Hujan sudah turun saat Arjuna baru saja bangun dari tidurnya.
Cuaca dingin ini membuat Arjuna merasa sangat malas untuk berangkat sekolah. Jangankan untuk berangkat sekolah, untuk bangkit dari kasur saja rasanya Arjuna enggan.
Baru saja Arjuna memegang ponselnya, dia langsung disambut dengan sebuah notifikasi pesan yang sudah ia pasang sebelumnya untuk mengingatkannya agar memberikan roti sobek pada Sani sebagai tanda permintaan maaf. Dengan sangat terpaksa, Arjuna segera bangkit dari kasurnya dan bersiap-siap untuk pergi sekolah.
Tidak ada satu pun barang yang dibawa Arjuna selain ponsel, karena Arjuna benar-benar tidak berniat untuk sekolah hari ini. Kalau bukan karena ingin meminta maaf pada Sani, Arjuna tidak akan sekolah hari ini.
Setelah selesai bersiap dan memakai jaket, Arjuna beranjak pergi dari rumahnya untuk membeli beberapa makanan di mini market, kemudian berangkat sekolah.
Suasana sekolah masih sangat sepi. Mungkin hujan membuat para siswa malas untuk berangkat sekolah.
Setelah berjalan di lorong kelas dan melewati banyak kelas termasuk kelas X IPA 5, Arjuna masuk ke dalam kelas yang bertuliskan X IPA 3 di depannya. Saat Arjuna masuk, dia melihat tas Sani sudah ada di meja yang terletak paling depan di kelas, menjadi satu-satunya tas yang ada di kelas itu.
Tidak ada hal yang ingin Arjuna lakukan di sekolah. Arjuna hanya ingin memberikan roti sobek dan beberapa coklat yang sudah ia beli di mini market pada Sani, kemudian dia akan pergi ke warung tempat biasa dia berkumpul dengan teman-temannya untuk bolos sekolah.
Arjuna membuka tas Sani untuk menaruh kantung plastik yang berisikan beberapa roti sobek dan coklat. Arjuna ingin menuliskan kata “maaf” dan namanya sendiri agar Sani tahu kalau dia melakukan ini sebagai permintaan maaf.
Arjuna mengambil sebuah buku catatan dan sebuah pulpen dari tas Sani agar bisa menuliskan perkataan maaf.
Cklek!
Saat Arjuna akan merobek kertas dari buku catatan Sani yang masih kosong, tiba-tiba terdengar suara pintu yang dibuka oleh seseorang. Tanpa melihatnya pun Arjuna sudah tahu siapa yang masuk ke dalam kelas ini. Sudah pasti orang itu adalah Sani, karena hanya tas Sani saja yang sudah berada di kelas ini.
“Ngapain?” Tanya Sani yang sudah berdiri di depan pintu kelas dengan melipat kedua tangan di depan dadanya. Arjuna benar-benar tertangkap basah.
Arjuna tidak menjawab pertanyaan Sani, dia hanya mengambil kembali kantung plastik yang sudah ia taruh di dalam tas milik Sani sebelumnya dan berjalan ke arah pintu.
“Buat lu” kata Arjuna sambil menyondorkan kantung plastik.
“Apaan?” Tanya Sani jutek.
“Roti sobek” jawab Arjuna singkat.
“Apa?” Tanya Sani yang terlihat bingung sekaligus terkejut.
“Ini buat lu” Arjuna menjawab pertanyaan Sani dengan nada yang rendah “lu marah sama gua gara-gara roti sobek, kan?”
“Kamu bener-bener ngira aku marah?” Tanya Sani sambil meraih kantung plastik yang diberikan oleh Arjuna.
“Iya” Arjuna menjawab pertanyaan Sani “lu marah gara-gara lihat bungkus roti sobek yang masih ada di atas meja belajar gua, kan?”
“Eum, sebenernya gak gitu sih, tapo anggap aja kayak gitu” jawab Sani yang membuat Arjuna bingung “aku kemarin cuma lagi gak mood aja” lanjutnya yang menjelaskan kebingungan yang melanda Arjuna.
“Lain kali, kalau mau sesuatu tuh bilang aja, gak usah marah-marah atau sok cuek segala” kata Arjuna “kalau lu bertingkah kayak kemaren lagi, gak akan gua beliin lagi lu, nanti. Gak akan gua baikin juga”
“Iya, iya, maaf, ya” ujar Sani dengan nada lirih karena merasa bersalah pada Arjuna.
“Jangan marah-marah gak jelas lagi” kata Arjuna “ya udah, ya, gua cabut dulu” lanjutmya sambil berjalan pergi meninggalkan kelas.
“Mau ke mana?” Tanya Sani.
“Tongkrongan” Arjuna menjawab pertanyaan Sani sambil mengambil permen dari saku celananya, kemudian dia membuka bungkus permen itu dan memakannya.
“Ikuuut” pinta Sani pada akhirnya.
“Hm” Arjuna hanya berdeham untuk mengiyakan permintaan Sani.
Sani mengulurkan tangannya, kemudian ia menyodorkan telapak tangannya pada Arjuna. Arjuna yang merasa mengerti maksud Sani, langsung memberikan bungkus permen yang sudah ia makan sebelumnya.
‘Ternyata, Sani bener-bener orang yang perhatian’ batin Arjuna.
“PERMENNYA, JUNA! BUKAN BUNGKUSANNYA AJA” teriak Sani yang kesal karena tingkah laku Arjuna. Arjuna yang salah mengira maksud Sani hanya menggaruk tengkuknya, kemudian memberikan sebuah permen kepada Sani.
Setelah Sani membuang bungkus permen yang diberikan Arjuna ke dalam tong sampah, Arjuna dan Sani langsung berjalan ke warung yang ada tepat di depan gerbang sekolah.
“Jun” panggil Sani saat sedang berjalan di tengah lapangan sekolah.
“Hm?” Arjuna hanya berdeham untuk memberikan atensinya pada Sani.
“Hal yang paling kamu suka apa?” Sani bertanya dengan nada yang lirih.
“Ketenangan” jawab Arjuna dengan cepat.
“Yang lain” ujar Sani.
“Baca buku sama dengarin musik” kata Arjuna.
“Yang paling kamu gak suka?” Sani bertanya lagi.
“Berisik” Jawab Arjuna.
“Selain berisik?” Sani kembali bertanya.
“Sani” jawab Arjuna spontan.
“Kenapa, Jun?” Tanya Sani bingung karena Arjuna tiba-tiba menyebut namanya.
“Itu orang yang gak gua suka” jawab Arjuna lagi “soalnya gangguin gua terus belakangan ini”
“Serius?” Tanya Sani memasang wajah cemberut yang membuat Arjuna gemas.
“Makanan sama minuman manis, selain coklat, permen, sama red velvet” Arjuna kembali menjawab pertanyaan Sani, Kali ini, Arjuna menjawabnya dengan lebih detail “kalau minuman, gua gak suka yang rasa coklat” lanjutnya,
“Berarti kamu gak suka yang manis-manis, ya” Sani membuat kesimpulan dari semua jawaban Arjuna “cuma beberapa aja yang kamu suka” lanjutnya.
“Hm” aku berdeham untuk menyetujui kesimpulan yang Sani jabarkan.
“Kalau perempuan yang mukanya manis, suka, gak?” Tanya Sani yang membuat Arjuna berhenti sejenak untuk berpikir ‘kayak aku misalnya’ lanjutnya dalam batinnya, namun dia tidak berani untuk menyampaikannya.
“Gak tahu” jawab Arjuna setelah berpikir secara singkat sambil kembali berjalan.
“Kok gitu?” Tanya Sani bingung.
“Gua belum pernah jatuh cinta” jawab Arjuna santai
Sani tidak bertanya lagi setelah mendengar jawaban Arjuna.
“Mau apa?” Tanya Arjuna pada Sani saat mereka baru saja sampai di tongkrongan.
“Air mineral aja” jawab Sani. Setelah mendengar jawaban Sani, Arjuna segera berjalan ke lemari es untuk mengambilkan air mineral untuknya.
Arjuna menaruh dua botol air mineral di atas meja, kemudian ia duduk bersebelahan dengan Sani, meskipun tidak terlalu dekat. Setelah itu, Arjuna dan Sani menghabiskan waktu tanpa pembicaraan, mereka terlalu sibuk dengan posenlnya masing-masing. Arjuna memilih untuk membuka ponselnya dan membuka grup chat yang berisi dirinya, Kamal, Andri, dan Putra.
Arjuna: Gua di tongkrongan
Arjuna: Selametin gua dari Sani
Arjuna: Sini kalau pada mau gua traktir
“Kamu gak ngerokok?” Tanya Sani pada Arjuna yang menjadi pemecah keheningan yang sempat tercipta di antara mereka selama beberapa menit, membuat Arjuna mematikan layar ponselnya dan menaruhnya di atas meja.
“Rokok gua ketinggalan” jawab Arjuna santai. Setelah mendengar jawaban Arjuna, Sani bangkit dari kursinya, kemudian dia berjalan ke penjual warung untuk membelikan Arjuna sebungkus rokok.
“Gua cuma bilang rokok gua ketinggalan” kata Arjuna saat Sani menyodorkan sebungkus rokok padanya “bukan uang gua yang ketinggalan” lanjutnya sambil mengambil bungkus rokok yang diberikan Sani.
“Ya, terus kenapa?” Tanya Sani sambil kembali duduk di samping Arjuna.
“Gua kan gak minta beliin” kata Arjuna malas.
“Siapa yang beliin kamu?” Tanya Sani “aku cuma ngambilin aja” lanjutnya.
“Lu kira gua gak lihat lu bayar tadi, hm?” Tanya Arjuna.
“Ya udah sih, anggap aja permintaan maaf aku karena udah bertingkah gak jelas kemarin, sama tanda terima kasih aku juga karena tadi udah dikasih makanan” jawab Sani dengan berpanjang lebar.
“Ya udah, gua terima” ujar Arjuna “tapi, lain kali jangan kayak gitu lagi” lanjutnya.
“Iyaaa” jawab Sani sambil membuka layar ponselnya “kok belum bel sih? Ini udah jam 8 lewat 34 menit loh” lanjutnya setelah melihat jam yang ada di layar ponselnya.
“Gak tahu, gurunya pada males kali, kan hujan” jawab Arjuna mencoba menerka.
“Iya juga sih, bisa jadi” balas Sani “padahal cuma gerimis sedikit aja”
“Yo, yo, yo, Juna, my friend, how are you, baby?” Heboh Putra yang baru saja sampai di tongkrongan bersama dengan Kamal dan Andri. Ketiganya langsung duduk di kursi yang ada di seberang kursi yang Arjuna dan Sani duduki.
“Ekhem” deham Andri “ada yang lagi pacaran nih” lanjutnya yang tidak digubris sama sekali oleh siapapun.
“Eh, ada Sani” kata Kamal untuk sekadar berbasa-basi.
“Iya nih” ujar Sani.
“Apa kabar, San?” Tanya Andri.
“Baik” jawab Sani singkat.
“Sani udah makan?” Tanya Putra.
“Basi, Put” jawab Sani malas.
“Kok lu gitu, San? Juna selalu lu baikin, barusan Kamal sama Andri basa-basi lu baikin juga. Giliran gua yang nanya, lu malah jahat” protes Putra tidak terima.
“Males ditanya pakai pertanyaan fuckboy” jawab Sani untuk protes yang dilakukan oleh Putra “oh, iya, kamu emang fuckboy, deh” lanjut Sani mengejek karena memang tahu bagaimana sikap Putra sebagai teman sekelasnya.
“Kalau gua yang dibilang kayak gitu mah udah sakit hati, sih, Put” Andri memanas-manasi.
“Putra, broken home” ejek Kamal. ‘Broken home’ adalah kalimat yang selalu jadi bahan ejekan di antara Arjuna dan ketiga temannya.
“Ada akhlak lu kayak gitu, hm?” Tanya Arjuna pada Sani.
“Sebenarnya sih nggak, cuma ke Putra aja bisanya” jawab Sani sedikit ragu.
“Putra memang pantas buat dihina sih, San” ujar Andri yang membuat semua orang di tongkrongan tertawa, kecuali Putra.
“Sani, awas aja lu kalau di kelas” ancam Putra.
“Kenapa kalau di kelas? Kamu gak mau kasih aku contekan lagi? Bukannya aku yang kasih kamu contekan ya?” Sani memberikan beberapa pertanyaan sarkas pada Putra.
“Oh, selama ini nilainya Putra bagus karena dikasih contekan sama juara umum sekolah” ujar Kamal setelah mengetahui kebenaran dari ucapan Sani.
“Hayo lu Put, nanti gak dikasih contekan lagi” Andri memanasi.
“Put” panggil Arjuna sambil menatap Putra dengan sinis.
“Gak gitu, Jun” ujar Putra dengan raut wajah panik.
“Gimana, hm?” Tanya Arjuna yang masih menatap Putra dengan tatapan yang mengintimidasi.
“Itu dulu, Jun” jawab Putra gugup “sekarang gua udah gak nyontek lagi” lanjutnya.
“Yakin, hm?” Tanya Arjuna lagi untuk memastikan.
“Tanya aja Sani” jawab Putra “ya, kan, San?”
“Iya, sejak semester dua, Putra udah gak nyontek ke aku lagi” jawab Sani “gak tahu deh kalau ke yang lain” lanjutnya sambil menjulurkan lidah pada Putra.
“Nyontek sama orang lain gak, Put?” Arjuna kembali bertanya.
“Nggak, Jun, nggak” jawab Putra yang masih terlihat panik.
“Bener?” Tanya Arjuna memastikan.
“Iya, Jun, beneran” Putra meyakinkanku.
“Jangan diajarin lagi, Jun” ucap Kamal memanasi “buat apa lu ribet-ribet ngajarin Putra kalau dianya masih aja nyontek?”
“Memangnya Juna gak pernah nyontek? Tanya Sani penasaran.
“Bocah kayak Juna nyontek?” Kata Andri “yang ada malah Juna yang ngasih contekan”
“Juna mah gila, San” Kamal menimpali “tiap ujian, 15 menit juga selesai dia mah, habis itu langsung tidur kalau gak cabut” lanjutnya.
“Yang katanya Juna itu suka nantang guru pas ujian itu benar?” Tanya Sani penasaran.
“Yang mana?” Tanya kamal untuk memastikan.
“Yang kalau udah selesai ujian langsung main hp di ruang ujian” ujar Sani.
“Benar, San” jawab Putra.
“Juna kalau udah selesai, LJK-nya langsung dibalik gitu aja, ditaruh di ujung mejanya, terus langsung main hp” sebagai teman sekelasnya, Kamal menjelaskan kelakuan Arjuna saat ulangan “hpnya diangkat tinggi-tinggi malah, biar guru lihat”
“Kalau gurunya lihat, terus datengin Juna, gimana?” Tanya Sani yang semakin penasaran.
“Sekarang mah, semua guru juga udah tahu sama sikapnya Juna, jadi gak ada guru yang protes” Kamal menerangkan “tapi, dulu, kalau ada guru yang dateng ke Juna, terus komen tentang Juna yang main hp, Juna bakal bilang ‘ambil aja pak/bu, LJK-nya, saya juga males lihat soal sama LJK lagi, tanpa ekspresi dan tanpa lihat ke gurunya”
“Terus, LJK-nya diambil gak sama guru yang ngawas?” Tanya Sani lagi.
“Nggak” jawab Kamal lagi “mungkin buat ngetes kejujuran Juna, tapi Juna kalau ngerasa udah selesai, dia gak akan pernah nyentuh LJK-nya lagi, walaupun dia udah ngerasa ada yang salah”
“Kok bisa, sih, Juna gak dimarahin?” Tanya Sani yang bingung.
“Memangnya masih ada guru di sekolah kita yang berani marahin Juna?” Tanya Putra.
“Gak ada” jawab Andri “udah dibuat tunduk semua, udah kena mental karena perilakunya Juna sama Kamal”
“Gitu, ya, kalau dua anak ajaib yang jenius disatuin, guru aja sampe nyerah” Sani menyimpulkan semua informasi yang ia dapat.
“Gua gak jenius” bantah Arjuna yang kesal saat mendengar perkataan Sani “Kamal tuh yang jenius”
“Salah, Jun” protes Putra atas perkataan Arjuna “lu jenius, Kamal laduni” lanjutnya.
“Bacot” kata Kamal kesal dengan penuturan Putra.
Laduni adalah ilmu yang diberi kepada seseorang yang taat pada agama, meskipun orang itu tidak mempelajarinya.
“Dan, lu udah ngalahin dua anak jenius di sekolah kita, San” ujar Andri, mencoba untuk menghibur Sani.
“Aku rasa nggak deh” ujar Sani dengan nada yang lirih sambil menundukkan kepalanya dan matanya mulai berkaca-kaca.
“Gak ada yang namanya orang jenius. Orang jenius itu cuma orang yang usaha saat orang lain gak ada yang lihat” bisik Arjuna pada Sani untuk menghiburnya “kalau pun orang yang jenius itu ada, dia pasti kalah sama orang yang rajin dan berusaha keras” lanjutnya masih dengan berbisik yang berhasil membuat Sani terhibur.
“Malah bisik-bisik tetangga” kata Kamal.
“Apa tuh yang diomongin?” Tanya Andri dengan nada mengejek.
“Juna cuma tanya, kenapa kita belum masuk sekolah, soalnya ini udah jam 9 kurang” jawab Sani berbohong.
“Lu gak tahu?” Tanya Putra “kan kita masuk jam 10, habis istirahat, karena guru-guru ada rapat sama sekolah lain di sekolah sebelah” lanjutnya menjelaskan.
“Kok aku bisa gak tahu sih? Pantas aja sekolah sepi banget” Tanya Sani bingung “kapan deh diumuminnya?”
“Kemarin, di masjid sekolah, pas jam ishoma” jawab Kamal.
“Aku lagi gak sholat sih, makanya gak ke masjid, tapi kok gak ada yang kasih tahu aku, ya?” Ujar Sani “terus, kenapa kalian datang pagi-pagi kalau udah tahu?”
“Di-chat sama Juna” jawab Andri santai.
“Jun, nanti habis sekolah belajar bareng, yuk” ajak Sani pada Arjuna.
“Hm” Arjuna berdeham untuk menyetujui ajakan Sani.
“Asyik, ada yang bakal kencan, nih” kata Kamal.
“Juara sekolah mah beda, ya, kencannya” timpal Andri “ngelibatin buku sama pelajaran, euy”
“Kencan berkedok belajar bareng, anjir” Putra ikut menimpali.
“Anak kita bakal study date, Put, Mal” kata Andri dengan mata berkaca-kaca.
Arjuna tidak peduli dengan semua perkataan teman-temannya, karena hal yang mereka bicarakan tidak benar-benar terjadi. Tapi, Arjuna merasa ada yang aneh dengan Sani, dia menundukkan kepalanya dan wajahnya memerah.
‘Apa dia sakit?’ Batin Arjuna.
Hari ini berlanjut dengan perubahan rencana bagi Arjuna. Arjuna yang pada awalnya tidak berniat untuk sekolah hari ini mengubah keputusannya dan menghabiskan sisa hari untuk mengikuti kegiatan belajar di sekolah.
Semua jam pelajaran telah Arjuna lewati tanpa ada satupun hal yang berarti. Waktu untuk pulang sekolah sudah tiba. Arjuna tetap duduk diam di dalam kelas untuk menunggu Sani yang sudah berjanji untuk belajar bersama setelah selesai sekolah.
Sudah lebih dari 15 menit Arjuna menunggu Sani di kelas sejak bel sekolah berbunyi, tapi Sani tak kunjung datang.
‘Sani kenapa lama banget dah?’ Keluh Arjuna dalam pikirannya.
Setelah menunggu dua menit lebih lama, terdengar suara langkah kaki seseorang yang berjalan di lorong kelas. Saat Arjuna melihat ke arah sumber suara tersebut, terlihat Sani yang sedang berjalan memasuki pintu kelas X IPA 5 dengan senyumnya yang terlihat bodoh.
“Junaaa!” Panggil Sani setelah memasuki pintu kelas.
“Lu terlambat lebih dari 15 menit” ketus Arjuna.
“Ma…”
“Kecepatan lu berjalan jauh di bawah rata-rata dari kecepatan manusia pada umumnya” kata Arjuna memotong ucapan Sani yang baru saja duduk di kursi kosong yang ada di sampingnya.
“Maksudnya?” Tanya Sani bingung.
“Kecepatan berlari manusia pada umumnya itu 10 km/jam sampai 13 km/jam, anggaplah berlari itu dua kali lebih cepet dari pada berjalan. Berarti kecepatan manusia berjalan itu 5 km/jam sampai 6,5 km/jam. Karena lu pakai rok dan kecepatan lu berjalan jadi terhambat, jadi gua ambil kecepatan berjalan yang paling kecil, yaitu 5km/jam atau 1,389m/detik, kalau dibulatkan jadi 1,4m/detik.
Pas OSPEK dulu, kepala sekolah pernah bilang kalau panjang dan lebar kelas itu masing-masing 8 meter. Karena lu jalan dari X IPA 3 ke X IPA 5 dan harus lewatin kelas X IPA 4 dulu, artinya lu harus lewatin dua kelas sebelum bisa sampe ke sini, yaitu kelas lu sendiri atau kelas X IPA 3 sama kelas X IPA 4.
Karena lu lewatin dua kelas yang masing-masing punya panjang 8 meter, berarti perpindahan yang lu lakuin sejauh 16 meter. Anggap aja jarak dari kursi yang lu dudukin ke lorong depan kelas lu itu 6 meter, dan dari lorong depan kelas gua ke kursi gua itu 6 meter juga, berarti lu harus nempuh jarak sejauh 28 meter ke sini.
Rumus kecepatan itu v=s/t, dengan v adalah kecepatan, s adalah jarak, dan t adalah waktu yang dibutuhkan. Buat mencari waktu, berarti rumus yang dibutuhkan itu t=v.s.
Kalau pake kecepatan berjalan manusia pada umumnya yang tadi gua sebutin, yaitu 1,4 m/s dan jaraknya itu 28 meter. Harusnya waktu yang dibutuhin dari kelas lu ke gua itu 1,4m/s dikali 28 m, hasilnya 39,2 detik.
Sedangkan lu butuh waktu lebih dari 17 menit buat ke sini. Anggap 2 menit lebih itu buat lu beresin barang-barang lu sebelum ke sini, harusnya waktu yang paling lama buat ke sini itu cuma sekitar 3 menit kalau dibuletin.” Arjuna menjelaskan Sani dengan panjang lebar, dia sama sekali tidak memberi kesempatan pada Sani untuk berbicara.
“Gimana? Aku gak paham” ujar Sani yang membuat Arjuna menepuk jidat “coba kamu jelasin lagi deh, tapi sambil digambarin” pinta Sani.
“Spidol” pinta Arjuna sambil menyodorkan tangannya pada Sani.
“Gak di buku aja?” Tanya Sani.
“Gua gak bawa apa-apa” jawab Arjuna santai “cuma bawa hp aja” lanjutnya yang membuat Sani segera membuka tasnya untuk megambil spidol, kemudian memberikan spidolnya kepada Arjuna. Sani memang murid teladan, dia bahkan selalu punya spidol yang dia beli sendiri sebagai antisipasi untuk guru yang lupa bawa atau kehabisan tinta spidol, sekaligus untuk antisipasi jika Arjuna meminta spidol untuk menjelaskan padanya saat belajar bersama seperti sekarang.
Setelah menerima spidol yang Sani berikan, Arjuna langsung menggambarkan dan menuliskan rumus yang baru saja dia jelaskan pada Sani di papan tulis kelasnya. Arjuna kembali menjelaskan perkataannya mulai dari awal lagi. Kali ini, Arjuna menjelaskan secara perlahan dan sangat detail.
“Ok, aku udah paham” kata Sani setelah Arjuna selesai menjelaskan “maaf ya, tadi aku dipanggil guru dulu” lanjutnya.
“Kenapa gak bilang dari awal?” Tanya Arjuna kesal.
“Aku mau bilang tadi, tapi kamu udah potong duluan” jawab Sani “malah ngebacot lagi”
“Maksud gua, kenapa gak ke sini dulu buat bilang ke gua kalau lu dipanggil guru? Kalau dari kelas lu ke ruang guru kan harus lewatin kelas gua dulu, harsunya lu bisa bilang dulu ke gua, atau minimal chat gualah buat ngasih tahu kalau lu bakalan telat” Tanya Arjuna “untung aja gua belum pulang”
“Lupa, hehe” Sani cengegesan sambil memainkan kedua jari telunjuknya, Arjuna yang melihat tingkah Sani, hanya bisa menghela nafas panjang.
“Ya udah, mau belajar apa?” Tanya Arjuna mencoba untuk mengganti topik pembicaraan.
“Udah paham” jawab Sani yang membuat Arjuna bingung “kan sekarang materi fisika kita ini” lanjutnya setelah melihat ekspresi kebingungan yang ditunjukkan Arjuna.
“Bukannya ini pelajaran SMP?” Tanya Arjuna.
“Iya sih, diulang lagi deh, kayaknya” jawab Sani “terus ada beberapa rumus tambahan lagi”
“Ada yang lu gak paham, hm?” Tanya Arjuna.
“Udah gak ada dong. Aku kan pintar dan cantik” jawab Sani bangga.
“Jika dilihat dari denah, seseorang berjalan secara vertikal sejauh beberapa meter, kemudian dia berbelok dan berjalan secara horizontal sejauh beberapa meter. Gimana cara cari perpindahannya?” Arjuna mencoba memberi pertanyaan pada Sani.
“Tinggal pake rumus pitagoras” jawab Sani santai “benar, gak?” Lanjutnya bertanya yang membuat Arjuna mengangguk untuk mengiyakan.
“Ada yang mau ditanyain lagi, gak?” Tanyaku yang membuat Sani berpikir.
“Menurut kamu, cinta itu gimana?” Tanya Sani ragu.
“Lu nanya tentang cinta ke orang yang belum pernah jatuh cinta?” Tanya Arjuna sambil terkekeh “lu ngeledek gua?”
“Jawab aja” balas Sani kesal.
“Gimana, ya…” Meskipin bingung karena belum pernah merasakan cinta, Arjuna tetap mencoba untuk mengutarakan pikirannya “mungkin kayak Hukum Newton?” ujar Arjuna pada akhirnya, meski pun sedikit ragu.
“Hukum Newton yang mana deh?” Tanya Sani bingung, dia merasa tidak ada satupun Hukum Newton yang mengarah pada cinta.
“Semuanya” jawab Arjuna singkat.
“Alasannya?” Tanya Sani penasaran.
“Karena gua suka Hukum Newton” jawab Arjuna santai.
“Bisa serius gak, sih?” Tanya Sani dengan wajah kesal yang membuat Arjuna tertawa.
“Menurut gua, orang yang jatuh cinta itu kayak orang yang dapet gaya gravitasi khusus” jawab Arjuna pada akhirnya.
“Gimana?” Tanya Sani yang kembali penasaran.
“Menurut gua, gravitasi itu tarikan, dan gaya gravitasi itu gaya tarik yang menarik sesuatu menuju pusatnya. Kayak apel yang jatuh ke tanah karena ditarik sama gaya gravitasi bumi. Begitu juga orang yang jatuh cinta, dia jatuh ke sana karena adanya suatu gaya gravitasi yang narik dia ke sana.
Gua sering dengar orang bilang kalau orang yang jatuh cinta itu bakal selalu perhatiin/mandang orang yang dia suka. Itu yang bikin gua narik kesimpulan kalau orang yang jatuh cinta itu kayak orang yang kena gravitasi khusus.
Menurut gua, kunci awal dari suka adalah tertarik, ntah itu karena fisik, sikap, sifat, atau apa pun itu. Itu sebabnya, orang-orang yang jatuh cinta bakal selalu merhatiin orang yang dia suka, karena pandangannya ketarik sama gaya gravitasi yang ada dalam diri orang itu. Bisa atau nggaknya orang itu ngubah perasaan sukanya jadi perasaan cinta, ya tergantung dari orang itu” Arjuna menjelaskan.
“Contohnya?” Sani bertanya.
“Contoh paling gampang itu suka karena fisik. Contohnya, kayak misal cowok yang lihat cewek cantik jalan di depannya, matanya seakan-akan kena gaya gravitasi yang akan narik dia buat terus mandang cewek itu. Alasannya sederhana, karena dia tertarik sama kecantikan dari cewek itu” jawab Arjuna.
“Kalau kamu, pernah gak lihatin cewek kayak gitu?” Tanya Sani penasaran.
“Gak” jawab Arjuna singkat.
“Alasannya?” Tanya Sani sedikit terkejjut.
“Gak minat” jawab Arjuna malas.
“Berarti, kalau suka karena sikap seseorang, orang yang suka itu akan terus memperhatikan sikap dari orang yang ia sukai?” Tanya Sani mengutarakan kesimpulan yang telah ia petik dari penjelasan Arjuna sambil memegang dagunya dengan jari telunjuknya.
“Sok formal banget lu” ejek Arjuna “tapi, ya, sesuatu semacam itu” lanjutnya.
“Ish, nyebelin banget sih” ujar Sani kesal “tapi, bukannya kamu bilang cinta itu kayak Hukum Newton, kenapa jadi gaya gravitasi?”
“Hm” Arjuna berdeham untuk mengiyakan pertanyaan Sani “karena salah satu teori gravitasi yang paling terkenal itu berasal dari Isaac Newton” kata Arjuna.
“Ada hubungannya gak sama Hukum Newton yang lain?” Tanya Sani yang hanya dijawab dengan anggukan oleh Arjuna “gimana, tuh?” Lanjutnya bertanya.
“Lu tahu bunyi dari Hukum Newton?” Tanya Arjuna pada Sani yang dijawab dengan anggukan dari orang yang ditanya “coba sebutin bunyi Hukum Newton I” pinta Arjuna.
“Hukum Newton I itu ‘jika resultan gaya yang bekerja pada benda sama dengan nol, maka benda yang diam akan tetap diam dan benda yang bergerak akan tetap bergerak dalam kecepatan yang konstan, selama tidak ada gaya eksternal yang memengaruhinya’. Rumusnya itu ∑F=0 dengan F adalah gaya, karena F-nya 0, berarti gak ada resultan gaya yang memengaruhinya” Sani menyebutkan hal yang Arjuna pinta.
“Kayak gitu juga orang yang suka sama orang lain, selagi dia gak bergerak buat deketin, ya gak akan bisa maju.
Misalnya pake contoh yang sebelumnya. Cowok yang lihat cewek cantik lewat di depannya, dia gak akan bisa saling kenal kalau gak manggil cewek itu atau gak ngajakin cewek itu kenalan. Si cowok tetap diam, si cewek tetap jalan ngejauh.”
“Contoh dari Hukum Newton I itu mobil yang bergerak maju akan berhenti karena nabrak pohon, kan?” Tanya Sani untuk memastikan.
“Iya, mobil yang bergerak akan berhenti karena menabrak pohon. Sama kayak orang jatuh cinta yang hatinya tergerak, tapi terpaksa harus diam atau berheti karena ditabrak oleh kenyataan. Dia harus nerima kenyataan karena gak bisa atau gak ada keberanian buat mulai hubungan” kata Arjuna.
“Cinta dalam diam dong? Kalau yang dia suka aja gak tahu kalau dia itu ada, pasti sakit banget, deh” ujar Sani sambil membayangkan perasaan orang-orang yang merasakan hal yang ia ucapkan sendiri “hidup itu kejam banget, ish”
“Untungnya gua belum pernah ngerasain jatuh cinta” kata Arjuna santai.
“Okay, terus, buat Hukum Newton II, apa hubungannya dengan cinta?” Tanya Sani.
“Coba sebutin bunyi Hukum Newton II, San” pinta Arjuna pada Sani lagi.
“Hukum Newton II itu ‘Percepatan yang yang bekerja pada suatu benda berbanding lurus dengan resultan gaya dan berbanding terbalik dengan massanya’. Rumusnya itu ∑F=m.a, F itu gaya, m itu massa, dan a itu percepatan” ujar Sani.
“Artinya, semakin banyak resultan gaya yang dikasih, semakin cepat gerak dari benda itu.
Contohnya, kalau dalam hubungan, misalnya cowok mau deketin cewek, ya dia harus ngasih gaya atau perlakuan ke cewek yang dia suka itu. Semakin banyak gaya yang dia kasih ke cewek itu, semakin cepat juga proses pendekatannya.”
“Berarti, semakin banyak gaya/perlakuan yang kita lakuin ke seseorang saat pdkt, itu, bisa bikin kita cepet jadian sama dia?” Tanya Sani setelah menyimpulkan pernyataan Arjuna.
“Bisa iya, bisa nggak. Tapi saran gua sih jangan” jawab Arjuna.
“Kok gitu?” Tanya Sani bingung.
“Lanjut” kata Arjuna “sebutin bunyi Hukum Newton III”
“Jawab dulu, ish” kesal Sani.
“Sebutin dulu aja. Nanti gua jelasin” balas Arjuna malas.
“Nyebelin banget ish, awas aja kalau nanti gak dijelasin” kata Sani sambil memajukan bibir bawahnya “Hukum Newton III itu ‘setiap aksi akan menimbulkan reaksi yang sama besar tapi berlawanan arah’. Rumusnya itu ∑Faksi = -∑Freaksi” lanjutnya masih dengan ekspresi yang sama.
“Setiap aksi akan menimbulkan reaksi. Ini aja tentang benda yang harus dikasih gaya dulu supaya bisa gerak, gimana kalau manusia yang punya akal dan bisa bergerak sesuai keinginannya sendiri?
Kalau benda dikasih aksi, benda itu bakalan dapet reaksi yang sama besar, tapi berlawanan arah. Misalnya roda mobil yang aksinya itu muter ke belakang, tapi reaksi yang didapet itu mobilnya malah jalan ke depan.
Sama kayak manusia yang dikasih gaya atau perlakuan. Semakin besar aksi yang dia dapet, reaksinya akan sama besar dengan aksi yang dia dapet itu. Bedanya manusia sama benda, reaksi dari benda selalu negatif atau berbanding terbalik, tapi kalau manusia bisa milih antara positif, negatif, atau bahkan netral. Dia mau kasih reaksi yang berbanding lurus, berbanding terbalik, atau tetap diam, itu gimana dia aja.” Arjuna menjelaskan.
“Contoh buat keduanya itu gimana?” Tanya Sani lagi.
“Misalnya lu muji gua, gua bisa milih mau muji lu balik, diem aja, atau malah ngehina lu” jawab Arjuna santai.
“Gak ada yang lebih bagus gitu contohnya?” Tanya Sani malas.
“Intinya, kalau buat manusia, gak semua aksi itu bakal dapet reaksi yang negatif, tapi gak menutup kemungkinan juga kalau lu terlalu banyak ngasih aksi ke orang, dia malah bakal ngerasa jijik ke lu sebagai reaksinya” jawab Arjuna yang sebenarnya hanya ingin membuat Sani diam, agar dia tidak mengeluh.
“Paham” ujar Sani pada akhirnya “tapi, kenapa pas pdkt itu jangan terlalu banyak ngasih perlakuan supaya cepet jadian?”
“Hukum fluida non-newtonian” jawab Arjuna singkat.
“Fluida yang akan ngeras kalau terlalu banyak dikasih gaya atau tekanan itu?” Tanya Sani yang dijawab dengan anggukan oleh Arjuna “berarti, maksudnya, semakin banyak kita ngasih perlakuan ke seseorang, hatinya akan semakin keras?” Lanjutnya yang kembali dijawab dengan anggukan.
“Kalau menurut lu sendiri, cinta itu gimana?” Tanya Arjuna pada Sani.
“Menurut aku, cinta itu kayak obat yang bisa memicu hormon manusia. Gak cuma obat penenang kayak yang sering disebutin di novel atau drama, tapi juga bisa jadi obat yang berbahaya.
Obat itu punya beberapa sifat, bisa menyembuhkan, bisa menenangkan, dan juga bisa merusak seseorang.
Karena menurut aku cinta itu kayak obat, dan obat itu merupakan zat yang menyebabkan perubahan fisiologi atau psikologi organisme saat dikonsumsi, pastinya setiap obat punya efek samping. Sama kayak orang yang jatuh cinta, efek samping yang bakal didapet itu kayak tingkahnya yang bisa berubah drastis, bahkan bisa ngalamin penurunan sebagian fungsi otaknya.
Kalau orang lagi jatuh cinta, kadar hormonnya tuh bisa meningkat atau bahkan menurun. Kayak misalnya kadar dopamin yang bisa bikin seseorang merasa senang dan kecanduan jadi meningkat, kadar norepinefrin atau adrenalin yang bisa memicu denyut jantung meningkat, dan kadar serotonin yang micu rasa kantuk itu menurun.
Cinta itu kayak obat. Bisa membuat orang merasa jadi lebih baik, bisa menenangkan, bisa micu adrenalin, juga bisa buat orang keracunan.
Obat itu hal yang baik, tapi juga bisa jadi hal yang buruk kalau disalah gunain. Terlalu banyak mengonsumsi obat bisa membuat orang overdosis.
Cinta juga bisa jadi racun yang membuat seseorang kecanduan ke orang yang dia sukain sampe menimbulkan rasa obsesi. Kalau udah sampe kecanduan kayak gini, seseorang bisa rela ngelakuin apa aja, meskipun itu nyakitin dirinya sendiri.
Orang yang jatuh cinta itu bakal ngerasa seneng banget kalau cintanya diterima, gak jarang orang yang cintanya diterima akan menghamburkan uangnya buat ngerayain rasa senangnya. Tapi buat orang-orang yang ditolak cintanya, bisa bikin dia depresi, frustasi, atau bahkan bunuh diri.” Sani menjelaskan dengan berpanjang lebar.
Selama Sani menjelaskan, Arjuna terus tersenyum ke arahnya untuk memerhatikan setiap kata dan ekspresi yang keluar dari wajah Sani. Arjuna berusaha untuk menjadi pendengar yang baik.
“Kira-kira, kalau orang udah overdosis sama cinta dari seseorang, apa yang harus dilakuin?” Tanya Sani setelah menyelesaikan penjelasannya.
“Someone call the doctor” jawab Arjuna dengan menyanyikan sepenggal lirik dari salah satu lagu favoritnya.
“Someone call the doctor, hold and tell me. Love is a sickness, an addiction, overdose” Sani ikut menyanyikan sepenggal lirik dari lagu yang baru saja dinyanyikan Arjuna, membuat Arjuna tersenyum karenanya.
“Haha, gak nyangka, seorang Arjuna yang cuek bisa tahu lagu ini” ejek Sani.
“Pendapat lu tentang cinta, anak kimia banget, anjir” ejek Arjuna untuk membalas ejekan Sani.
“Kamu sendiri, anak fisika banget, wleee” ejek Sani sambil menjulurkan lidahnya.
“Gua lebih suka matematikanya sih” Arjuna menjawab dengan santai setelah mendengar pelajaran favoritnya disebut “satu hal yang gua tahu tentang cinta” lanjutnya.
“Apa?” Tanya Sani yang terlihat penasaran.
“Cinta itu irrasional” ujar Arjuna.
“Setuju” Sani menimpali perkataan Arjuna dengan nada yang cukup keras “kamu sadar gak, sih?” Tanya Sani tiba-tiba.
“Hm?” Arjuna hanya berdeham untuk memastikan pertanyaan Sani yang terdengar menggantung.
“Kalau dipikir-pikir, kita berdua tuh anak IPA banget, ya” ujar Sani “kamu sama aku tuh orang yang suka fisika sama orang yang suka kimia yang dipertemukan dengan perantara biologi, dan matematika yang jadi langkah awal kita buat dekat” lanjutnya.
“Bacot nih, anak kimia” kata Arjuna malas.
“Diem, kamu, gravitasi!” Sani membalas Arjuna.
“Berat dong, gua?” Tanya Arjuna.
“Iya, udah berat, tinggi lagi” kata Sani “kayak tiang listrik”
“Lu sendiri gak tinggi, hm?” Tanya Arjuna pada Sani.
“Seenggaknya, aku cuma setinggi tiang lampu jalanan, gak setinggi tiang listrik kayak kamu” jawab Sani yang membuat Arjuna tertawa “dasar gravitasi!” Lanjutnya yang kesal karena ditertawakan.
“Diem, lu, obat!” kata Arjuna kesal “obat masih terlalu bagus, lu lebih cocok disebut overdosis”
“Jangan overdosis ih” protes Sani “obat aja. Nanti aku jadi obat kamu kalau kamu sakit”
“Gua gak suka minum obat” kata Arjuna malas.
“Berarti kamu gak suka aku dong?” Tanya Sani memajukan bibirnya.
“Gravitasi” jawab Arjuna. Maksud dari Arjuna adalah lambang gravitasi, yaitu ‘g’.
“Malah nyebut diri sendiri” Sani yang tidak paham konteks yang Arjuna maksud, justru mencibir Arjuna sambil tertawa.
Arjuna dan Sani tidak pernah tahu, kata ‘obat’ dan ‘gravitasi’ ini akan menjadi permulaan untuk akhiran yang seperti apa.