Bagian 3: Jebakan Ranah Subjektif

Guncangan saat menyatu dengan X-13 masih terasa di pikiran Ling Yu.

Tapi kini, ia berdiri di tempat tanpa suara—tak ada angin, cahaya, atau bunyi—seperti “mimpi diam” ekstrem, atau ruang yang dilucuti dari semua indra.

Tak ada suara sistem, tak ada respons, bahkan tanah tak terlihat.

Ling Yu berjongkok, menyentuh permukaan di bawahnya, mendapati itu bukan tanah melainkan “aliran waktu” kental dan transparan. Cairan waktu itu bergetar halus saat disentuh, seperti lautan kesadaran setengah terjaga.

“Ini… ranah diri fragmentasi kedua?” gumamnya, tapi suaranya tak terdengar, ditelan ruang itu sendiri.

Ini bukan bagian Ranah Retak—ini adalah dunia batin X-07.

Ia ingat peringatan sistem: Tipe Gangguan Subjektif. Fragmen ini mengendalikan ruang yang lahir dari proyeksi mental, artinya segala sesuatu di sini dibentuk oleh bawah sadar X-07.

Saat ia merenung, cahaya redup muncul di kejauhan. Mengikuti cahaya itu, cairan waktu di bawah kakinya mengental, setiap langkah seperti menembus mimpi masa kecil. Di pusat cahaya berdiri ruang kelas usang.

Di luar jendela membentang malam tak berujung, jam di dinding terhenti pada 3:33.

Di podium, seorang anak laki-laki berusia tiga belas atau empat belas tahun duduk, kepala menunduk, merobek buku kerja.

Jantung Ling Yu bergetar. Pemandangan ini tak dikenalinya, tapi wajah anak itu membuatnya hampir berteriak, “…Itu aku?”

Anak itu menoleh, matanya kosong tanpa jiwa. Ia berdiri, menatap dingin ke arah Ling Yu. “Kamu datang. Masih ingat aku?”

Ling Yu mengangguk, lalu menggeleng. Ia tak pernah mengalami momen ini, tapi bawah sadarnya berbisik—ini kenangan terhapus, dipegang X-07, kini inti ruang mimpi buruk ini.

“Kamu selalu begitu,” ejek anak itu, kata-katanya cepat dan tajam, menusuk pikiran Ling Yu. “Memilih melupakan bagian buruk, berpura-pura tak pernah terluka, tak pernah salah. Aku ingat bagaimana kamu bersembunyi saat ibumu pergi; aku ingat bagaimana kamu berbohong pada diri sendiri setelah ketahuan menyontek di ujian; aku ingat saat kamu berdiri di jendela asrama, ingin melompat tapi tak punya nyali untuk jatuh.”

Tenggorokan Ling Yu tercekat, tak bisa membantah.

Ini bukan ilusi, melainkan dirinya yang sebenarnya—kenangan yang ia tekan, lupakan, atau pura-pura tak ada, kini berdiri sebagai kepribadian lain.

X-07 berdiri, ruang kelas berguncang. Dinding retak, emosi seperti tinta hitam merembes, membentuk pusaran. Buku harian di podium, meja, dan kursi mengambang, berubah jadi senjata memori seperti pisau.

“Aku akan buatmu ingat setiap masa lalu yang kamu coba lari,” geram X-07.

Ling Yu tahu, pertempuran ini bukan tentang fusi—melainkan pengadilan atas kebohongan dirinya.

Pusaran hitam berputar liar, pisau memori menyerbu seperti badai.

Ia coba menghindar, tapi tubuhnya melambat, pikirannya kabur—ini bukan ruang biasa, melainkan ranah emosi X-07, di mana ketakutan, malu, dan pelarian jadi rantai yang mengikatnya.

Sebilah pisau menembus bahunya, ia mengerang kesakitan, melihat memori: tahun pertama SMA, menyaksikan teman diintimidasi tapi memilih pergi.

Ia kira itu telah memudar, tapi kini terukir seperti pisau.

Bilah lain menggores pinggangnya

Ini bukan ditimpakan orang lain, melainkan potongan yang ia pilih abaikan.

“Kamu ingin kuat, menyelamatkan orang, jadi Penulis Nasib…” suara X-07 bergema dari segala arah, makin liar. “Kamu bahkan tak bisa hadapi luka sendiri! Kamu tak layak!”

Ruang kelas runtuh jadi ruang kosong yang retak. Waktu tak lagi lurus; kenangan masa lalu muncul seperti kabut tebal, “diri gagal” berputar di sekitar—pengecut, penghindar, ragu, jatuh. Ada yang menghancurkan diri, ada yang patah, ada yang memilih tidur selamanya…

Ling Yu berlutut, emosi membanjir seperti banjir.

Ini bukan musuh, melainkan bagian nyatanya. Ia coba menyangkal, menekan, melupakan—tapi kini, ia tak bisa sembunyi.

“Kamu tak melawan aku,” kata X-07, berdiri di depannya, mata dingin. “Kamu melawan diri yang kamu tolak.”

Ling Yu menoleh, keringat menetes dari dahinya. Ia teringat jalur hutan, celah, bola cahaya—setiap pilihan adalah kesempatan menghadapi “dirinya.”

Ia berdiri perlahan, menekan tangan ke dadanya.

“Aku pernah lari, lemah, hidup dalam ilusi yang kubuat sendiri,” katanya, menatap X-07 dengan tenang. “Tapi itulah mengapa aku layak melanjutkan—bukan karena sempurna, melainkan karena aku masih hidup dan bersedia memikul.”

Tanda di telapaknya bersinar, bilah cahaya dari “emosi sejati” terbentuk di tangannya—bukan kekuatan sistem, melainkan keberanian dari kejujuran pada diri sendiri.

Tubuh X-07 bergetar, bibirnya gemetar seolah pertahanan kerasnya retak.

Ling Yu melangkah maju, mengangkat bilah cahaya. “Aku tak di sini untuk menghapusmu. Aku di sini untuk menerimamu dan membuat kita utuh lagi.”

Ruang berguncang, “diri jatuh” yang berputar larut jadi partikel cahaya satu per satu, seolah kamar hati yang tersegel terbuka, energi hangat muncul dari dalam.

Sosok X-07 memudar, suaranya pelan bergumam, “…Inikah kekuatan sejatimu? Bukan penyangkalan, melainkan penerimaan?”

Ling Yu mendekat, mengulurkan tangan.

X-07 menatapnya, memberi anggukan kecil, dan meletakkan tangannya di telapak Ling Yu.

Saat telapak mereka bersentuhan, ruang berkobar hebat, cincin hukum nasib megah muncul dari kekosongan, menyelimuti mereka berdua.

Dilanjutkan…

Cincin hukum nasib berputar semakin cepat, seolah seluruh Ranah Retak ditarik oleh kekuatannya. Partikel cahaya membanjir dari kekosongan, seperti kenangan tersegel yang terbuka dari kesadaran dalam, mengalir dan menyatu di titik pertemuan telapak tangan mereka.

Ini bukan pertukaran energi, melainkan rekonstruksi kepribadian dan keyakinan.

Ling Yu merasa struktur batinnya meluas—sakit, penghindaran, dan paranoia X-07 tak lenyap, melainkan ditenun lembut ke dalam “inti diri”nya. Kebenaran yang dulu ia tolak kini jadi kekuatan dan kedalaman, memperkokoh dasar kesadarannya.

Teks berkedip di kedalaman pikirannya:

[Stabilisasi Ranah Subjektif berlangsung… Reintegrasi fragmen kepribadian: Selesai]

[Tingkat Keaslian Diri: 57.2% → 71.6%]

[Sinkronisasi tahap kedua selesai. Kemampuan terbuka: Proyeksi Cermin Pikiran]

[Peringatan Sistem: Tingkat integrasi internal lebih tinggi akan membuka otoritas Penulisan Ulang Nasib secara bertahap]

Jantung Ling Yu bergetar.

Proyeksi Cermin Pikiran adalah kemampuan psikis langka, memungkinkan di ranah tertentu untuk mengubah fluktuasi emosi dan kenangan batin lawan jadi “energi nyata” untuk pertempuran. Ini bukan sekadar kekuatan—melainkan keaktifan lahir dari memahami sakit orang lain.

Artinya, setiap kali ia merangkul diri masa lalu, ia bisa lebih tepat mengurai struktur jaringan nasib.

Fusi selesai, X-07 larut jadi sinar, mengalir ke tanda di dada Ling Yu, menyatu ke lingkaran bintang.

Ruang mulai runtuh—ruang kelas lenyap, malam tak berujung surut, dunia kembali ke zona transisi dimensi putih murni. Suara Ruiya bergema di pikirannya:

“Kamu mengintegrasikan fragmen kedua dengan baik. Kamu telah menyelesaikan ‘fase primer’ penjelajahan kesadaran.”

Ling Yu menghela napas, menjawab pelan, “Setiap langkah terasa bukan misi, melainkan… perbaikan jiwa.”

“Itulah hakikat sejati ujian nasib,” kata Ruiya, nada tenangnya penuh penghargaan. “Kamu mengambil kembali dirimu, sekaligus menyediakan bahan dan sampel untuk ‘rekonstruksi jalur utama’ jaringan kesadaran multidimensi.”

Kata-katanya membuat Ling Yu tertegun.

“Apa maksudmu? Aku tak hanya mengambil kembali diriku?”

“Saat kamu mengintegrasikan semua diri fragmentasi, kamu akan mendapat kualifikasi untuk memulai ulang inti Ranah Retak—termasuk akses ke ‘Lapisan Nasib Utama,’ di mana kamu bisa menulis ulang masa lalu, masa depan, dan cabang nasib tak terbatas.”

Pikiran Ling Yu berguncang, visi megah samar-samar muncul.

Suara Ruiya terdengar lagi:

“Bersiaplah untuk diri fragmentasi ketiga. Dia akan lebih sulit dihadapi dari dua sebelumnya—dia tak peduli pada sakit atau kesalahan. Keberadaannya hanya berkisar pada satu tujuan: kendali.”

Sebelum Ling Yu menjawab, ruang di sekitarnya robek. Celah hitam pekat, seperti lengkungan gravitasi bintang mati, muncul di bawah kakinya.

Tak sempat berpikir—ia tersedot masuk.

Dunia berikutnya bukan lagi sarang kenangan pribadi, melainkan medan perang dimensi tinggi dari kehendak dan dominasi.

Ling Yu menggenggam tinju, merasa tanda lingkaran bintang di dadanya sedikit membakar. Ruiya benar—dua fusi sebelumnya hanya tambalan untuk diri yang retak, tapi yang ketiga akan menyentuh bukan kenangan atau emosi, melainkan sumber eksistensinya.

“Pengendali…”

Ia bergumam, potongan bayangan samar muncul: motif di balik pilihan, harga di balik kemenangan, bahkan keyakinan yang tak pernah ia ragukan—benarkah itu miliknya?

Saat pikiran ini berputar jadi pusaran tak terlihat, tanah di bawahnya retak membentuk celah hitam tak berdasar. Sensasi jatuh kuat melanda, seperti kekuatan dimensi tinggi “mengupas” dia dari ruang ini. Tak sempat berpikir, ia ditelan utuh.

Ini bukan jatuh, melainkan penyeberangan.

Kesadarannya ditarik ke terowongan tanpa arah, tanpa waktu—ruang “imajiner” tak terucap di mana setiap inci menggema namanya. Bukan panggilan luar, melainkan suara dari berbagai versi dirinya.

Ada yang mengaum marah, menangis, mencibir, atau diam.

Setiap suara bertanya, “Apakah kamu benar-benar ‘dirimu’?”

Di tengah keadaan hampir pecah ini, suara jernih, dingin, tegas memotong kekacauan, menusuk inti kesadarannya seperti pisau:

“Verifikasi identitas berlangsung… Kepribadian Jalur Utama: Ling Yu (Kode 01) telah masuk lapisan prapemrosesan interferensi dimensi tinggi.”

“Protokol pengamatan dimulai: Semua pilihan, kenangan, dan definisi dirimu akan direkonstruksi, dibandingkan, dan dihakimi.”

Ini bukan lagi fusi fragmen, melainkan pemindaian langsung dan persiapan penulisan ulang oleh perancang nasib pada “diri primer.”

Ling Yu coba bertanya, tapi suaranya tak keluar. Pikirannya mulai terpecah, terkode, dan disalin—ia merasakan kehendak mencoba mengambil alih.

Suara Ruiya muncul di kedalaman pikirannya, seperti mercusuar di kabut.

“Diri fragmentasi ketiga bukan bagian masa lalumu, melainkan potensi dan kegelapan intimu—ia punya struktur kedaulatan setara denganmu.”

“Jika kamu tak bisa mengalahkannya, ia akan menggantikanmu—menjadi ‘Ling Yu sejati.’”

Ling Yu membeku, gelombang keresahan membuncah.

Sebelum ia membalas, suara lain menyela, bergema langsung di pikirannya, dingin, tak kenal takut, dan rasional sempurna:

“Ling Yu, aku datang untuk mengambil tubuh ini.”

Suara itu hampir sama dengan suaranya.

Tapi Ling Yu seketika tahu—ini bukan dia, melainkan versi yang mengorbankan emosi, menekan perasaan, dan menghancurkan segalanya demi mengendalikan akhir.

Detik berikutnya, waktu membeku.

Ia dan diri itu saling berhadapan di titik persimpangan nasib.

Dilanjutkan…