Sepulangnya dari rumah sakit. Selama waktu panjang kurang lebih satu minggu lebih. Ibu berjuang untuk melahirkan sang buah hati. Dan hari ini, mereka sudah pulang ke kediaman rumah mereka.
Rumah yang cukup sederhana, di pinggir hamparan sawah yang luas, dengan warna rumah yang indah. Arsitektur bangunan rumah yang sederhana namun sangat indah di pandang mata. Ayah memarkirkan mobilnya di garasi. Kemudian Ibu dan Arhan turun sambil menggendong Al yang terlihat sangat imut dengan pipi merahnya. Bayi yang baru lahir.
Ayah menuntun Ibu yang jalannya masih tertatih-tatih. Meski kini kondisinya lebih baik dibandingkan hari-hari sebelumnya. Ayah membuka pintu dan langsung masuk ke dalam. Rasanya, mereka sudah lama sekali tidak berada di rumah yang indah ini. Tempat di mana semua kejadian lucu, canda dan tawa terjadi.
"Kita sudah berapa lama tidak berada di rumah?" Tanya Ayah sambil menuntun Istrinya.
"Kita seperti sudah bertahun-tahun tidak berada di rumah ini yang," ujar Ibu.
"Ah bisa saja kamu. Ayo kita ke kamar."
Ayah kembali menuntunnya menuju kamar yang indah itu. Kamar yang di mana itu adalah hadiah sebenarnya. Hadiah pernikahan mereka yang sudah berjalan selama 4 tahun lamanya. Kamar itu diisi dengan beberapa corak warna kesukaan dari Ibu. Merah muda. Apalagi sekarang dicampur dengan banyaknya aksesoris bayi. Seperti pakaian, selimut, bantal, guling dan masih banyak lagi.
Meskipun kamar ini dominan dengan warna merah muda. Tetapi Ayah tetap membuat perbedaan dari warna pakaian untuk Al. Karena dia laki-laki. Ayah membeli beberapa pakaian untuk Al dengan warna biru, merah dan hijau. Ada juga yang kuning. Membuat seisi kamar tersebut seperti pelangi di dalam rumah yang indah.
"Hati-hati. Aku akan ambilkan minum dulu ya." Ujar Ayah yang kemudian beranjak pergi dari kamar.
"Dede bayinya imut Bu." Ujar Arhan yang hendak menyentuh pipi adiknya itu.
Ketika akan menyentuh pipi adiknya tersebut. Tiba-tiba Ibu langsung menepis tangan Arhan.
"Eitss... Kamu mau sentuh adek, apakah sudah cuci tangan?"
"Aduhh... Yasudah Ibu." Arhan langsung pergi juga meninggalkan kamar untuk membersihkan tangannya agar bisa menyentuh adiknya tersebut.
Di sisi lain juga. Ayah sedang berada di dapur, tengah membuat sebuah minuman khusus untuk Ibu hamil. Apakah gerangan? Dan Arhan juga kebetulan lewat hendak cuci tangan di wastafel rumah. Namun, karena tingginya yang masih pendek, ia sangat kesulitan. Kemudian Ayah melihatnya.
"Kamu mau apa?" Tanya Ayah.
"Aku mau cuci tangan. Kata Ibu harus cuci tangan dulu kalau mau sentuh adek." Kata Arhan sambil ekspresi wajahnya yang terlihat cemberut.
"Yasudah." Ayah langsung mengais tubuh dari putra pertamanya itu.
Arhan pun cuci tangan. Suasana siang hari yang terlihat tenang dan indah. Rumah itu kembali diisi dengan keunikan keluarga yang sangat bahagia dan harmonis. Dan juga, kasih sayang seorang suami kepada istrinya.
"Sudah bersihkan?"
"Sudah Ayah."
"Kalau begitu, sana pegang pipi adikmu. Jangan lupa pelan-pelan ya pegangnya. Dia baru lahir lo." Arhan langsung berlari kembali ke kamar Ibu.
Ayah juga langsung beranjak kembali ke kamar, membawakan sebuah minuman khusus untuk Istrinya itu.
"Ini bagus untuk Ibu hamil sepertimu yang." Ayah meletakan gelas berisi minuman tersebut di meja laci bersebelahan dengan ranjang tempat Istrinya menyenderkan tubuh.
"Ini minuman apa yang?" Tanya Ibu.
"Minum saja. Itu jahe dan kunyit. Bagus untuk Ibu yang baru lahiran sepertimu."
"Jahe dan kunyit?"
"Iya sayang. Sudah diminum, aku mau mandi dulu. Sudah beberapa hari aku tidak mandi. Rasanya sangat tidak enak." Ayah langsung kembali beranjak pergi.
"Serius? Bahkan aku tidak tahu. Ah jangan-jangan memang karena aku sedang tidak sadar karena persalinan." Ibu dan Ayah tertawa terkecuali Arhan yang masih sibuk menyentuh-nyentuh pipi adiknya yang merah seperti buah jambu merah tersebut.
Tawaan dan candaan antara kedua suami istri tersebut kembali lengang setelah Ayah pergi dari kamar untuk mandi. Ibu juga kini sudah menyusui Al. Putra laki-lakinya yang kedua. Sementara Arhan kini sedang sibuk dengan buku gambarnya.
Ya. Arhan memang suka sekali dengan menggambar. Bisa dibilang itu adalah hobi dia, meskipun usianya baru menginjak 3 tahun dan akan 4 tahun. Bisa diprediksi suatu saat nanti ketika ia sudah besar. Arhan akan pandai sekali dalam melukis maupun menggambar.
Ibu kini juga perlahan-lahan tertidur dan terbangun. Mungkin dia juga sangat lelah, meskipun beberapa hari belakangan ia selalu tertidur. Tapi, itu tak akan cukup bagi seorang Ibu hamil yang baru saja melahirkan. Ia harus beristirahat setidaknya satu minggu lagi lebih maksimal. Agar kondisinya kembali pulih menjadi Ibu rumah tangga yang kuat dan sigap, menyiapkan segala macam kebutuhan di rumah.
***
Sore hari tiba. Ketika semua cuaca panas dan terik yang sangat membuat kulit terbakar berganti menjadi alunan senja di sore hari. Kombinasi antara rumah dari sepasang suami istri yang bahagia tersebut, dengan alunan senja membuat hari ini terlihat semakin indah saja. Ayah kini juga sedang bersantai di tengah rumah. Menyaksikan beberapa tayangan di televisi. Dan juga ia sedang rebahan di sofa.
Sementara itu, Ibu lagi-lagi tengah menyusui. Karena beberapa menit yang lalu Al sangat rewel sekali. Ia beberapa kali menangis hingga membuat Ayah juga terlihat sangat pusing mendengarnya. Tetapi di sisi lain juga ia sangat bahagia karena kelahiran putra keduanya.
Langit yang sedang mengalami senja. Dan rumah indah di pinggiran sawah, adalah kombinasi yang sangat indah. Dan sepasang suami istri yang baru saja mendapati kelahiran buah hatinya yang baru.
Ketika sedang enak dan santainya Ayah di tengah rumah, menyaksikan televisi. Arhan tiba-tiba datang mendekatinya.
"Ayah."
"Apa?" Jawab Ayah yang sedang rebahan santai.
"Aku ingin ke atap rumah."
Mendengar itu Ayah langsung merespon Arhan.
"Ke atas? Ke atap? Memangnya kamu mau apa sayang?" Tanya Ayah.
"Aku ingin lihat-lihat saja Ayah." Arhan terlihat memohon dan wajahnya memelas meminta permintaannya dikabulkan oleh sang Ayah.
"Kalau begitu. Kalau kamu mau ke atap. Ayah punya satu permintaan."
"Apa Ayah?" Arhan yang wajahnya memelas kini terlihat bersemangat.
"Tolong gambarkan Ayah seekor burung gagak yang sedang hinggap di pohon. Bisa tidak?" Ayah menantang anaknya.
"Boleh. Siapa takut. Jangankan gambar burung Ayah. Aku sekarang bisa menggambar raksasa membawa senjata palu martil yang besar." Untuk anak seumurannya. Arhan memang terlihat sangat cerdas dan sangat bawel. Meskipun beberapa hari kebelakang ia sangat cuek dan pendiam. Mungkin karena dia belum terbiasa dengan situasi di rumah sakit.
Arhan pun pergi untuk menggambar sesuatu yang diminta Ayahnya. Ayah juga mungkin sekarang sudah melihat potensi yang dimiliki dari putra pertamanya tersebut. Yakni menggambar. Secara tidak langsung juga dia mengajarkan sesuatu yang amat berharga pada Arhan. Yaitu, jika kamu ingin mendapatkan sesuatu, maka kamu harus berusaha terlebih dahulu. Dan itu sangat cerdas apa yang dilakukan oleh Ayah. Selain juga melatih ke matangan dan skillnya dalam menggambar. Ia juga melatih mental Arhan.
Setelah Arhan pergi. Ayah kembali lagi menonton televisi. Namun, di tengah kesantaian sang Ayah. Tiba-tiba kini dia menjadi teringat kembali kejadian yang dia alami kemarin sore di rumah sakit. Tentang dia melihat sesuatu anomali transparan yang aneh. Muncul di jendela rumah sakit. Juga, hal tersebut kini berseliweran di dalam pikirannya. "Apakah kejadian itu nyata? Atau hanya sekadar halusinasi semata karena aku kelelahan?"
Pertanyaan tersebut terus menyelimuti Ayah. Sampai-sampai ia menjadi tidak fokus menonton televisi. Ia masuk ke dalam pikirannya yang paling dalam. Ada yang aneh dengan kejadian kemarin. Jika dipikir secara kritis menggunakan logika. Hal tersebut tidak masuk akal dan terlalu di luar nalar. Bagaimana mungkin ada sebuah makhluk transparan aneh yang bisa memegang dirinya?
Sore hari kembali lagi berganti menjadi malam. Ayah kini sudah melupakan hal yang membuat dirinya terus berpikir keras. Arhan juga terlihat sudah selesai menggambarkan seekor burung gagak yang sedang hinggap di sebuah dahan pohon. Meskipun terlihat masih amburadul, tapi patut diapresiasi bagi anak tiga tahun seperti Arhan sudah bisa menerima tantangan dari seorang Ayah.
"Ayah. Ini aku sudah selesai." Arhan menyerahkan kertas gambarnya.
Saat itu Ayah sedang berada di dapur. Dirinya sedang membuat secangkir kopi. Namun, ada yang aneh dengan tingkah Ayah kali ini. Dia tidak merespon sama sekali, ketika Arhan menyerahkan kertas gambarnya.
"Ini Ayah! Kenapa Ayah hanya diam?" Tanya Arhan.
Suasana di dapur lengang. Tiba-tiba suara tangisan bayi terdengar dari arah kamar Ibu. Dan ya! Itu pasti adalah Al yang menangis karena mungkin terbangun, atau dia sedang ingin minum susu. Lengang. Ayah tidak merespon, dan hanya membelakangi Arhan yang berkali-kali menyerahkan kertas gambar miliknya. Aneh. Dan Ayah hanya mengaduk kopi seduh miliknya yang sedari tadi mungkin sudah sekitar lima menit dia mengaduk. Dan mungkin saja, Al terbangun karena suara benturan sendok dan gelas.
"Ayah?"
Arhan terdiam ketika saat panggilan terakhir itu tiba-tiba. BRAKK! Ayah terjatuh tak sadarkan diri.
Suara tangisan bayi di malam hari. Dengan kesusahan payahan seorang Ibu yang berusaha menenangkan buah hatinya untuk tenang dengan cara menyusuinya. Juga suara malam yang tampak sunyi dan sepi. Namun indah dan tenang. Arhan tidak bisa berbuat apa-apa, hanya diam dan terpaku sejenak.
Kepala Ayahnya terbentur ke lantai dengan sangat keras. Ayah tak sadarkan diri. Ada yang salah dengan Ayahnya.
Lalu Arhan pun bergegas berteriak dan berlari ke arah kamar Ibunya.
"Ibu! Ibu! Ayah pingsan!"
Sontak Ibu yang mendengar hal itu buru-buru untuk berdiri ketika menyusui Al yang masih menangis. Ibu berjalan tergesa-gesa walau diiringi dengan rasa sakit yang amat menyakitkan dan rasa lemas pasca persalinan. Ibu berjalan ke arah dapur.
Arhan masih kecil. Andai saja dia sudah besar dan bisa melakukan apa saja. Dia pasti sudah menggendong tubuh Ayahnya yang tinggi itu.
Namun, malam itu terjadi hal yang tidak mengenakan bagi keluarga ini. Sesuatu yang amat janggal lagi-lagi terjadi ketika Ibu yang berusaha menelpon ambulan dari rumah sakit untuk datang ke alamat rumahnya. Dan Arhan yang berusaha membuat Ayahnya itu terbangun dengan menepuk-nepuk pipi Ayahnya itu.
Dan hal aneh itu muncul. Sesosok entitas transparan yang kemarin muncul di rumah sakit, ketika Ayah baru saja terbangun di petang hari yang sedang hujan badai itu. Kini muncul lagi. Dan kini dia berada di tangga rumah yang menuju ke atap rumah. Dia berdiri tegak di sana dengan tubuhnya yang transparan seperti air.
Seluruh penghuni rumah baik Ibu dan Arhan saat itu tidak menyadari keberadaan sosok entitas itu. Mereka hanya sibuk untuk menyelamatkan sang Ayah. Arhan yang masih terus berusaha membuat Ayahnya tersadar, dan juga Ibu yang kini berusaha menelpon ambulan dengan dua kesulitan yang dialaminya yaitu harus menenangkan bayi kecilnya yang masih rewel dengan teriakan tangis yang memekakkan telinga, berbarengan dengan dirinya yang berusaha menghubungi pihak rumah sakit, untuk menjemput Suaminya menggunakan ambulan.
Sosok itu masih berdiri. Dan tidak ada siapapun yang menyadari. Malam hari yang seharusnya menyenangkan malah berubah menjadi hal janggal yang tidak mereka sadari.
"Baik Pak. Dipercepat ya Pak!" Suara Ibu yang masih lemas sedang menelpon ambulan.
"Ayah bangun Ayah. Ayah kan sudah janji, mau antar Arhan ke atap rumah. Kenapa Ayah malah sakit." Arhan anak yang masih polos itu.
Telepon ambulan ditutup. Ibu kembali ke kondisi Suaminya yang masih tidak sadarkan diri itu. Tidak ada lagi saudara ataupun orang yang bisa dibilang dewasa untuk mengangkat tubuh Ayah. Apalagi tetangga. Harus ke mana lagi Ibu mencarinya? Rumah mereka juga sangat jauh dengan pemukiman warga. Rumah mereka terpencil di sisi pesawahan yang indah itu.
Kedua orangtua Ayah dan Ibu sudah tiada. Mereka menikah hanya dengan cara sederhana. Mengundang orang-orang terdekat. Saudara-saudara mereka semuanya menjauhi. Akibat tragedi aib mereka beberapa tahun yang lalu. Mereka juga diasingkan ke pemukiman sunyi ini. Sudah sunyi, ditambah lagi dengan rumah mereka yang jauh dari pemukiman warga yang lain.
***
Ayah tersadar ketika dia sudah berada di sebuah ruangan yang serba putih itu lagi. Ini di mana?
"Sekarang Bapak sudah mendingan? Apakah sudah ingat dengan apa yang terjadi?" Tanya Dokter yang berdiri di sebelah tubuh Ayah yang terbaring itu.
"Saya ada di mana Dok?" Tanya Ayah.
"Bapak sekarang ada di rumah sakit. Kemarin malam Istri Bapak menelpon pihak kami untuk menjemput Bapak. Katanya Bapak pingsan dan tidak sadarkan diri. Kepala Bapak juga terluka akibat benturan dengan lantai."
"Hah? Bukannya..."
"Baiklah. Sekarang Bapak istirahat saja dulu. Kondisikan tubuh Bapak agar lebih baik lagi. Karena kasihan Istri Bapak dan anak-anak Bapak." Dokter menepuk bahu Ayah dan lalu pergi.
Ayah bingung. Melirik sekitarnya yang kosong tidak ada siapapun. Ke mana Istrinya? Ke mana Arhan?
Dia masih bingung dengan apa yang terjadi dan menimpa dirinya. Dan kenapa dia berada di rumah sakit ini lagi? Andai saja ada orang yang mau mendengarkan ceritanya, dia pasti akan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Padahal yang dia ingat bukan dirinya yang kelelahan atau pun tak sadarkan diri. Ada sesuatu yang harus dia ceritakan. Dia belum membuka diri.
-Bersambung-