan membentuk masa depan kami semua.”

Ling Yu menghela napas dalam, menatap jendela-jendela dirinya yang lain. Beberapa menuju kehebatan, yang lain tenggelam dalam kehancuran, namun setiap satu adalah kemungkinan nyata.

Nasib, ia sadari, bukan sekadar rancangan masa depan, melainkan jumlah setiap pilihan yang dibuat sekarang.

Dan ia berdiri di persimpangan pertama.

Dilanjutkan…

Ling Yu terdiam sejenak, kakinya bergerak maju seolah ditarik oleh kekuatan dari kedalaman bawah sadarnya. Ini bukan pilihan kehendak, melainkan panggilan aliran nasib—ia merasa setiap sel di tubuhnya menyelar ke arah tarikan yang tak terelakkan.

Stasiun Pengamatan mulai bergetar. Jendela paralel yang mengambang di udara berkedip, tersapu gelombang energi tak terlihat, masing-masing menampilkan gambar yang lebih tajam.

Salah satu “dia” bertarung di padang gurun kiamat, mata merah menyala saat melawan esper.

Satu lagi duduk bermeditasi di puncak awan, bintang-bintang mengelilingi belakangnya, melampaui batas kemanusiaan.

Yang lain berjalan sendirian melalui pintu hitam, di mana ribuan versi dirinya berulang dalam siklus jatuh dan bangkit.

Setiap masa depan adalah celah nasib, dan pilihannya kini akan menentukan mana yang benar-benar terbuka.

“Kamu hanya punya satu kesempatan,” pria bermata perak berkata, nadanya penuh belas kasih tipis dan rasa hormat. “Saat memilih, ingat—bukan kamu yang menentukan nasib, melainkan versi kesadaranmu yang memutuskan nasib mana yang bisa tersambung denganmu.”

Pandangan Ling Yu mengeras.

“Pilihan saya yang tiga apa?” ia akhirnya bertanya, suaranya serak namun jernih, membawa ketenangan di luar usianya.

Pria itu mengulurkan tangan, dan tiga bola cahaya muncul.

Di bola pertama, ia melihat dirinya kembali ke masa lalu, mengubah nasib seseorang dalam kecelakaan kampus, memicu efek kupu-kupu yang mengguncang tatanan dunia. Di jalur ini, ia bangkit sebagai “pemabuk waktu,” menguasai aliran momen.

Bola kedua menampilkan metropolis teknologi. Di sana, ia adalah pemimpin pemberontak, menyusup ke jaringan kesadaran untuk meruntuhkan sistem nasib buatan AI—seorang peretas kesadaran, pengkhianat nasib, di perbatasan sistem dan kemanusiaan.

Bola ketiga penuh kekacauan, kekosongan tak terurai. Ia melihat dirinya jatuh ke “dunia tanpa nama,” bergabung dengan ratusan jiwa dari timeline lain dalam eksperimen pada inti reinkarnasi—ia akan dibongkar, lalu disusun ulang.

Ia menatap tiga bola itu, masing-masing pintu tak terselami menuju masa depan di luar imajinasinya saat ini.

“Pilih satu,” pria bermata perak memerintahkan, nadanya tak bisa ditawar.

Jari Ling Yu menggantung di atas tiga bola, pikirannya berputar cepat menimbang risiko, nilai, potensi rekonstruksi, dan kemungkinan kehancuran. Namun, instingnya semakin kuat.

Ia teringat kata ibunya:

“Beberapa pintu, jika dibuka, tak bisa dikembalikan; beberapa jalan, jika tak dilalui, membuatmu bertanya apakah worth it.”

Menghela napas dalam, ujung jarinya menyentuh bola ketiga—kekacauan itu, pintu tanpa nama.

“Kamu memilih nasib tak ditentukan,” pria bermata perak berkata, jeda singkat dalam suaranya sebelum menambahkan pelan, “Bagus.”

Bola itu pecah menjadi serpihan perak, hujan seperti cahaya ke dahinya. Tubuh Ling Yu bergetar, rasa sakit menyobek kesadarannya. Ia merasa kenangannya dikode, dipadatkan, dibungkus—seperti pesan siap dikirim ke multiverse.

Pandangannya gelap, dan ia jatuh ke kekosongan tak berujung.

Ia menutup mata, kesadarannya luruh seperti salju, namun menangkap gambaran singkat: seorang wanita berambut pendek berdiri di sisinya, tatapannya lembut namun sedih, berbisik, “Ling Yu, ingat aku…” Bayangan lain muncul, rambut panjang mengalir, memegang rune kata yang pecah sebelum lenyap ke cahaya, meninggalkan nama “Qingyin.” Jantungnya berdenyut—rasa sakit itu bukan miliknya, namun bangkit dari kenangan dalam. Ia berbisik, “Siapa kalian?” Gambaran itu pecah, dan ia jatuh ke kekosongan tak bertepi, proses jatuh tanpa akhir.

Ini bukan rasa ringan jatuh dari ketinggian, juga bukan guncangan bangun dari mimpi, melainkan “diri”nya dikupas dari kerangka dunia, bahkan konsep “jatuh” memudar. Ia seolah tak bergerak ke arah tertentu, melainkan “dihapus” dalam dimensi.

Kesadarannya luruh seperti salju, kenangan mengalir mundur seperti sungai. Ia melihat kelahirannya, belajar bicara, menulis namanya pertama kali, bermimpi “diri lain” di malam tanpa tidur—semua terulang diam, lalu larut menjadi titik cahaya mengapung ke kegelapan tak berbatas.

Saat ia mengira akan lenyap sepenuhnya, suara pelan bergema:

“Kamu telah mengaktifkan protokol nasib tak ditentukan. Pengkodean selesai. Pemindahan berlangsung.”

Detik berikutnya, ia membuka mata, terbaring di ranjang yang tak miliknya.

Ruangan asing—di luar, langit ungu pucat menyelimuti gunung kristal mengambang; udara bergetar dengan bisikan, dinding bertatah rune berkedip. Ini bukan Bumi, juga bukan dunia dalam ingatannya.

Ia mengenakan seragam taktis abu-abu yang pas di kulit, panas samar berdenyut di dahinya—tanda dari penyerapan bola tadi, kini lingkaran bintang mini berputar perlahan di bawah kulitnya.

Pikirannya belum stabil, pemberitahuan sistem bergema:

“Kode Misi: Sumber Jiwa Utama. Dipindahkan ke Titik Persimpangan Dimensi Campuran. Siap menerima data awal.”

Ia menoleh, dinding di sisinya retak terbuka, pintu muncul diam-diam.

Di baliknya berdiri wanita berjubah putih, matanya seperti bintang, aura akrab namun jauh. Ia menatapnya, suaranya lembut:

“Selamat kembali, Penulis Nasib.”

Dilanjutkan…