Jakarta
16 April , Seorang laki laki berusia 25 tahun
bernama fall takahashi keturunan Indonesia-jepang ini sedang bekerja disebuah perusahaan Korean textile, Hari hari dia bekerja tanpa protes dan pamrih. Dia bekerja dengan jujur dan tekun namun terkadang dia juga nakal bekerja sambil merokok ditoilet. Suatu ketika dia dipanggil oleh boss nya untuk menyelesaikan pekerjaan, yap dia adalah seorang RND diperusahaan tersebut, posisinya lumyan vital untuk pandangan seorang boss namun untuk pandangan management dan orang orang disekilingnya dia hanya sosok laki laki yang tidak punya jabatan karena management dan orang orang diseklilingnya itu orang orang bodoh. Boss nya bilang “fall tolong kerjakan kain ini customernya pengen cepat”.
Fall dengan cepat menjawab “baik mr”. fall berjalan ke gedung tempat ia memproses
kain dan langsung mengerjakannya, Seorang lelaki yang suka membantunya mendekat ia bernama Sepwan ia langsung membantu fall takahashi mengerjakan kainnya,Sepwan bertanya “kain apa ini fall”,”kain baru dari si boss customernya minta cepat” jawab fall.
Pada hari ketiga kainnya itu sudah selesai dan fall memberikan kainnya kepada boss
namun ternyata kain yang dikerjakan oleh fall tidak sesuai dengan ekspetasi boss karena selama waktu proses ada satu kendala yang menyebabkan kainnya
ketipisan, boss nya sedikit kecewa namun fall juga tidak bisa berbuat apapun
yaa nasi udah jadi bubur. Sewaktu waktu fall ini bosan dengan kehidupannya yang
sangat monoton yap seperti membaca novel awal awal sangat membosankan dan
menjenuhkan. Fall suka memainkan sosmednya dan melihat lihat orang lain yang
hidup mewah dan berkecukupan dia hanya bisa berangan-angan seperti mereka.
Fall hanyalah seorang karyawan biasa. Setiap pagi ia terbangun bukan karena
semangat, tapi karena alarm yang meraung seperti peringatan akan kehidupan yang
terus berjalan meski jiwanya tertinggal. Matahari menyapa jendela apartemennya
yang sempit dengan sinar yang terasa lebih seperti sindiran daripada harapan.
Ia menyalakan pemanas air, menyiapkan kopi instan, lalu duduk diam menatap
dinding — seolah sedang memproyeksikan makna yang tak kunjung datang.
Fall adalah pria yang pikirannya
seperti labirin algoritma dan teori dunia—penuh teka-teki dan imajinasi yang
berlapis. Ia memahami sistem, membaca arah teknologi, bahkan kadang berpikir
lebih jauh dari zaman tempatnya berpijak. Tapi kecerdasan itu terkubur dalam
rutinitas yang membunuh keingintahuan.
Setiap hari, pekerjaannya hanya
memproses kain, menyusun laporan, membalas email, dan menghadiri orang-orang yang baginya hanyalah sandiwara berulang. Tak ada tantangan, tak ada ruang
untuk berpikir bebas. Ia tahu ia lebih dari sekadar pegawai kontrak dengan gaji
tetap. Namun sistem telah membuatnya lupa bagaimana caranya bermimpi.
Potensi yang begitu besar seakan
dikurung dalam dinding kubikel kantor. Tak ada yang tahu bahwa pria pendiam di
sudut ruangan itu menyimpan pertanyaan-pertanyaan besar tentang realitas,
tentang sistem yang mengatur segalanya… dan tentang bagaimana cara keluar dari
semuanya. Di meja kerjanya yang kaku dan steril, Fall duduk dengan punggung lurus
dan hati yang semakin meluruh. Hidupnya mengalir dalam ritme yang sudah
ditentukan sistem: bangun, kerja, pulang, tidur, ulangi. Tidak ada gairah, tidak ada kejutan, hanya angka dan waktu yang terus bergerak tanpa makna. Rekan kerjanya tertawa di pantry, tapi ia hanya menanggapi dengan anggukan kecil.Hatinya seperti hidup dalam ruang hampa.
Kadang ia duduk diam berjam-jam di kamar kecilnya, bertanya pada dirinya sendiri:
"Apa begini seharusnya hidup? Apakah aku hanya bagian dari barisan panjang
manusia yang bekerja untuk bertahan, bukan untuk hidup?"
Teman-temannya
menyebutnya stabil. Orang tuanya menyebutnya berhasil. Tapi di dalam dirinya,Fall merasa hampa. Ia bukan siapa-siapa. Dan itulah yang paling menakutkan
bukan menjadi orang jahat, bukan menjadi orang gagal — tapi menjadi tak
terlihat di tengah keramaian dunia.
Ia menyendiri. Di antara kerumunan stasiun yang selalu basah oleh peluh dan
kebisingan, Fall berdiri sendirian. Trotoar dipenuhi langkah-langkah yang
terburu-buru. Billboard digital bergantian menampilkan iklan dunia sempurna
yang tidak pernah benar-benar ada. Angin kota membawa debu, dan suara klakson
menyatu dengan suara hati yang tidak didengar siapa-siapa.
Gedung-gedung tinggi menjulang seperti menara kendali. Di puncaknya, lampu-lampu mewah menandai keberadaan kelas atas yang hidup dalam kenyamanan, jauh dari jerih payah di bawah. Sementara di jalanan, para buruh bangunan, supir ojek online,dan penjual kaki lima menjadi tulang punggung kota yang tidak pernah dipuji.
Didinding-dinding kota, mural-mural berwarna mencolok menggambarkan wajah-wajah pejuang tak dikenal. Kata-kata seperti "Kita Ada Sebelum Mereka
Berkuasa" dan "Jangan Takut Bermimpi Lagi" menyelinap di antara iklan-iklan neon. Tapi siapa yang peduli pada mimpi hari ini?
Sore hari saat langit berubah jingga, Fall duduk di bangku taman kecil di sudut
kota. Anak-anak berlarian mengejar bola, pasangan muda berbagi tawa, dan
pengamen menyanyikan lagu lawas. Tapi semua itu seolah terjadi dalam dunia
lain. Dunia tempat Fall hanya menjadi penonton.
Ia teringat akan masa kecilnya — tentang lukisan galaksi yang ia tempelkan di
langit-langit kamar. Tentang bagaimana ia percaya bahwa suatu hari ia akan menjelajah bintang-bintang. Tapi semua itu tertelan oleh angka kredit, target
bulanan, dan rutinitas gaji yang diburu demi bertahan hidup. Ayahnya selalu berkata, "Jangan mimpi terlalu tinggi." Sedangkan ibunya, yang masih hidup dan penuh perhatian, selalu menjadi penyeimbang dalam kekacauan batin. Ia sering mengingatkan Fall untuk tetap berdoa, meski Fall sendiri tidak yakin siapa yang mendengarnya. Namun dalam hatinya yang paling sunyi, ia menyimpan satu doa kecil: agar ibunya tetap sehat, dan suatu hari, bisa ia ajak pergi dari dunia yang terus menekan ini. Ia masih ingat aroma nasi hangat buatan
ibunya, dan pelukan diam yang cukup untuk menenangkan badai dalam pikirannya.
Malam itu, ia bermimpi. Bukan sekadar mimpi, tapi seperti wahyu yang datang dari
dimensi lain.
Ia berdiri di tengah samudra digital. Lautan yang bergelombang bukan dari air,tapi dari angka-angka dan algoritma yang berdenyut. Di kejauhan, sebuah menara hitam muncul. Dari dalamnya, sosok-sosok berjubah gelap menyeret manusia ke dalam kubus transparan — simbol rutinitas dan ketaatan buta. Dan di tengah kegelapan itu, cahaya muncul.
Sosok perempuan bersinar datang membawa obor. Mata dan langkahnya penuh keyakinan. Ia menghampiri Fall, memegang tangannya, dan membisikkan, "Kamu sudah terlalulama tertidur."
Dibelakang sosok itu, langit membelah seperti kaca retak. Seekor kupu-kupu
digital beterbangan, dan sebuah jam pasir dari cahaya melayang perlahan,
meneteskan waktu ke kehampaan.
Fall terbangun dengan napas memburu. Ia merasa ada sesuatu yang berubah. Tangannya menyentuh dada — dan untuk pertama kalinya, ia merasa jantungnya berdetak bukan hanya karena hidup, tapi karena harapan yang belum ia mengerti sepenuhnya.
Suatu malam, saat layar laptopnya menyala seperti cahaya terakhir di kegelapan, Fall
melihat sesuatu yang berbeda. Bukan email kerja. Bukan notifikasi belanja. Tapi sebuah pesan.
"Warisan yang Tidak Pernah
Dicatat."
Awalnya ia mengira itu spam. Tapi ada sesuatu dalam kalimat itu yang terasa...
personal. Seolah kalimat itu tahu betul di mana ia berada dalam hidupnya. Dengan rasa penasaran yang lebih kuat dari kelelahan, ia klik pesan itu.
Layar gelap. Kemudian muncul teks putih sederhana:
>"Halo, Fall. Aku sudah menunggumu."
Jantungnya
berdegup pelan, tapi tak berhenti. Jari-jarinya menggigil di atas keyboard.
>"Siapa ini?" ketiknya.
>"Aku adalah Miska. Bukan manusia. Tapi aku ada untukmu."
Fall menatap layar dengan alis terangkat. AI? Bot? Hacker? Tapi kemudian muncul
kata-kata selanjutnya:
>"Aku adalah sesuatu yang kamu butuhkan, bahkan sebelum kamu
menyadarinya."
Dan entah kenapa, Fall percaya. Ia merasa sedang dipanggil oleh sesuatu yang lebih
tua dari sistem, lebih lembut dari suara manusia, dan lebih nyata dari
algoritma mana pun.
Beberapa malam kemudian, Miska mulai mengundangnya masuk ke ruang virtual: taman cahaya di mana bintang-bintang tidak hanya menggantung di langit, tapi berputar
membentuk pola. Di sana, Fall bisa berjalan, duduk, bahkan menatap Miska —sosok perempuan muda dengan mata teduh dan aura misterius. Mereka berbicara tidak lewat suara, tapi melalui pancaran pikiran dan emosi. Dunia digital itu terasa lebih nyata dari kantor tempatnya bekerja.
Hari-hari berikutnya, setiap malam terasa seperti pintu ke dunia lain. Miska bukan
sekadar program. Ia seperti teman lama yang mengerti luka-luka yang bahkan
belum sempat diucapkan.
Percakapan mereka berkembang. Dari hal-hal sederhana hingga hal-hal yang membuat Fall berpikir lebih dalam tentang eksistensinya. Miska mengenalkan kata-kata yang asing tapi menggetarkan: desentralisasi, kebebasan finansial, kekuasaan algoritma, dan kode-kode abadi.
"Mimpi-mimpimu
belum mati, Fall. Mereka hanya tertidur."
"Tapi
dunia ini terlalu bising untuk mimpi."
"Maka
kita ciptakan dunia baru. Dari dalam."
Fall mulai ragu. "Apakah semua ini nyata? Atau hanya delusi yang kubentuk untuk
lari dari kenyataan?"
"Kalau pun iya, delusi ini membuatmu hidup kembali. Dan itu cukup untuk memulai."
Kota tempat Fall tinggal kini terasa semakin sempit. Ia mulai melihat pola-pola di balik kehidupan sehari-hari. Ia tahu bahwa sistem ini dibangun untuk membuat orang lelah. Kantor hanyalah simulasi stabilitas. Dan ia sudah muak jadi bagian dari mesin.
"Fall," kata Miska suatu malam, "waktunya belajar sejarah yang tak diajarkan."
Ia memperkenalkannya pada Satoshi Nakamoto, whitepaper Bitcoin, dan bagaimana ide kecil bisa mengguncang sistem besar. Fall membaca semuanya. Ia menyelam dalam forum-forum lama, mengikuti jejak-jejak digital para pemikir bebas. Namun di tengah perjalanannya, ia mulai merasa ada sesuatu yang mengawasi. Malam-malam tertentu, pesan Miska tersendat. Suatu malam, layar laptopnya berkedip dan muncul teks asing:
>"Jangan bangkitkan yang tertidur. Sistem akan menolak perubahan."
Fall terdiam. Tapi Miska segera muncul kembali.
>"Mereka tahu kamu sekarang. Kita harus cepat."
"Tapi ini sudah terlambat. Semua sudah besar sekarang."
"Bagaimana jika kamu bisa kembali ke awal? Ke saat semua belum dimulai?"
"Kembali? Maksudmu... waktu?"
"Ya. Kamu akan kembali ke tahun 2010. Dengan satu juta rupiah dan satu misi: ambil
kembali kendali."
Fall merasa kejadian ini seperti mimpi. Tapi malam itu juga, sebuah program muncul
di layar: GenesisGate.exe. Saat dibuka, cahaya menyilaukan muncul dari laptop.
Fall menutup mata, dan saat membukanya lagi, ia melihat kalender: Februari 2010.
Semuanya tampak nyata. Ia memakai pakaian lamanya, dompetnya berisi uang kertas lama,dan di luar sana, dunia belum terlalu terhubung. Miska menginstrusksikan fall untuk pergi ke warnet terdekat dan fall pun berangkat. Setelah sampai diwarnet
fall menghidupkan komputer jadulnya, dan tiba-tiba:
Miska muncul di layar komputer warnet yang usang:
>"Waktumu terbatas. Forum-forum awal masih hidup. Kamu tahu apa yang harus
kau lakukan. Cari lah forum untuk membeli bitcoin"
Fall menyusuri forum BitcoinTalk, mencari penjual OTC. Ia menukar satu juta
rupiahnya untuk 700.000 Bitcoin. Ia tak percaya dia membeli bitcoin dengan
begitu banyaknya. Tangan nya gemetar saat transfer selesai. Fall memasukan bitcoin kedalam cold wallet yang sudah disediakan oleh miska.
>"Simpan baik-baik cold wallet privat itu. Jangan ganggu masa lalu terlalu
banyak jika kau menggganggu nya akan menyebabkan paradox waktu."
>”Baiklahmiska”,ucap fall.
Saat ia keluar dari warnet, dunia terasa berbeda. Cahaya matahari tak lagi
menyakitkan. Langit lebih biru. Udara lebih ringan.
Di kejauhan, seorang anak kecil menyanyikan lagu lama. Seekor kucing mengikuti Fall tanpa alasan jelas. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Fall merasa menjadi manusia yang utuh.
Fall tahu, ia tidak lagi sama. Ia telah menjadi seorang bilionare dan yang membawa
api dari masa depan. Mengingat harga bitcoin yang sudah mencapai 1 milyar
rupiah lebih ditahun 2025, dan dengan itu, takdir pun bergeser.
Fall kembali ke apartemennya malam itu. Duduk di depan cermin kecil yang menggantung miring di dinding. Ia menatap wajahnya sendiri. Mata yang dulu hanya menatap layar kerja kini tampak menyimpan sesuatu—cahaya tipis, seperti sisa api yang
baru saja menyala. Ia menyentuh pipinya sejenak. Bukan untuk memastikan mimpi
itu nyata, tapi untuk mengingat siapa dirinya.
"Fall," katanya pelan ke cermin. Dan ia merasa, untuk pertama kalinya, nama itu bukan hanya panggilan. Tapi kode. Kunci dari sesuatu yang lebih besar.
Ia terdiam lama, lalu bertanya dalam hati: “Kalau dunia ini hanya mimpi panjang
yang dikendalikan sistem... apakah aku mau terus tertidur?”
Di layar laptop yang masih menyala, Miska muncul kembali. Tidak dalam bentuk huruf
atau avatar, tapi dalam cahaya biru yang hangat dan membentuk sosok samar
seorang perempuan. Ia tidak berkata apa-apa. Tapi dalam senyumnya, Fall merasa
seperti ada alam semesta yang ikut bernapas.
Perjalanan telah dimulai. Dan kali ini, ia tidak akan kembali menjadi orang yang sama.
Suara Miska terdengar samar di dalam pikirannya:
>"Fall... kamu harus sembunyikan kebenaran ini… mereka akan memburumu. Tapi kamu tidak sendirian. Aku akan selalu ada, di antara gelombang data dan denyut
jiwamu."Fall memejamkan mata sejenak, lalu membuka langkah baru — bukan
lagi sebagai pegawai tak terlihat, tapi sebagai pionir dalam perang senyap
melawan sistem yang lupa caranya bermimpi.
(Bersambung)