WebNovelJuNi92.86%

Malas

Sudah satu bulan berlalu sejak semester dua dimulai. Semester genap yang menjadi awal pertemuan Arjuna dengan Sani. Arjuna semakin dekat dengan Sani setiap harinya, sampai-sampai, Arjuna sudah terbiasa dengan kedatangan Sani dalam hidupnya dan tidak lagi merasa risih jika Sani berada di sampingnya.

Berbicara tentang semester dua, SMA Islam An-Nuur mempunyai kebiasaan yang sedikit berbeda. Di semester dua ini SMA Islam An-Nuur akan menjadi tempat untuk Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) bagi mahasiswa Fakultas Tarbiyyah atau Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan yang akan menyelesaikan studinya.

Mahasiswa yang akan melakukan Praktik Pengalaman Lapangan di SMA Islam An-Nuur berasal dari institut islam milik yayasan yang menaungi SMA Islam An-Nuur. Karena hanya ada jurusan berbasis islam di institut itu, maka, para mahasiswa yang melakukan praktik di SMA Islam An-Nuur hanya akan mengajarkan pelajaran-pelajaran berbasis islam yang sesuai dengan jurusannya.

Tidak hanya di SMA Islam An-Nuur, tapi semua sekolah yang dinaungi oleh yayasan An-Nuur akan menjadi tempat untuk melakukan Praktik Pengalaman Lapangan.

Hal ini membuat Arjuna ingin tahu, seberapa siapnya para mahasiswa PPL untuk menjadi guru. Karena mahasiswa yang menjalani PPL berasal dari yayasan yang sama dengan sekolah yang ditempati oleh Arjuna, seharusnya para mahasiswa PPL itu sudah tahu seberapa nakalnya siswa yang menempuh pendidikan di SMA Islam An-Nuur. Terutama kelas X IPA 5, yang dijuluki sebagai kelas anak-anak nakal.

Minggu ini menjadi minggu pertama para mahasiswa PPL memasuki kelas untuk mengajar.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh” ucap seorang mahasiswi yang sedang berdiri di depan papan tulis kelas X IPA 5.

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh” jawab semua siswa yang berada di kelas X IPA 5.

“Perkenalkan, nama saya Lusiana dari jurusan Pendidikan Bahasa Arab, Institut Agama Islam yang ada di gedung sebelah, saya biasa dipanggil Lusi, dan saya yang akan menggantikan wali kelas kalian untuk mengajar bahasa Arab di kelas X IPA 5 selama beberapa pertemuan ke depan” ujar mahasiswi itu memperkenalkan dirinya sendiri “karena usia saya hanya beberapa tahun lebih tua dari kalian, jadi kalian tidak perlu terlalu formal terhadap saya, seperti teman saja” tambahnya.

Menurut Arjuna, nada dan cara bicara mahasiswi yang bernama Lusi itu sangat monoton sehingga membuatnya malas. Arjuna memilih untuk meletakkan kepalanya di atas meja untuk tidak menghiraukannya.

“Yo, Lusi!” Celetuk seorang siswa yang duduk di kursi paling belakang, sepertinya dia benar-benar berniat untuk menganggap mahasiswi yang sedang mengajar itu seperti teman.

“Gak ada yang niat buat ngomong formal, sih, bu, di kelas ini mah” ujar seorang siswi.

“Ibu, kuat-kuat, ya, ngajar di kelas ini” timpal seorang siswi.

“Tenang, bu, kalau ibu gak kuat, ibu bisa lambaikan tangan ke kamera” kata seorang siswa.

“Sebelum kita memulai pelajaran, apa ada yang ingin kalian tanyakan tentang saya?” Tanya guru PPL itu.

“Ibu udah punya pacar, bu?” Tanya Kamal.

“Kalau belum, memangnya mau lu gebet, Mal?” Tanya seorang siswa yang duduk di kursi yang ada di depan Arjuna dan Kamal.

“Yoi” jawab Kamal singkat.

“Pacar lu mau dikemanain?” Tanya seorang siswa yang duduk di kursi belakang Kamal.

“Kan cowok boleh nikahin 4 perempuan” jawab Kamal santai.

“Cih, ganteng nggak, tinggi nggak, suaranya gak bagus, semuanya pas-pasan, sok-sokan mau selingkuh” timpal seorang siswi dengan nada kesal “ada yang mau sama lu aja udah bagus” lanjutnya.

“Ngelebihin prestasi gua nggak, malah komen yang buruk tentang gua” Kamal membalas komentar siswi itu dengan santai “sendirinya juga gak bisa ngelebihin gua padahal”

Perdebatan siswa kelas X IPA 5 cukup untuk membuat Lusiana merasa pusing, terlihat dari gerak-geriknya yang sedang menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Untuk pertanyaan tentang pacar tadi, saya masih lajang” guru PPL itu menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Kamal sebelumnya.

“Cih, jomblo” cibir Kamal.

“Gak laku, bu?” Tanya seorang siswa.

“Itu, yang tidur tolong dibangunin” pinta Lusiana sambil menunjuk kea rah Arjuna yang masih menaruh kepalanya di atas meja untuk mengalihkan topik. Kamal yang duduk di sebelah Arjuna menepuk punggung Arjuna. Arjuna yang merasa ditepuk segera membenarkan posisi duduknya.

“Bu, dia mah dibiarin aja, suka ngerusuh di kelas kalau bangun” ujar seorang siswi mengingatkan.

“Kenapa tidur? Ngantuk?” Tanya guru itu padaku.

“Nggak, bu” jawab Arjuna malas.

“Terus, kenapa?” Tanya Lusiana memastikan.

“Males” jawab Arjuna.

“Memangnya kamu gak niat sekolah?” Tanya guru itu kembali.

“Emang” jawab Arjuna singkat yang membuat Lusiana mengelus-elus dadanya secara spontan.

“Nama kamu siapa?” Lusiana bertanya lagi.

“Cari aja di absen” jawab Arjuna malas sambil kembali meletakkan kepalanya di atas meja.

“Wali kelas kalian memberi tahu ibu kalau beliau memiliki dua asisten dan beliau berpesan kepada saya untuk menjadikan dua orang itu menjadi asisten saya” Lusiana kembali mengganti topik pembicaraan “namanya Azizah dan Arjuna, untuk kedua orang ini, apakah kalian bersedia menjadi asisten saya?” Lanjutnya.

“Azizah yang mana, bu?” Tanya ketua kelas X IPA 5.

“Nur Azizah” jawab Lusiana.

“Ya, Nur Azizah yang mana?” Tanya ketua kelas X IPA 5 lagi.

“Ya, Nur Azizah” jawab Lusiana bingung.

“Nur Azizah ada dua bu, ada Nur Azizah ada Nuur Azizah” ujar seorang siswi.

“Waktu sebutin nama, wali kelas kalian nyebut u-nya agak panjang” jawab Lusiana berusaha mengingat.

“Oh, Nuur Azizah berarti, bu” jawab ketua kelas X IPA 5.

“Nuur Azizah yang u-nya dua berarti, bu” ujar seorang siswa “Nuur Azizah yang ada badaknya” lanjutnya.

“Baik, Nuur Azizah, apakah kamu bersedia untuk menjadi asisten saya?” Tanya Lusiana.

“Baik, bu” jawab Nuur Azizah.

“Kalau Arjuna yang mana?” Tanya Lusiana lagi.

“Saran saya, ya, bu, mending gak usah minta Arjuna buat jadi asisten ibu” ujar seorang siswi.

“Memangnya Arjuna itu yang mana orangnya?” Tanya Lusiana memastikan

“Tuh, bu, yang tidur” jawab seorang siswi itu lagi dengan nada kesal.

“Arjuna…” Perkataan Lusiana terpotong.

“Nggak, bu, males” Arjuna segera berbicara untuk memotong perkataan Lusiana tanpa mengangkat kepalanya sedikit pun dari atas meja “cari orang lain aja”

“Baik, kalau begitu, mari kita mulai pelajarannya” ujar Lusiana.

“Jangan, bu” protes seorang siswa “pertemuan selanjutnya aja, baru belajar” pintanya yang disetujui oleh Lusiana karena semua anak kelas X IPA 5 ikut mengangkat suara untuk mendukungnya.

Akhirnya, jam pelajaran ini hanya diisi dengan obrolan-obrolan tidak penting antara siswa kelas X IPA dengan mahasiswa PPL.

Jam pelajaran bahasa Arab telah selesai. Kini, hadis menjadi pelajaran yang dipelajari di kelas X IPA 5. Hari ini kelas X IPA 5 dipenuhi dengan banyak pelajaran berbasis islam, berarti, kelas itu akan bertemu banyak mahasiswa PPL yang akan mengajar di kelasnya.

Sejak perkenalan dengan mahasiswa PPL pertama yang masuk di kelas X IPA 5 hari ini, Arjuna sama sekali tidak mengangkat kepalanya dari atas meja. Meskipun dia sudah lama mencoba untuk tidur, tapi Arjuna tidak bisa tidur.

Perkenalan dengan mahasiswa PPL yang akan mengajar untuk menggantikan guru hadis telah selesai. Ini adalah mahasiswa PPL kedua yang memasuki kelas Arjuna dan menjadi orang kedua yang tidak disukai Arjuna karena nada bicaranya yang begitu angkuh dan suka menyombongkan diri.

Kamal menepuk punggung Arjuna yang langsung membuat Arjuna mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Kamal. Saat melihat Kamal, Kamal menunjuk ke arah kanan Arjuna, mengisyaratkan Arjuna untuk melihat ke arah yang dia tunjuk. Arjuna yang mengerti dengan maksud Kamal segera melihat ke arah yang ditunjuk.

“Kalau gak mau belajar, bisa keluar aja” ucap Amelia, mahasiswi PPL yang mengajar hadis di kelas X IPA 5 dengan nada yang sangat tidak mengenakkan sambil tersenyum yang terlihat seperti dipaksakan “saya gak butuh murid kayak kamu di kelas ini” lanjutnya dengan penekanan pada setiap katanya.

Mendengar perkataan Amelia membuat Arjuna merasa senang. Arjuna membalasnya dengan tersenyum singkat kepadanya, kemudian dia berdiri dari kursinya, menarik lengan Kamal, dan berjalan keluar kelas bersama Kamal.

“Saran ibu bagus juga, gak selamanya semua orang yang lebih tua itu harus dihormatin. Ada beberapa orang lebih tua yang gak harus dihormatin” ujar Arjuna yang masih berdiri di depan pintu kelas “salah satunya, orang kayak ibu” lanjutnya. Setelahnya, Arjuna kembali menarik Kamal dan berjalan untuk meninggalkan sekolah

Kamal tidak menolak sama sekali saat Arjuna menariknya, dia hanya terus mengikuti keluar melewati gerbang sekolah. Seperti biasa, aku membawa Kamal ke warung yang ada di depan gerbang sekolah.

“Menarik, ya, Mal” kata Arjuna saat mereka baru saja duduk di kursi yang ada di warung.

“Mau apa lu?” Tanya Kamal yang mengerti dengan ucapan Arjuna.

“Ngeruntuhin kesombongan seseorang?” Jawab Arjuna ragu, karena bingung untuk mencari kata-kata yang tepat.

“Baptis?” Tanya Kamal sambil sedikit tertawa.

“Gas!” Jawab Arjuna yang ikut tertawa setelahnya.

“Yang mana?” Tanya Kamal lagi “bu Lusi atau bu Amel?” Lanjutnya.

“Bu Lusi yang mana, Bu Amel yang mana?” Arjuna mengembalikan pertanyaan Kamal karena dia lupa dengan nama dua mahasiswa PPL yang baru saja mengajar di kelasnya.

“Bu Lusi yang pertama, BuAmel yang barusan” jawab Kamal.

“Yang barusan” jawab Arjuna singkat “siapa namanya tadi?” Tanya Arjuna lagi.

“Bu Amel” jawab Kamal “kebiasaan lu yang susah buat ngafalin nama sama muka orang gak berubah, ya”

“Muka lu juga gak berubah” Arjuna membalas perkataan Kamal “awal ketemu sama gua udah jelek, sekarang tetep jelek. Tambah jelek malah”

“Tapi gua udah gak jomblo, bosku” jawab Kamal santai.

“Pacaran kalau abis menang lomba doang kok bangga” balas Arjuna.

“Dari pada lu” Kamal kembali membalas “menang lomba aja tetep gak pacaran” lanjutnya yang membuat Arjuna tertawa.

“Nanti sore gua ada lomba tahfiz, mau ikut gak?” Ajak Kamal.

“Gak, terakhir kali gua ikut lu lomba tahfiz malah lu daftarin” jawab Arjuna malas.

“Seenggaknya lu menang juara dua, kan” Kamal membalas perkataan Arjuna “ya, walaupun gak bisa ngalahin gua yang juara satu sih” lanjutnya bangga. Ini hanyalah mode yang Kamal keluarkan pada Arjuna dan teman-teman dekatnya, mode yang tidak akan dikeluarkan pada orang lain.

“Gua gak ada persiapan sama sekali waktu itu” kata Arjuna malas “udah mah dikira gangster sama peserta lain”

“Mana gua tahu kalau orang-orang pake baju koko sama gamis” jawab Kamal “orang itu pas banget pulang sekolah, jadi, gua kira orang-orang pada pake baju seragam juga” lanjutnya,

“Ngidenya tuh, kita ke sana pake celana levis hitam, jaket kulit, sama kaca mata hitam, sambil ngerokok pula. Gimana gak dilihatin sama orang-orang? Paling telat lagi datengnya” kata Arjuna mengingat kejadian lomba tahfiznya bersama Kamal beberapa bulan lalu.

“Ya, kan, kalau pake batik sekolah, kita selalu pake levis hitam buat bawahannya, gak kayak anak-anak yang lain. Emang rada ngide sih kita waktu itu” kata Kamal sambil tertawa “inget waktu kita nyelonong gitu aja pas mau diinterview buat ditanya hafal berapa juz?”

“Inget, ide gua soalnya” jawab Arjuna sambil tertawa.

“Gak niat buat nambah hafalan lu?” Tanya Kamal.

“Gak berani gua” jawab Arjuna singkat “takut gak bisa jaganya, kebanyakan maksiat juga”

“Pemikiran yang bodoh” kata Kamal.

“Kan emang gua bodoh” jawab Arjuna santai “pesenlah” lanjutnya mengubah topik pembicaraan.

“Mau apaan lu?” Tanya Kamal sambil bangkit dari duduknya.

“Filter sama air putih aja” jawab Arjuna “ambil makanan yang lu mau” lanjutnya.

“Lagi seneng lu?” Tanya Kamal heran.

“Lumayanlah, ada yang menarik” jawab Arjuna sambil menyeringai yang membuat Kamal bergidik ngeri.

“Gila!” Ujar Kamal “gua ambil es krim, ya?”

“Hm” Arjuna berdeham untuk mengiyakan. Setelahnya, Kamal beranjak dari kursinya dan kembali dengan membawa beberapa makanan kecil, sebungkus rokok, es krim, dan minuman.

“Nih” kata Kamal sambil menaruh semua yang ada di tangannya di atas meja, kemudian kembali duduk di kursi yang ia duduki sebelumnya.

Arjuna mengambil bungkus rokok yang Kamal taruh di atas meja, kemudian membukanya dan mengambil sebatang rokok. Setelahnya, Arjuna melempar bungkus rokok itu ke arah Kamal dan dia pun melakukan hal yang sama dengan Arjuna. Bedanya, Kamal akan merokok sambil memakan es krim.

Seperti biasa, jika ada teman di sampingnya, maka Arjuna akan menghidupkan rokok secara bersamaan. Ntah mengapa ini menjadi kebiasaan bagi Arjuna ‘kebiasaan gila Arjuna’ kalau kata Kamal, tapi Kamal tetap melakukannya jika Arjuna mengeluarkan kebiasaan gilanya ini.

“Putra sama Andri mana?” Tanya Arjuna pada Kamal setelah menghembuskan asap rokok beberapa kali.

“Putra gak sekolah, Andri gak tahu ke mana” jawab Kamal setelah menggigit es krim dan menghembuskan asap rokoknya.

“Putra kenapa gak sekolah?” Arjuna kembali bertanya hanya untuk berbasa-basi.

“Lagi dapet musibah dia” jawab Kamal.

“Hm?” Arjuna hanya berdeham untuk memastikan.

“Hewannya di game sakit” kata Kamal santai.

“Beneran?” Tanya Arjuna untuk memastikan.

“Iya, beneran” jawab Kamal dengan raut wajah yang serius.

“Kayaknya, Putranya aja yang sakit jiwa” ujar Arjuna malas yang membuat Kamal tertawa. Arjuna benar-benar tahu kalau temannya sangatlah bodoh, tapi ini benar-benar tidak waras. Orang seperti apa yang akan tidak masuk sekolah hanya karena hewan di game-nya sedang sakit? Selain Putra, sepertinya tidak akan ada lagi.

“Mal” Arjuna memanggil Kamal.

“Hah?” Kamal melihat Arjuna dengan ekspresi yang aneh.

“Pacaran itu ngapain aja?” Tanya Arjuna ragu

“Gak tahu” jawab Kamal yang sama sekali tidak membantu bagi Arjuna.

“Ck” Arjuna berdecak malas “seriusan, lu kan punya pacar”

“Gua juga ngerasa kayak orang gak pacaran sih” Kamal terlihat ragu dengan jawabannya sendiri.

“Hm?” Arjuna berdeham untuk memastikan ucapan Kamal.

“Gua ngerasa, ya, kita cuma ada dalam suatu hubungan yang berbeda aja, tapi perlakuan gua sama Esa itu tetap sama kayak pas belum ada hubungan”

“Kenapa kayak gitu?” Tanya Arjuna yang semakin bingung.

“Biasanya, orang kalau pacaran itu bakal sering menghabiskan waktu bareng sama pacarnya. Sedangkan gua sama Esa jarang ketemu, padahal kita satu sekolah” jawab Kamal.

“Kenapa lu gak sering bareng dia?” Tanya Arjuna yang mulai penasaran.

“Bukan mahram” Kamal menjawab pertanyaan Arjuna dengan singkat, padat, dan membuat Arjuna ingin memukulnya dengan kuat.

“Terus ngapain lu pacaran?” Tanya Arjuna malas.

“Awalnya, gua gak tahu juga kenapa gua bisa nembak dia, tapi gua ngerasa ada hal yang beda kalau ada di samping dia” jawab Kamal yang bingung dengan ucapannya sendiri.

“Kayak gimana, hm?” Arjuna kembali bertanya karena merasa jawaban yang Kamal begitu menarik baginya.

“Emosi gua jadi aneh dan gampang berubah” jawab Kamal “kalau gua lihat dia, yang awalnya gua lagi sedih, tiba-tiba gua ngerasa semangat gua balik lagi. Gua ngerasa kayak ada yang micu gua buat selalu semangat kalau ada dia. Kebodohan pun kayaknya bakal gua lakuin kalau itu buat dia” lanjutnya yang semakin membuat Arjuna tertarik.

Jawaban Kamal membuat Arjuna teringat pada ucapan Sani yang berkata kalau cinta itu seperti obat yang memicu hormon manusia. Awalnya Arjuna tidak terlalu percaya, tapi setelah mendengar pernyataan Kamal, Arjuna mulai yakin kalau itu adalah efek samping dari meningkatnya kadar adrenalin.

Kalau cinta itu benar-benar seperti obat, maka dapat menimbulkan kecaduan bagi orang-orang yang mengonsumsinya. Bahaya.

Pada pekan selanjutnya, Arjuna kembali bertemu dengan Amelia. Meski sebelumnya Arjuna sama sekali tidak memikirkan apa yang harus ia lakukan, namun dia sudah membulatkan tekadnya untuk melakukan perhitungan pada Amelia.

“Kenapa kamu masuk ke kelas sekarang?” Tanya Amelia pada Arjuna setelah ia selesai melakukan pembukaan yang cukup panjang di kelas “bukannya minggu kemarin kamu lebih pilih buat keluar dari kelas saya? Kenapa sekarang gak keluar lagi aja?” Lanjutnya bertanya, membuat Arjuna tersenyum mendengarnya.

“Kenapa saya harus keluar dari kelas saya sendiri? Bukannya yang harus keluar itu ibu?” Arjuna tidak menjawab pertanyaan Amelia, dia justru berusaha membalikkan keadaan dengan balik bertanya “saya siswa di SMA Islam An-Nuur dan ini kelas saya, gak ada alesan buat saya harus keluar dari kelas ini. Ibu mahasiswi di Institut Agama Islam An-Nuur yang gedungnya ada di sebelah gedung ini, harusnya ibu yang keluar dari kelas ini dan masuk ke kelas ibu yang ada di gedung sebelah” tambahnya memberikan fakta.

“Saya telah diberikan tugas untuk mengajar di kelas ini sebagai guru hadis” balas Amelia “dan saya dijadikan guru PPL di kelas ini karena saya dianggap layak oleh pihak kampus untuk mengajarkan hadis” lanjutnya mengafirmasi.

“Kalau ibu emang layak, coba jawab pertanyaan saya” Arjuna kembali mencoba membalikkan keadaan “kalau ibu bisa jawab pertanyaan saya, saya bakalan keluar dari kelas ini”

“Apa yang mau kamu tanyakan?” Melihat Arjuna yang begitu santai menghadapinya, membuat Amelia menjadi was-was dengan pertanyaan yang akan Arjuna katakan.

“Tenang aja, bu. Saya bakalan nanya tentang hadis kok” jawab Arjuna “kalau ibu emang dinilai layak sama kampus ibu, harusnya pertanyaan ini cuma jadi pertanyaan anak TK buat ibu” tambahnya yang membuat Amelia sedikit tenang.

“Silakan” perkataan Arjuna membuat kepercayaan diri Amelia kembali sampai ia bisa kembali bersikap angkuh.

“Apa bisa nyebutin satu aja hadis tentang Hak Asasi Manusia?” Arjuna mengutarakan pertanyaan jebakannya. Pertanyaan yang sebenarnya sangat mudah untuk dijawab, namun tidak mudah untuk dipikirkan, karena membutuhkan logika untuk bisa memikirkan hal tersebut.

“Baik, mari kita mulai pelajaran kita” kata Amelia pada akhirnya setelah berpikir selama beberapa menit, namun tidak mendapatkan jawaban dari pertanyaan Arjuna.

“Gak bisa jawab, bu?” Tanya Kamal memastikan “itu gampang loh” lanjutnya, tapi Amelia berpura-pura tidak mendengar perkataan Kamal dan fokus melanjutkan pelajarannya.

Setelah menjelaskan pelajaran cukup lama, akhirnya bel istirahat terdengar, Amelia segera menutup pelajar dan merapikan barang-barangnya untuk segera keluar dari kelas X IPA 5.

“Saya mau ngobrol sebentar, bu” tentu saja Arjuna tidak akan membiarkan Amelia pergi dengan mudah, dia berjalan ke arah meja guru untuk mendatangi Amelia “yang lain, tolong keluar dulu, ya” lanjutnya berkata pada teman-teman sekelasnya. Karena Arjuna dan Kamal sudah sering bertingkah aneh di kelas, teman-temannya sudah mengerti jika Arjuna akan kembali bertingkah, namun dia tidak akan mempermalukan seseorang di depan banyak orang. Oleh sebab itu, semua teman sekelasnya langsung beranjak keluar dari kelas X IPA 5.

“Jadi, gimana, bu?” Tanya Arjuna pada Amelia setelah melihat siswa-siswi kelas X IPA 5 telah meninggalkan kelas, menyisakan Arjuna, Kamal, dan Amelia saja “udah ketemu jawaban dari pertanyaan saya?” Lanjutnya bertanya untuk memastikan.

“Baik, saya memang belum bisa menjawab pertanyaan kamu” Amelia mengakui “mungkin saya masih kurang belajar” tambahnya.

“Jawabannya ada di kitab Mukhtarul Ahadis An-Nabawiyyah” kata Arjuna pada Amelia “hadis huruf alif nomer 12” lanjutnya memberikan detail hadis pada kitab tersebut.

أَتَانِى جِبْرِيْلُ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّد، عِشْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَيِّتٌ، وَ احْبِبْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مُفَارِقُهُ، وَ اعْمَلْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَجْزِيٌّ بِهِ، وَ اعْلَمْ أَنَّ شَرَفَ الْمُؤْمِنِ قِيَامُهُ بِاللَّيْلِ، وَ عِزَّهُ اسْتِغْنَاؤُهُ عَنِ النَّاسِ

Arjuna menyebutkan hadis yang dimaksud, namun Amelia mengernyitkan dahi karena tidak mengerti.

“Bukannya itu hadis tentang lima pesan yang diberikan Malaikat Jibril untuk Nabi Muhammad?” Tanya Amelia.

“Bener, bu. Tapi hadis ini juga bisa dijadiin patokan tentang Hak Asasi Manusia. Terutama pesan pertama sampai pesan ketiga.

Pertama, hiduplah sesukamu, maka sesungguhnya kau akan mati.

Kedua, cintailah siapa saja yang kau mau, maka sesungguhnya kau akan berpisah dengannya.

Ketiga, berbuatlah sesuka, maka sesungguhnya kau akan mempertanggungjawabkannya.

Keempat, ketahuilah, bahwasanya kemuliaan orang yang beriman terletak pada bangunnya di malam hari.

Kelima, kehormatannya terletak pada ketidakbutuhannya pada manusia.

Nasehat pertama sampai ketiga bener-bener ngejelasin kalau manusia itu berhak ngelakuin apa aja sesuai kemauannya, ini yang disebut Hak Asasi manusia, tapi di setiap nasehat itu juga diperingatkan kalau ada konsekuensinya, terutama poin ketiga yang bilang bakal dipertanggung jawabin.” Arjuna menjelaskan setiap poin pada Amelia.

“Kelima poin ini bisa jadi patokan HAM yang ada di Indonesia dalam perspektif Islam. Poin ketiga ngejelasin kalau walaupun manusia bisa berbuat sesukanya, tapi dia juga harus pertanggung jawabin perbuatannya, baik di dunia ataupun di akhirat. Dalam Islam, kalau manusia dikasih hukuman di dunia, maka dia gak akan dihukum lagi di akhirat. Misalnya, seseorang dihukum dengan hukum yang tertera di Indonesia, maka itu sah menurut Islam, karena hukuman atas perbuatan manusia gak harus di akhirat, tapi juga bisa di dunia.

Selain itu, poin-poin lainnya, kayak poin keempat dan poin kelima peringatin manusia kalau manusia itu gak cuma bisa bertindak sesukanya, tapi juga punya kemuliaan dan kehormatan, di hadis lain juga dijelaskan kewajiban antar sesama umat manusia.” Kamal menambahkan penjelasan yang telah Arjuna berikan.

“Berarti saya memang masih harus belajar lagi” kata Amelia setelah menerima penjelasan dari Arjuna dan Kamal.

“Sebenernya cara ibu ngajar udah bagus, cuma terkadang ibu terlalu arogan. Tolong dikurangin arogansinya, bu, soalnya kalau di kelas X IPA 5 ini, kalau ibu terus begitu, ibu gak akan selamat dari anak-anak kelas ini yang bisa dibilang semuanya nakal, dan kalau kesel sama satu guru, terutama yang arogan, itu bakal dikerjain habis-habisan sampe gak betah buat ngajar di kelas ini” Kamal menjelaskan.

“Baik, saya akan coba untuk menyesuaikan diri” balas Amelia “kalau gitu, saya permisi dulu, ya” lanjutnya pamit sambil berjalan keluar kelas.

“Boleh juga” Arjuna memuji Kamal “padahal gua gak bilang apa-apa tentang hadis ini sebelumnya, tapi lu bisa nambahin poin-poin yang ga kasih” tambahnya.

“Cuma segitu aja mah gak susah” balas Kamal.

“Tapi apa perlu lu sampe bilang tentang kebiasaan anak kelas kita kayak gitu?” Tanya Arjuna.

“Lu mau ada guru yang nangis gara-gara bocah kelas kita lagi?” Tanya Kamal.

“Junaaa” belum sempat Arjuna menjawab pertanyaan Kamal, Sani sudah terlebih dahulu sampai untuk mengajak Arjuna belajar.

Kamal benar-benar tidak bohong tentang dinamika kelas X IPA 5. Dapat dikatakan jika anak kelas X IPA 5 adalah para monster akademik yang dipersatukan dalam satu kelas. Pasalnya, siswa-siswi yang ada di kelas X IPA 5 dulunya adalah ranking 1 di masing-masing kelas saat masih SMP. Ranking terakhir di kelas X IPA 5 saja masih memiliki nilai rata-rata 89 dan rata-rata nilai antara satu sama lain sangat berdekatan. Meskipun begitu, semuanya adalah murid nakal, bahkan mereka menulis jargon ‘KAMI NAKAL TAPI BERPRESTASI’ yang dipanjang di atas kelas. Dan kenakalan siswa-siswi kelas X IPA 5 telah membuat beberapa guru menangis, bahkan ada guru PPL yang tidak mau mengajar di kelas X IPA 5 lagi karena dikerjai habis-habisan oleh anak-anak kelas.