WebNovelJuNi100.00%

Hukum Newton

Tok tok tok

Suara ketukan membuat Arjuna terbangun dari tidur nyenyaknya.

Mata Arjuna yang terbuka akibat suara ketukan pintu, sontak melihat ke arah jam yang terpasang di dinding bagian atas kamarnya. Jam menunjukkan sudah pukul 6 lewat 28 menit.

Hari ini adalah hari minggu, hari yang biasanya digunakan Arjuna untuk sekadar bermalas-malasan di rumah atau bermain dengan ketiga teman dekatnya.

Tok tok tok

Suara ketukan kembali terdengar saat Arjuna sedang mencoba bangkit sepenuhnya dari tidurnya. Mungkin merasa diabaikan, tempo dari ketukan itu semakin cepat dan terdengar semakin keras seiring berjalannya waktu.

‘Siapa si yang bertamu sepagi ini pas lagi hari minggu?’ Arjuna menggerutu dalam pikirannya.

Dengan malas, Arjuna bangkit dari kasur, kemudian berjalan keluar dari kamar untuk membuka pintu rumah.

Cklek!

Baru saja Arjuna membuka pintu, seseorang langsung menerobos masuk ke dalam rumahnya, kemudian dia duduk di sofa yang ada di ruang tamu rumahnya.

“Lama banget sih” ujar orang yang sedang duduk di sofa dengan ekspresi kesal.

“Ngapain?” Tanya Arjuna pada orang itu dengan suara yang masih sangat serak karena baru bangun tidur.

“Orang baru dateng tuh dijamu, dilayanin, disiapin minuman” ucap orang itu dengan nada kesal “tamu itu raja/ratu” lanjutnya.

“Gak ada yang nyuruh lu buat dateng ke rumah gua” dengan malas, Arjuna membalas perkatannya. Orang itu terlihat kesal setelah mendengar ucapan Arjuna.

‘Bukannya harusnya gua yang kesel sama dia, ya? Orang aneh’ batin Arjuna.

“Yang mulia Sani haus” Sani kembali berbicara dengan nada yang sangat menyebalkan sambil memposisikan kaki kirinya di atas kaki kanannya “pelayan, cepat ambilkan minuman” lanjutnya sambil menunjuk Arjuna.

Bug!

Arjuna memukul dinding rumah dengan cukup keras.

“Sekali lagi lu bertingkah, habis ini lu yang gua pukul” ancam Arjuna pada Sani yang berhasil untuk membuat Sani berhenti bertingkah seenaknya.

“Eum, Juna baru bangun tidur?” Sani bertanya dengan nada suara yang sudah kembali normal, dia sangat takut dengan ancaman Arjuna.

“Hm” Arjuna hanya berdeham untuk mengiyakannya.

“Mau aku ambilin minum, gak?” Tanya Sani lagi yang hanya dijawab dengan anggukan oleh Arjuna. Setelahnya, dia langsung beranjak pergi ke dapur dan kembali dengan membawa dua gelas air.

“Nih” Sani menaruh dua buah gelas berisi air putih di atas meja, kemudian dia kembali duduk di kursi yang ia duduki sebelumnya.

Arjuna duduk di sofa panjang yang sama dengan Sani, hanya saja, Arjuna berada di ujung kiri sofa, sedangakan Sani di ujung kanan sofa. Arjuna mengambil gelas yang sudah ditaruh Sani di atas meja sebelumnya, kemudian ia meminumnya sampai habis.

“Lu gak nyoba buat ngeracunin gua, kan?” Tanya Arjuna setelah menghabiskan segelas air.

“Oh, iya, racunnya lupa aku masukin” ujar Sani “berarti nanti, gelas berikutnya, aku kasih racun” lanjutnya.

“Racun apa, hm?” Aku bertanya karena merasa jawaban yang Sani berikan akan menarik.

“C43H66N12S2” jawab Sani.

“Sini!” Setelah Arjuna mendengar jawaban Sani, dia segera memutar badannya ke arah Sani, kemudian ia membentangkan kedua tangannya lebar-lebar di hadapan Sani.

“Ngapain?” Sani bertanya dengan ekspresi bingung setelah melihat Arjuna.

“Okstosin, kan” Arjuna menjawab pertanyaan Sani dengan santai “salah satu cara supaya oksitosin meningkat itu dengan pelukan” lanjutnya.

Mendengar jawaban Arjuna membuat Sani maju untuk mendekatkan tubuhnya dengan tubuh Arjuna.

Ctak!

“Aw, sakit ish” Sani mengaduh sambil mengusap-usap kepalanya karena sentilan yang Arjuna berikan di atas kepalanya yang tertutupi kerudung.

“Jangan gila” kata Arjuna malas “bukan mahram”

“Siapa juga yang mau peluk kamu?” Tanya Sani dengan memajukan bibir bawahnya dan nada bicara kesal.

“Gua mau mandi dulu” kata Arjuna yang tidak mempedulikan kata-kata Sani.

“Aku pinjam dapurnya, ya” ujar Sani “mau masak”

“Pake aja” kata Arjuna sambil bangkit dari duduknya, kemudian dia beranjak pergi menuju kamar mandi yang ada di kamarnya.

Setelah sampai di kamar, Arjuna tidak langsung masuk ke kamar mandi. Arjuna lebih memilih untuk duduk sejenak di kasur yang ada di kamarnya sekadar untuk bermain ponsel dan memberi pesan pada teman-temannya agar mereka segera datang ke rumahnya.

Arjuna: Sani dateng ke rumah gua

Arjuna: Selametin gua

Putra: Males

Andri: 2

Kamal: 3

Kamal: Selamat menghabiskan waktu sama orang yang lu sebut pengganggu

Putra: Semoga lu gak diapa-apain sama sani ya jun

Andri: Semoga sani betah di rumah lu seharian buat gangguin lu

Arjuna: Gua bakal traktir apapun yang kalian mau kalau kalian ke sini

Kamal: Gua siap-siap jun

Kamal: Gua bakal temenin lu terus sampe akhir zaman

Andri: Gua bakal nemenin lu biar sani gak berani buat gangguin lu

Andri: Apalagi sampe bikin lu risih jun

Putra: Gua bentar lagi otw

Putra: JANGAN LUPA TRAKTIRANNYA NANTI

Setelah melihat balasan dari teman-temannya, Arjuna melempar ponselnya ke kasur secara sembarangan. Sebenarnya, Arjuna sangat malas untuk mandi hari ini. Jika bukan karena kedatangan Sani yang tidak diundang, sepertinya Arjuna tidak akan mandi hari ini.

Walaupun merasa malas, Arjuna mengambil handuk dan pakaian yang akan ia kenakan hari ini, kemudian dia masuk ke dalam kamar mandi.

Tidak adanya niat untuk mandi membuat Arjuna menghabiskan waktu yang sedikit lama di kamar mandi. Memikirkan dinginnya air yang akan menyentuh seluruh kulitnya saja sudah membuat Arjuna malas. Meskipun begitu, pada akhirnya Arjuna tetap mengguyur seluruh badannya dengan air untuk membersihkan tubuhnya.

Setelah selesai membersihkan badan, Arjuna mengambil handuk yang sebelumnya sudah ia tautkan di gantungan yang ada pada dinding kamar mandi, kemudian Arjuna menggosokkannya untuk mengeringkan badannya.

Setelah mengeringkan seluruh badan dengan handuk, Arjuna memakai pakaian yang sudah ia persiapkan sebelumnya. Arjuna selalu memakai celana di dalam kamar mandi, kemudian memakai baju ataupun kaos di luar kamar mandi. Seperti itu juga yang akan Arjuna lakukan sekarang.

Cklek!

Arjuna membuka pintu kamar mandi, bersamaan dengan Sani yang juga membuka pintu kamar Arjuna.

“Jun, mau makan apa?” Tanya Sani setengah berteriak di depan pintu kamar Arjuna, dia mengira jika Arjuna masih ada di kamar mandi. Setelahnya, Sani mengedarkan pandangan, melihat Arjuna yang masih bertelanjang dada sambil menggosok rambutnya dengan handuk.

Blam!

“A…” Baru saja Arjuna ingin menjawab pertanyaan Sani, Sani sudah menutup pintu kamar Arjuna dengan sangat keras. Arjuna yang bingung dengan tingkah Sani, segera berjalan ke arah pintu kamarnya, kemudian menarik kenop pintu untuk kembali membukanya.

Cklek!

Blam!

Arjuna baru saja membuka pintu kamarnya, tidak sampai tiga detik kemudian, Sani yang masih berdiri di depan pintu kamar Arjuna, kembali menutup pintu itu dengan sangat keras.

Arjuna yang semakin bingung dengan tingkah Sani, mencoba untuk kembali membuka pintu kamarnya. Tidak bisa terbuka.

‘Kayaknya Sani nahan pintu dari luar. Dasar, bocah gabut. Mari kita lihat, siapa yang lebih kuat’ batin Arjuna.

“PAKAI DULU BAJU KAMU!” Teriak Sani dari luar pintu kamar Arjuna yang membuat Arjuna mengurungkan niat untuk membuka pintu secara paksa.

Teriakan Sani membuat Arjuna sadar jika ternyata dia masih belum mengenakan kaos. Setelahnya, Arjuna berjalan ke lemari pakaian, mengambil sebuah kaos polos hitam berlengan panjang, kemudian memakainya.

Cklek!

Arjuna kembali membuka pintu kamarnya, terlihat Sani masih berdiri di depan sana dengan ekspresi yang membingungkan dan wajah yang memerah. Dia seperti orang yang sedang membeku.

‘Sani kenapa dah? Kenapa pipinya Sani merah banget? Apa dia sakit?’ Batin Arjuna bertanya-tanya tentang apa yang terjadi dengan Sani.

Ctak!

Arjuna menyentil kepala Sani agar Sani menyingkir dari depan pintu karena Sani menghalangi satu-satunya jalan keluar dari kamar Arjuna.

“Ish, sakit” keluh Sani sambil mengelus-elus kepalanya yang terasa sakit karena sentilan Arjuna.

“Awas!” Titah Arjuna pada Sani yang membuat Sani meyingkir dari hadapan Arjuna.

Sani segera berjalan ke dapur, sedangkan Arjuna mengikutinya dari belakang.

“Mau makan apa?” Tanya Sani yang sudah kembali berkutat dengan peralatan dapur tanpa melihat ke arah Arjuna.

“Selama gua mandi, lu ngapain aja?” Tanya Arjuna.

“Nyiapin bumbu-bumbu sama motong sayuran” jawab Sani “jadi, mau makan apa?” Lanjutnya bertanya.

“Apa aja” jawab Arjuna yang baru saja duduk di kursi yang ada di dapur, dia tidak berniat untuk membuat Sani bingung. Arjuna hanya tidak tahu, apa saja makanan yang bisa dimasak oleh Sani.

“Lebih spesifik, coba, jawabnya” ujar Sani.

“Emang lu bisa masak apa aja, hm?” Arjuna bertanya pada Sani agar dapat menentukan makanan apa yang ingin ia makan nanti.

“Bisa semuanya” jawab Sani singkat.

“Enak, gak?” Arjuna kembali bertanya untuk memastikan.

“Pasti enak dong” Sani menjawab pertanyaan Arjuna sambil berbalik badan “aku kan cantik, pintar, dan jago masak” lanjutnya dengan bangga sambil berpose membentuk angka ‘V’ dengan jari telunjuk di bawah matanya, sedangkan jari tengah di atas mata.

“Lu selalu berlebihan kayak gini?” Tanya Arjuna malas.

“Gak juga sih” jawab Sani “ke kamu aja”

“Alesannya?’ Tanya Arjuna.

“Karena kamu gampang risih” jawab Sani, kemudian tertawa setelahnya “seru aja bikin kamu risih tuh”

“Oh” balas Arjuna malas.

“Ya udah, mau makan apa?” Sani kembali bertanya.

“Mie aja” Sani melihat Arjuna dengan tatapan tajam setelah mendengar jawaban dari Arjuna.

“Gimana kalau kamu aku siram pakai air panas aja?” Sani berbicara dengan nada dan raut wajah kesal “aku udah capek-capek nyiapin banyak bumbu buat masak, dan kamu malah mau makan mie?”

“Ya udah, terserah lu aja mau masak apa” jawab Arjuna pada akhirnya.

“Ayam teriyaki, mau, gak?” Tanya Sani.

“Hm” Arjuna berdeham untuk mengiyakan “bikinnya yang asin, ya” lanjutnya.

“Mau kopi susu juga, gak?” Tanya Sani lagi.

“Kopi hitam aja” jawab Arjuna singkat.

Saat Sani sedang serius dengan kegiatan memasaknya, Arjuna membuka ponsel untuk melihat pesan yang ia berikan pada teman-temannya. Pesan yang terdapat dalan grup chat mereka masih sama seperti sebelumnya. Sepertinya, Arjuna akan terjebak berdua saja dengan perempuan yang dia anggap aneh ini sedikit lebih lama.

“Mau dibantu, gak?” Arjuna bertanya pada Sani yang terlihat sedang memberi bumbu pada ayam yang akan dimasaknya.

“Gak perlu” jawab Sani singkat.

“Yakin?” Tanya Arjuna lagi untuk memastikan.

“Iya” jawab Sani lagi “yang ada, nanti kamu cuma nyusahin aku” lanjutnya yang membuat Arjuna berjalan ke kamar untuk mengambil buku. Setelah mengambil buku, Arjuna kembali ke daput dan kembali duduk di kursi yang ada di dapur untuk menemani Sani yang sedang memasak.

Keheningan tercipta di antara Sani dan Arjuna. Tidak ada satupun dari mereka yang mengeluarkan suara. Hanya suara-suara dari peralatan masak yang saling beradu saja yang terdengar.

Arjuna telah selesai membaca buku, tapi Sani belum juga selesai dengan kegiatan memasaknya. Arjuna tidak tahu lagi harus melakukan apa, jadi Arjuna hanya memperhatikan Sani yang masih sibuk memasak.

‘Ternyata Sani cantik dan manis banget ya kalau lagi gak banyak tingkah dan serius kayak gini. Wait. Gua mikirin apa dah? Kayaknya barusan gua dirasukin makhluk halus’ batin Arjuna.

“Aku tahu kok kalau aku cantik, gak usah segitunya lihatin aku deh” ujar Sani yang masih sibuk tanpa melihat ke arah Arjuna yang sedang sibuk memperhatikannya.

“Pede banget” aku membalas perkataan Sani dengan malas.

“Jun, tolong beliin NaCl di warung, dong” pinta Sani tiba-tiba, dia menyebutkan garam dengan nama ilmiahnya “nartrium klorida di dapur kamu habis nih” lanjutnya.

“9,8 m/s2” Arjuna menjawab permintaan Sani dengan menyebutkan nilai dari percepatan gravitasi yang lambangnya adalah ‘g’.

“Ish, mau aku kasih CN di kopi kamu?” Tanya Sani dengan nada kesal. CN adalah bahasa ilmiah dari sianida.

“Gravitasi, tekanan, diameter, lebar” Arjuna menjawab pertanyaan Sani dengan menyebutkan simbol-simbol yang digunakan dalam fisika dan matematika. Grasvitasi adalah g, tekanan adalah p, diameter adalah d, dan lebar adalah l. Yang dimaksud oleh Arjuna adalah ‘gpdl’ atau ‘gak peduli’.

“x+y=x” ujar Sani kesal sambil beranjak pergi meninggalkan dapur. Hasil dari persamaan yang Sani sebutkan adalah ‘y’.

“πr2” balas Arjuna santai. πr2 adalah rumus luas dari lingkaran. Arjuna menjawab dengan rumus ini karena lingkaran itu berbentuk bulat seperti huruf ‘O’

Setelah beberapa menit, Sani kembali ke dapur dengan membawa sekantung plastik yang baru saja ia beli di warung. Setelahnya, Sani kembali melanjutkan kegiatan memasaknya.

Arjuna bukan tidak ingin membantunya, tapi Sani sendiri yang berkata ‘tidak perlu’ saat Arjuna menawarkan bantuan padanya. Karena itulah, Arjuna merasa tidak perlu untuk membantunya walaupun Sani memintanya.

Beberapa menit kemudian, Sani menaruh dua cangkir, yang satu berisi kopi susu dan yang satu lagi berisi kopi hitam di atas meja yang ada di hadapan Arjuna.

“Dikasih sianida, gak?” Tanya Arjuna iseng.

“100% sianida” jawab Sani dengan penuh penekanan di setiap nadanya.

“Tukar” kata Arjuna.

“9,8m/s2” Sani membalas perkataan Arjuna dengan menyebutkan nilai dari percepatan gravitasi yang lambangnya adalah ‘g’ yang membuat Arjuna tertawa mendengar jawabannya.

“Kalau mau penuh penekanan, harusnya pake 6,67x10-11Nm2/kg2” ejek Arjuna.

“Apa tuh?” Tanya Sani bingung.

“Nilai konstanta gravitasi” jawab Arjuna.

“Lambangnya?” Tanya Sani lagi.

“G besar” jawab Arjuna yang membuat Sani kembali berjalan kea rah kompor.

“Oh, gitu” ujar Sani sambil kembali berkutat dengan peralatan dapur.

15 menit kemudian, Arjuna dan Sani berpindah tempat ke ruang tamu dengan semua makanan yang telah dimasak oleh Sani. Mereka memilih untuk makan di ruang tamu dikarenakan meja makan yang ada di dapur Arjuna sangatlah kecil.

Tidak ada satupun dari Sani mau pun Arjuna yang bersuara saat makan.

“Beresin!” Perintah Sani setelah selesai makan.

“Katanya gak butuh bantuan?” Tanya Arjuna iseng. Tak perlu mendengar jawaban Sani, Arjuna segera merapikan semua peralatan makan yang baru saja mereka gunakan dan membawanya ke dapur dan mencucinya.

Setelah selesai mencuci peralatan makan dan menaruhnya di lemari dapur, Arjuna kembali ke ruang tamu untuk duduk bersama Sani.

“Ganti baju, sana!” Perintah Sani tiba-tiba saat Arjuna baru saja duduk di sofa.

“Hm?” Arjuna yang tidak mengerti dengan ucapan Sani hanya berdeham untuk memastikan perkataan Sani.

“Baju kamu kekecilan tuh” ujar Sani “sampai kelihatan tuh garis-garis di perut kamunya” lanjutnya yang membuat Arjuna melihat ke arah kaos yang menutupi perut Arjuna.

“Kaos gua kebanyakan kayak gini” jawab Arjuna santai.

“Kenapa gitu?” Sani bertanya dengan ekspresi penasaran.

“Karena gua gak tahu harus pake baju yang kayak gimana kalau di rumah. Jadi, hampir semua baju kaos yang gua beli ya kayak gini semua” Arjuna menjelaskan alasannya.

“Lain kali, kalau mau beli baju, ajak aku deh” Sani membalas perkataan Arjuna “tapi, kok bisa sih?” Lanjutnya bertanya.

“Hm?” Arjuna yang tidak mengerti dengan pertanyaan Sani, hanya berdeham untuk menanyakan maksudnya.

“Kamu kan gak pernah ikut pelajaran olahraga, kok bisa sih?” Sani kembali bertanya.

Pluk!

Refleks Arjuna yang bagus membuatnya dapat menangakap bungkus rokok yang melayang ke arahnya.

“Karena Juna nge-gym terus” Putra yang baru saja masuk ke dalam rumah Arjuna bersama dengan Kamal dan Andri menjawab pertanyaan Sani. Ketiga temannya itu segera duduk di sofa yang tersedia di rumah Arjuna.

Andri, Kamal, dan Putra sudah sering datang kerumah Arjuna. Arjuna hanya tinggal sendiri di rumah ini, jadi ketiga teman Arjuna itu bisa keluar dan masuk rumah Arjuna seakan-akan rumah Arjuna ini milik mereka sendiri. Bagi Arjuna, mereka adalah teman yang tidak punya akhlak.

“Lu gak nge-gym, Jun?” Tanya Andri.

“Pake nanya” balas Putra “ya nggaklah, kan ada ayangnya datang”

“Nggak, Ndri” Arjuna menjawab pertanyaan Andri “nih, ngurus anak kecil” lanjutnya sambil menolehkan kepala ke arah Sani.

“Aku yang ngurus kamu ya, bocil” protes Sani dengan nada dan raut wajah kesal “kamu tuh, anak yang paling muda di sekolah kita” lanjutnya yang membuat ketiga teman Arjuna tertawa.

“Baunya enak nih” kata Kamal tiba-tiba “lu berdua habis makan?” Lanjutnya bertanya.

“Paling juga habis pesan makanan” celetuk Putra yang membuat Sani mentapnya dengan tajam.

“Enak aja” protes Sani “aku yang masak”

“Iya, Jun?” Tanya Putra pada Arjuna untuk memastikan kebenaran dari ucapan Sani.

“Hm” Arjuna berdeham untuk mengiyakan.

“Enak gak, Jun?” Tanya Andri.

“Asin banget” jawab Arjuna santai, berniat untuk mengejek Sani.

“KAMU YANG MINTA, YA, BAPAK ARJUNA JUNAEDI YANG TERHORMAT” Sani berbicara dengan nada yang sangat keras dan penuh penekanan.

“Iya, iya, gua yang minta, iya” Arjuna membalas perkataan Sani agar Sani tidak berteriak lagi.

“Juna mah emang gitu, San” ujar Kamal “suka banget asin” tambahnya.

“Masako aja digado” timpal Putra yang membuat Sani menatap tajam ke arah Arjuna.

“Bener?” Tanya Sani yang hanya dijawab dengan anggukan oleh Arjuna “jangan makan micin banyak-banyak, nanti kamu jadi bodoh” ujar Sani.

“Juna bilang makan micin itu bikin dia pinter, San” kata Andri yang membuat Sani menarik nafas dalam-dalam. Sepertinya, kali ini teman-teman Arjuna berniat agar Arjuna dimarahi habis-habisan oleh Sani.

“Marahin aja, San” ucap Putra memanasi keadaan. Arjuna sudah menduga hal itu.

“Udah, udah” Kamal menengahi “mending kita main game aja”

“Game apaan?” Tanya Putra.

“Truth or dare” Kamal menjawab sambil mengedipkan-ngedipkan matanya.

“Ya udah, ayo gas” ujar Andri dengan penuh semangat setelah menerima kode dari Kamal.

“Gaslah” timpal Putra tak kalah semangat.

“Eum, boleh deh” Sani berbicara dengan ekspresi yang terlihat ragu.

“Males” kata Arjuna “kayak bocah”

“Padahal kamu yang umurnya paling bocah di antara kita semua” balas Sani.

“Takut?” Tanya Kamal sembari menyeringai ke arah Arjuna.

“Cowok, bukan?” Putra bertanya pada Arjuna dengan nada yang cukup keras.

Sebenarnya, Arjuna ingin menolak. Tapi, jika Arjuna menolak, ketiga temannya akan terus memaksanya sehingga dia mau. Mau tidak mau, Arjuna harus menerimanya.

“Ya udah, ayo” jawab Arjuna pada akhirnya yang membuat ketiga temannya tersenyum puas.

“Nah, itu baru kawan gua” ujar Andri.

Permainan dimainkan dengan cara memutarkan sebuah botol kaca. Orang yang ditunjuk oleh ujung botol kaca yang sudah berhenti, harus memilih ‘truth’ atau ‘dare’. Jika memilih truth, dia harus menjawab pertanyaan dari pemain lain dengan jujur, jika memilih dare, akan mendapatkan sebuah tantangan dari pemain lain. Jika tidak bisa menyelesaikan tantangan, maka akan mendapatkan hukuman.

Permainan dimulai dengan kelicikan Kamal yang dengann sengaja memutarkan botol dengan pelan sehingga Arjuna terpilih.

Arjuna tahu apa yang Kamal lakukan adalah sebuah kecurangan. Tapi. Arjuna sama sekali tidak peduli. Karena semua hal yang ada dalam permainan ini pasti bisa Arjuna lakukan dengan mudah.

“Ada cewek yang lu suka gak, Jun?” Putra bertanya dengan spontan setelah melihat ujung botol yang menunjuk ke arah Arjuna, dia tidak mempedulikan apakah Arjuna akan memilih truth atau dare.

“Gak ada” jawab Arjuna malas.

“Suka sama Sani, gak, Jun?” Tanya Andri.

“Kok aku dibawa-bawa?” Protes Sani yang merasa diabaikan oleh Arjuna dan teman-temannya, sampai-sampai mereka berani menyebut namanya di depannya.

“Gak” jawab Arjuna singkat.

“Kalau ada cewek yang nembak lu, bakal lu terima gak, Jun?” Tanya Kamal.

“G” Arjuna menjawab semua pertanyaan tidak berguna ini tanpa berpikir dua kali “lanjut” lanjutnya.

Permainan berlanjut tanpa ada satupun hal yang berarti, seperti Putra yang harus mengirim pesan ‘hai, sayang’ pada seorang siswi di kelasnya lewat whatsapp, Kamal yang harus jujur tentang hafalannya, Sani yang harus jujur tentang pria seperti apa yang ia sukai, Andri yang harus memasang foto bersama Sani di status Instagram, dan beberapa kejadian tidak penting lainnya.

Permainan demi permainan terus berlanjut dengan penuh canda tawa sampai jam makan siang hampir tiba sehingga mereka semua memutuskan untuk segera mengakhiri permainan. Karena ini akan menjadi permainan terakhir, orang yang terpilih harus memilih dare.

Botol terakhir diputar oleh Andri, dia memutarkan botol dengan sangat cepat sehingga tidak ada yang tahu siapa yang akan terpilih. Setelah beberapa lama menunggu, botol pun berhenti tepat mengarah Arjuna. Arjuna sudah menduga kalau hal ini akan terjadi.

“Karena lu suka hukum Newton, lu harus kasih contoh dari tiap hukum Newton sekaligus, tanpa alat” ucap Kamal “kalau gak bisa, lu traktir kita semua selama seminggu” tambahnya.

“Nice, Mal” ujar Andri.

“Kamal, I love you” kata Putra yang terlihat sangat senang dengan tatantangan yang Kamal berikan pada Arjuna.

Ini sulit. Arjuna harus memberikan sebuah contoh yang bisa mewakili ketiga hukum Newton sekaligus tanpa alat. Jika saja boleh menggunakan alat, maka ini akan jadi sangat mudah bagi Arjuna. Tantangan ini adalah tiket jebakan satu arah menuju kekalahan Arjuna.

Kamal benar-benar tahu kalau Arjuna akan dapat menyelesaikan tantangan ini dengan sangat mudah jika Arjuna diperbolehkan untuk menggunakan alat. Arjuna hanya akan mendorong sebuah mobil mainan sampai menabrak tembok jika saja boleh menggunakan alat.

Tantangan ini membuat Arjuna berpikir lebih keras dari pada biasanya.

“Gua kasih waktu 3 menit buat mikir” ujar Kamal saat Arjuna sedang berpikir “inget! Gak boleh pakai alat” lanjutnya. Ucapan Kamal membuat Arjuna sedikit tertekan.

Kamal sengaja mengatakan hal yang membuat Arjuna mendapatkan tekanan, agar Arjuna tidak dapat berpikir jernih dan tidak dapat menyelesaikan tantangan.

Arjuna yang mulai tidak fokus karena tekanan yang ia dapatkan dari ucapan Kamal, mulai mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru rumah.

Tidak ada hal yang bisa Arjuna lakukan. Arjuna hanya bisa melihat hal-hal yang bisa ia gunakan jika diperbolehkan menggunakan alat.

Arjuna terus mengedarkan pandangannya, ia melihat semua temannya berada di ruang tamu rumahnya. Semua orang yang berada di ruang tamu Arjuna tersenyum kepadanya, tapi senyuman mereka terlihat berbeda di mata Arjuna. Kamal yang tersenyum puas melihat Arjuna yang sedang pusing berpikir, Putra yang tersenyum karena ia berpikir kalau Arjuna tidak akan dapat menyelesaikan tantangannya dan akan mendapatkan traktiran dari Arjuna selama seminggu, Andri yang tersenyum karena merasa bahwa mereka pasti menang, dan Sani yang tersenyum sambil menatap Arjuna dengan tatapan yakin kalau Arjuna bisa menyelesaikan tantangannya.

‘Wait. Gua cuma gak boleh pake alat, kan?’ Batin Arjuna, dia sudah tahu apa yang harus dia lakukan.

Setelah tahu apa yang harus ia lakukan, Arjuna segera berdiri dari sofanya dan menarik lengan baju Sani agar Sani mengikutinya untuk berdiri.

Saat Sani sudah berdiri, Arjuna kembali menariknya agar Sani mengikuti Arjuna ke tempat yang lebih luas yang berada di ruangan itu. Tempat yang lumayan luas dan tidak terhalang oleh sofa atau barang-barang lainnya.

Arjuna mencengkeram baju bagian bahu Sani dengan sangat kencang, sedikit menarik baju Sani ke atas sampai cengkeramannya tidak sampai menyentuh Sani, meski terhalang baju. Untung saja baju yang Sani kenakan adalah baju over size, sehingga tidak ada masalah jika bajunya sedikit terangkat karena perlakuan Arjuna. Sebab, meski bajunya sedikit terangkat, masih tetap menutupi seluruh tubuh Sani dengan sangat sempurna.

Arjuna benar-benar mencengkeram baju Sani dengan sangat kencang agar Sani tidak bisa kabur darinya. Kemudian, Arjuna mengarahkan Sani agar berdiri tepat di hadapannya dan melihat tepat ke arah mata Arjuna. Hanya satu petak lantai yang menjadi pemisah di antara Arjuna dan Sani.

Sekilas, Arjuna melihat ke arah Kamal, Putra, dan Andri yang sedang terdiam untuk memperhatikan adegan yang sedang dilakukan oleh Arjuna dan Sani. Ekspresi ketiga temannya terlihat kebingungan sekaligus penasaran.

Arjuna tidak mempedulikan ketiga temannya, dia kembali berfokus kepada perempuan dengan paras manis yang kini sedang berdiri di hadapannya.

Sani tersenyum canggung karena Arjuna yang sedang menatap matanya dengan tatapan yang sangat dalam. Sani merasa sangat gugup.

“K-kenapa?” Tanya Sani dengan nada yang sangat canggung. Raut wajah Sani terlihat sangat bingung dan gugup dengan apa yang sedang terjadi. Perlahan, pipi Sani mulai mengeluarkan semburat merah karena Arjuna yang terus menatapnya.

Arjuna tidak peduli dengan apa yang Sani katakan, dia hanya terus menatap Sani dengan tatapan dalam ke arah mata indah milik Sani yang juga sedang menatap ke arah matanya dengan tatapan canggung. Arjuna baru menyadari kalau binar yang terpancar dari mata Sani terlihat sangat indah.

Arjuna melangkah kecil ke depan untuk mengikis jarak di antara dirinya dan Sani. Sani yang terkejut karena jarak antara dirinya dan Arjuna terlalu dekat, mencoba untuk berlari ke arah sofa.

Tidak bisa. Sani tidak bisa berlari dari laki-laki yang kini sedang berada di hadapannya. Saat Sani mencoba untuk menggerakkan tubuhnya agar menghadap ke arah lain, Arjuna akan menariknya untuk kembali menatapnya dengan kedua tangan yang masih setia mencengkeram baju pada bagian bahunya.

Rasa takut mulai menjalar di dalam tubuh Sani. Tubuhnya sedikit bergetar, jantungnya berdetak dengan cepat karena kadar adrenalin yang semakin meningkat.

Sani merasa tidak bisa kabur dari Arjuna. Sani tidak dapat berpikir jernih. Sani tidak tahu apa yang harus dia lakukan.

Sani kembali menatap Arjuna dengan membulatkan matanya, memajukan bibir bawahnya, dan sedikit menggembungkan pipinya. Sani memperlihatkan ekspresi takut khasnya agar Arjuna mengasihaninya dan membiarkannya pergi.

Sani salah langkah. Bukannya merasa kasihan, Arjuna justru semakin gemas karena ekspresi yang Sani tunjukkan padanya dan semakin dalam menatapnya. Ekspresi yang Sani tunjukkan membuat Arjuna kembali melangkahkan kaki ke depan untuk kembali mengikis jarak dengannya. Arjuna sudah terbawa suasana.

Karena terlalu lama menatap Sani dengan tatapan yang sangat dalam, kini mata indah dan paras Sani yang sangat cantik sudah menjadi titik gravitasi bagi Arjuna. Arjuna tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Sani karena adanya gaya gravitasi yang menariknya agar terus memandang Sani.

Sani sudah pasrah, dia hanya bisa menatap mata Arjuna yang masih setia menatapnya degan tatapan yang semakin dalam setiap saatnya sambil melangkahkan kakinya ke belakang untuk kembali sedikit memberi jarak dengan Arjuna karena merasa dirinya tidak akan bisa kabur. Sani hanya bisa melangkah ke belakang untuk mengulur sedikit waktu. Entah sampai kapan dia bisa mengulur waktu.

Merasa Sani menjauh darinya, Arjuna kembali berjalan dengan sebuah langkah kecil ke depan, kembali mengikis jarak dengan Sani. Melihat Arjuna kembali mendekat ke arahnya, Sani kembali mundur satu langkah ke belakang.

Sudah cukup lama Sani menatap Arjuna yang juga menatapnya dengan tatapan yang sangat dalam. Waktu yang Sani gunakan untuk menatap Arjuna sudah cukup untuk membuatnya ikut terbawa suasana. Akibat tatapan intens yang dilakukan keduanya, jantung mereka berdebar cepat karena kadar hormon adrenalin yang meningkat.

Jika Arjuna berjalan satu langkah ke depan untuk mengikis jarak, maka Sani akan berjalan satu langkah ke belakang untuk kembali membuat jarak. Hanya satu hal yang berbeda. Sebelumnya, Arjuna dan Sani melakukannya dengan sadar. Kali ini, mereka melakukannya secara tidak sadar karena sudah terbawa suasana.

Rasa gemas Arjuna terhadap Sani menuntun alam bawah sadarnya untuk terus mendekat kepada Sani. Begitu juga dengan Sani, hanya keinginan untuk mempertahankan diri dari alam bawah sadarnyalah yang menuntun Sani untuk terus menjauh dari Arjuna.

Langkah demi langkah dilakukan secara perlahan tapi pasti. Baik Arjuna mau pun Sani, mereka tidak bisa mengalihkan pandangan terhadap satu sama lain. Arjuna terus melangkah maju dan Sani terus melangkah mundur sampai-sampai…

Dug!

Tubuh Sani membentur dinding karena terus berjalan mundur tanpa melihat. Sani tidak akan bisa ke mana-mana lagi sekarang. Hal itu, membuat Arjuna mengembangkan senyumnya.

Dengan spontan, Arjuna melepaskan cengkeramannya dari baju Sani. Tangan kirinya, ia bentangkan ke dinding, sedangkan tangan kanannya, ia gunakan untuk menangkup wajah Sani yang terbalut dengan keurudung yang Sani kenakan.

Benturan kecil antara tubuhnya dengan dinding membuat Sani kembali tersadar. Gelap. Hanya itu yang dapat Sani lihat saat ia tersadar.

‘Cuma mimpi?’ Batin Sani mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.

Semuanya terlalu nyata bagi Sani untuk berpikir kalau apa yang baru saja ia lihat hanyalah sebuah mimpi. Kenyataannya, hanya gelap yang dapat tertangkap oleh pandangan Sani.

Sani sedikit bersyukur karena apa yang baru saja ia lihat hanya mimpi. Sani mencoba menoleh ke kiri untuk melihat keadaan sekitar.

Tidak bisa. Sani tidak bisa menolehkan wajahnya. Ada sesuatu yang menahan wajahnya untuk menoleh.

Sani yang masih belum tersadar sepenuhnya hanya bisa bingung dengan apa yang baru saja terjadi pada dirinya, dia sedikit mendongakkan kepalanya.

Terlihat wajah Arjuna yang sudah sangat dekat dengan wajahnya saat Sani mendongak. Kini Sani tahu, gelap yang baru saja ia lihat adalah warna hitam dari baju polos yang dikenakan oleh Arjuna yang sudah sangat dekat dengan matanya, dan yang membuatnya tidak bisa menoleh adalah tangan kanan Arjuna yang sedang menangkup wajahnya, meski Arjuna tidak menyentuh kulit pipinya secara langsung, melainkan menyentuh kerudung.

‘Oh, tidak. Bahaya’ batin Sani.

Ada sedikit rasa senang saat Sani mengetahui apa yang terjadi padanya adalah hal yang benar-benar terjadi, bukan hanya sebuah imajinasi atau mimpi seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang sering membaca novel.

Semuanya sudah terlambat meskipun Sani sudah sadar sepenuhnya. Dinding yang berada di sisi kanan dan belakangnya, tangan kanan Arjuna yang membentang di sisi kirinya, menutupi satu-satunya jalan Sani untuk keluar dari kejadian ini, ditambah dengan bibir Arjuna yang sudah sangat dekat dengan bibirnya.

Benar-benar tidak ada jalan keluar. Sani yang sudah tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan hanya bisa menutup matanya.

Dug!

Telinga Sani menangkap suara benturan yang sangat keras, tapi dia masih tidak mau membuka matanya.

Tes!

Sebuah cairan menetes, membasahi bahu kanan Sani yang terbalut dengan baju.

Cairan yang menetes semakin banyak, membuat Sani dapat merasakan bajunya yang mulai basah.

Hiks!

Sebuah isakan terdengar.

Hiks! Hiks! Hiks!

Mendengar isakan yang semakin menjadi-jadi, cairan yang membuat bajunya semakin basah, dan bau amis yang masuk ke dalam indera penciumannya, membuat Sani membuka matanya.

Hitam. Hanya baju yang dikenakan oleh Arjuna yang dapat dilihat oleh Sani. Badan Arjuna yang jauh lebih tinggi dan besar dibanding Sani, membuat Sani tidak bisa melihat apa-apa selain baju hitam polos yang dikenakannya.

Hiks!

Sebuah isakan kembali keluar dari mulut Arjuna.

“J-Juna” lirih Sani “kamu, kenapa?” Lanjutnya bertanya.

“S-Sani. M-maaf” lirih Arjuna sambil menahan isakan tangisnya.

Sani masih tidak bisa bergerak. Tubuh besar Arjuna yang masih berada di hadapannya yang kurang lebih hanya berjarak 3 cm dari tubuh Sani, membuatnya tidak bisa bergerak.

“Maaf. Maaf. Maaf” Arjuna yang masih membenamkan kepalanya ke dinding yang berada di belakang Sani terus merapalkan kata maaf, semakin lama, ucapan Arjuna semakin keras. Arjuna seperti orang yang sangat menyesali perbuatannya.

Sani mengarahkan tangannya ke punggung Arjuna. Sani berniat untuk menenangkan Arjuna dengan mengusap-usap punggung Arjuna.

“J-jangan!” Larang Arjuna dengan nada yang lirih karena merasakan hawa keberadaan tangan Sani saat tubuhnya akan disentuh “jangan sentuh aku, San”

“Kenapa?” Tanya Sani spontan.

“Bukan mahram” jawab Arjuna yang membuat Sani tersenyum. Sani benar-benar ingat, Arjuna tidak pernah menyentuhnya sedikitpun. Bahkan, Arjuna tidak menanggapi ajakannya untuk berjabat tangan saat berkenalan. Selama adegan ini juga Arjuna tidak menyentuh kulit Sani secara langsung.

“Ya udah, tenang dulu ya, Jun” lirih Sani “Putra, Andri, Kamal, kenapa diam aja?” Tanya Sani yang melihat ketiga teman Arjuna hanya terdiam.

‘Ceweknya dikabedon, anjir’ monolog Putra dalam pikirannya ‘kapan ya gua bisa kayak gitu’

‘Wah. Gila! Ini adegan paling menegangkan’ pikir Andri.

‘Nanti kalau gua udah nikah, gua mau coba adegan ini ke istri gua’ batin Kamal.

Putra, Andri, dan Kamal bukannya tidak ingin membantu, mereka hanya terbawa suasana sampai menganggap apa yang sedang mereka lihat adalah drama di dalam film, mereka lupa jika apa yang ada mereka lihat adalah nyata. Mendengar namanya dipanggil, mereka segera bangkit dari sofa yang mereka duduki, kemudian berjalan ke arah Arjuna dan Sani.

Kamal menarik Arjuna pelan agar Arjuna berpindah tempat dan tidak menghalangi Sani yang masih berada di hadapannya.

Arjuna yang masih terisak, mundur secara perlahan, dia segera menutup wajahnya dengan kedua tangannya saat kepalanya tidak lagi menempel pada dinding.

Arjuna dibawa oleh Kamal untuk kembali duduk di sofa panjang. Putra duduk di samping kiri Arjuna, Kamal di samping kanan Arjuna, dan Andri di depan Arjuna. Ketiga temannya terus mengusap-usap Arjuna untuk menenagkannya.

Sani ingat, sebelumnya dia mencium bau darah. Sani melirik bajunya yang basah karena air mata Arjuna, terdapat bercak merah di sana. Sani melihat ke arah Arjuna yang masih terisak, terdapat sedikit robekan di jidat kanan Arjuna.

“Kamal, ambil kotak P3K, Andri, ambil air hangat sama handuk” titah Sani “kepala Juna berdarah”

Mendengar perkataan Sani membuat Andri dan Kamal segera bangkit untuk mengambil apa yang diperintahkan olehnya.

Sani berjalan mendekati Arjuna, ia duduk di tempat kosong yang ada di samping Arjuna yang sebelumnya diduduki oleh Kamal.

“Gua ngapain, San?” Tanya Putra yang tidak diperintah oleh Sani.

“Kamu diam aja” jawab Sani “jangan banyak tingkah”

“S-Sani” panggil Arjuna lirih, setelah mendengar suara Sani berada di sampingnya.

“Iya, kenapa, Jun?” Tanya Sani dengan nada yang lembut.

“M-maaf” lirih Arjuna.

“Iya, gapapa, kok” balas Sani lembut.

“Maafin aku, San” Arjuna masih tidak berhenti meminta maaf “maafin aku”

“Iya, gapapa, Juna, gapapa” balas Sani masih dengan nada yang lembut.

“Maafin aku” Arjuna meminta maaf sekali lagi “maafin aku yang hampir ngerenggut kesucian kamu” lanjutnya lirih, setelahnya kembali terisak dengan hebat.

Mendengar penuturan Arjuna, membuat Putra menahan tawanya.

“Maksud kamu?” Tanya Sani bingung, Arjuna tidak menjawab pertanyaan Sani karena tidak dapat menahan isakan tangisnya.

“Jangan dipikirin, Juna masih polos” bisik Putra pada Sani “megang tangan cewek aja udah dianggap ngerenggut kesucian cewek itu” lanjutnya.

Andri dan Kamal sudah kembali duduk di sofa dengan membawa barang P3K, handuk, dan air panas, mereka memilih untuk duduk di dekat Putra.

Segera, Sani mebersihkan luka di kepala Arjuna. Arjuna terus meringis dan merengek seperti anak kecil saat Sani sedang mengobati lukanya.

“Jun” panggil Kamal setelah Sani selesai mengobati luka di kepala Arjuna.

“Mal, Allah marah, gak, sama Juna?” Tanya Arjuna dengan nada seperti anak kecil.

“Marah banget, Jun” jawab Putra “parah, sih” lanjutnya yang membuat Arjuna kembali terisak hebat.

Bug!

“Gak gitu caranya, bego!” Kesal Andri pada Putra setelah memukul lengan Putra.

“Nggak, Jun, nggak” Kamal menjawab pertanyaan Arjuna sebelumnya.

“B-beneran?” Tanya Arjuna dengan sedikit terisak.

“Iya” jawab Kamal lagi “asal jangan dilakuin lagi ya, kan bukan mahram” lanjutnya.

“I-iya, Juna gak akan ngelakuin lagi” balas Arjuna dengan nada seperti anak kecil. Arjuna sudah menghentikan tangisannya, dia kembali menegakkan posisi duduknya.

“Juna kalau lagi kayak gini imut banget, ya” celetuk Andri.

“Iya, gemas banget” timpal Sani “mau cubit pipinya”

“Jangan dicubit” balas Arjuna sambil menggembungkan pipinya dan memajukan bibir bawahnya “nanti pipi Juna sakit”

“Kalau dipukul, mau, gak, Jun?” Tanya Putra yang membuat Arjuna kembali menangis, membuat ketiga orang yang melihatnya menepuk jidat.

Siapa yang menyangka Arjuna yang selalu terlihat garang dan sering menatap orang dengan sinis memiliki little space?

Mungkin little space bukanlah kata yang tepat untuk menjelaskan keadaan Arjuna saat ini, sebut saja mode manja Arjuna, karena Arjuna masih sadar dengan apa yang ia lakukan. Tingkah yang dikeluarkan Arjuna saat ini adalah tingkahnya yang sebenarnya, tingkah yang disembunyikan oleh Arjuna selama bertahun-tahun.

Arjuna akan bertingkah seperti anak kecil saat dia menangis karena kesalahan yang ia perbuat dan akan berhenti bertingkah manja jika dia sudah benar-benar merasa tenang. Alasan dibalik mengapa dia bertingkah manja adalah masa lalunya di rumah, dia melakukan itu untuk menghindari omelan yang terlalu parah ataupun pukulan. Tapi, Arjuna masih akan menjadi sensitif dan mudah untuk menangis dalam beberapa jam.

Sudah hampir satu jam Arjuna berhenti menangis. Arjuna sudah berhenti bertingkah manja sejak beberapa menit yang lalu.

“Kebayang gak sih kalau satu sekolah tahu tingkah Arjuna yang satu ini?” Tanya Putra setelah melihat tingkah menyebalkan Arjuna yang sudah kembali “gua nyesal sih pas Juna nangis dan bertingkah kayak bocah, gak gua videoin”

“Arjuna yang menyebalkan telah kembali” cibir Andri “tolong kembalikan Arjuna kami yang imut kayak anak TK” lanjutnya mengejek.

“I-iya, Juna gak akan ngelakuin lagi” ujar Kamal meniru cara bicara Arjuna saat Arjuna sedang berada dalam mode manjanya.

“Bacot” kata Arjuna malas, dia benar-benar malu. Arjuna menyesal telah mengeluarkan mode manjanya di depan tiga sahabatnya. Terlebih lagi, di depan Sani.

“Sering-sering aja, Jun, keluarin mode manjanya” ujar Andri “gua ikhlas banget, sumpah”

“Iya, Jun” timpal Putra “nanti gua beliin permen banyak-banyak, deh”

“Lu cuma ngeledekin gua doang, ya, bisanya” balas Arjuna kesal.

“Tapi, ada satu hal yang penting, Jun” ucap Kamal santai.

“Hm?” Arjuna berdeham agar Kamal meneruskan ucapannya.

“Lu gak bisa nyelesaiin tantangan lu” ucap Kamal lagi.

“Asyik. Traktiran seminggu” kata Putra bersemangat.

“Yoi” timpal Andri

“Kalian tuh, ya, Arjuna kan baru aja nangis” Sani mencoba untuk membela “jangan kayak gitu”

“Gapapa, San” kata Arjuna santai “lagi pula, gua menang kok” lanjutnya yang membuat ketiga temannya menatapnya.

“Hah!?” Putra terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar.

“Maksud lu?” Tanya Kamal yang terlihat bingung.

“Pas gua narik Sani, gua memberikan gaya tarikan terhadap Sani sampe dia ikut berdiri. Ini jadi salah satu contoh dari hukum Newton II yang di mana percepatan sebanding dengan resultan gaya, tapi berbanding terbalik dengan massa.

Tarikan yang gua lakuin ke Sani jadi gaya (F), berat badan Sani jadi massa (m), kecepatan dan juga waktu yang gua habisin buat narik Sani jadi percepatan (a).

Pas gua maju selangkah demi selangkah buat ngedeketin Sani dan dia juga mundur selangkah demi selangkah buat ngejauhin gua. Ini jadi salah satu contoh dari Hukum Newton III, yang di mana setiap aksi akan memiliki reaksi yang sama besar dengan arah yang berbeda.

Langkah maju yang gua lakuin jadi gaya aksi (Faksi) dan langkah mundur yang Sani lakuin jadi gaya reaksi (Freaksi) yang berbanding terbalik dengan gaya yang gua kasih.

Terakhir, pas badan Sani nabrak tembok, dia gak lagi bisa ngasih gaya atau mundur karena ketahan sama tembok, jadi gak ada gaya yang bisa dia hasilin, atau dengan kata lain ∑F=0. Sama kayak Hukum Newton I” Arjuna menjelaskan semua hal gila yang belum lama ini dia dan Sani praktikkan kepada ketiga temannya.

“Gila!” Kamal berkata dengan cukup keras.

“Lu lagi main truth or dare atau lagi main drama?” Tanya Andri kesal karena kembali mengingat drama dadakan Arjuna dan Sani yang ia lihat secara langsung.

“Lu sih, Mal” Putra menyalahkan Kamal “dia malah dapet kesempatan buat show time kepintaran dan kemesraan” lanjutnya.

“Jadi, lu sama Sani udah pacaran?” Tanya Andri tiba-tiba yang membuat Arjuna dan Sani hanya terdiam karena tidak bisa menjawab “GILA!”

“Yang gua lakuin salah?” Arjuna bertanya karena merasa sangat bingung. Arjuna merasa tidak ada kesalahan yang ia lakukan, dia bahkan bisa menahan diri untuk tidak melanjutkan apa yang seharusnya memang tidak terjadi.

“Lu kalah” ujar Kamal “lu gak boleh pake alat dan lu malah pake alat” lanjutnya.

“Sani bukan alat” Arjuna membantah ucapan Kamal dengan nada yang sangat tinggi “Sani itu manusia” tambah Arjuna dengan penuh penekanan di setiap nadanya.

“Baru kali ini gua denger Juna memanusiakan manusia” balas Putra “biasanya, dia nganggap manusia itu sebagai alat”

“Ya, jelaslah” timpal Kamal “kan itu Sani, coba kalau orang lain? Gak akan”

“Benar juga” Putra menyetujui ucapan Kamal.

“Apa yang bikin lu bilang kalau Sani itu manusia dan bukannya alat?” Andri bertanya dengan ekspresi yang terlihat sangat santai dan juga angkuh.

“Alat itu benda yang dipakai buat ngerjain sesuatu” Arjuna mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sangat menjengkelkan baginya “sedangkan Sani, dia punya otak buat berpikir, perasaan buat ngerasain emosi, dan bisa ngelakuin sesuatu atas kemauannya sendiri”

“Lu mikirin perasaannya Sani, gak?” Putra kembali memberikan pertanyaan “lu bilang alat itu buat ngerjain sesuatu, dan lu barusan perlakuin Sani buat ngelakuin sesuatu yang lu mau tanpa mikirin perasaannya. Lu sadar, gak, kalau lu perlakuin Sani kayak alat?” Lanjutnya dengan penuh bentakan di akhir kalimatnya

Ketiga temannya benar, Arjuna sudah memperlakukan Sani seperti alat.

‘Seharusnya gua gak ngelakuin hal itu. Kalau dipikir-pikir, kalah dalam tantangan ini masih jauh lebih baik dari pada harus ngelakuin hal itu’ batin Arjuna.

“San?” Arjuna melihat ke arah Sani, dia memanggilnya dengan penuh keraguan dan nada yang paling lembut yang bisa dia lakukan. Mata Arjuna kembali berkaca-kaca, genangan air sudah siap keluar dari matanya jika dia mendapatkan kata-kata yang buruk lagi.

“Gapapa” Sani menjawab sambil tersenyum manis ke arah Arjuna “lagian, ini bukan yang pertama kali juga, aku udah gak kaget” tambahnya. Sani sudah tidak terlalu terkejut dengan apa yang Arjuna lakukan barusan, mengingat sebelumnya Arjuna pernah hampir memeluknya di depan kelasnya. Walaupun waktu itu hanya menggunakan konsep ilusi optik dan yang barusan adalah kenyataan tanpa rekayasa.

“Serius?” Arjuna kembali bertanya untuk memastikan.

“Iya, beneran kok” jawab Sani meyakinkan Arjuna, tangannya mengambil sebungkus rokok dan korek api yang ada di atas meja.

“Ngapain, hm?” Tanya Arjuna yang melihat Sani mengambil sebatang rokok dari bungkus rokok miliknya, Sani tidak menjawab pertanyaan Arjuna dan malah menautkan sebatang rokok itu di antara bibirnya, kemudian menyalakannya.

Uhuk!

Sani terbatuk saat baru saja menyelesaikan hisapan dari batang rokok yang ia nyalakan sendiri. Kelakuannya membuat ketiga teman Arjuna tertawa. Tapi tujuan Sani untuk menyalakan rokok itu sudah terwujud.

Arjuna tidak tahu apa yang sedang Sani pikirkan. Arjuna merasa sangat panik sehingga mengambil rokok yang Sani selipkan di jari telunjuk dan jari tengahnya.

“Jangan ngerokok lagi” kata Arjuna dengan nada yang sangat lembut pada Sani. Kemudian, Arjuna menyesap rokok yang ia ambil dari Sani.

“Manis, gak, Jun?” Tanya Sani tiba-tiba.

“Hm” Arjuna tidak tahu dengan apa yang Sani maksud, jadi dia hanya berdeham untuk menjawab pertanyaan Sani.

“Oalah, bucin” ujar Kamal dengan ekspresi malas.

“Biasalah, ngedrama lagi” timpal Andri.

“Kita ngebela Sani, tapi dianya malah bulol” Putra ikut menimpali.

Arjuna tidak paham dengan apa yang ketiga temannya katakan, jadi dia tidak ingin mempedulikan apa pun. Arjuna hanya berharap agar ketiga temannya tidak mengungkit tentang mode manjanya lagi.

“Jun” panggil Sani tiba-tiba.

“Kenapa, Sani?” Tanya Arjuna sambil tersenyum pada Sani.

“Kenapa kamu benturin kepala kamu ke tembok?” Tanya Sani penasaran.

“Itu hukuman dari aku buat diri aku sendiri” jawab Arjuna yang masih setia memberikan senyuman kepada Sani.

“Maksud kamu?” Kamal mencoba untuk meramal kalimat apa yang akan dikeluarkan oleh Sani.

“Maksud kamu?” Tanya Sani bingung. Ramalan Kamal benar-benar terjadi.

“Aku ngehukum diri aku yang udah berani lancang ke kamu dan hampir ngerenggut kesucian kamu” jawab Arjuna dengan penuh penyesalan.

“Tapi yang tadi itu terlalu keras” balas Sani.

“Gapapa” Arjuna berkata sambil menundukkan kepalanya “aku pantas dapat yang lebih buruk dari itu” lanjutnya.

“Ada yang aneh, gak, sih, dari omongannya si Juna?” Tanya Andri yang merasakan adanya hal aneh yang keluar dari Arjuna.

“Aku-kamu-an ke Sani?” Putra mencoba menjawab.

“Kayaknya kita di sini cuma buat nonton drama jadi-jadian sama ngurus bayi nangis doang” ucap Kamal.

“Kalau kata gua, memang Arjunanya aja yang bego” timpal Putra “lu mau gua pukul gak, Jun?” Lanjutnya yang membuat Arjuna kembali menangis.

Sepertinya mereka harus merawat mode manja Arjuna sekali lagi.