CHAPTER 4 -THE ROOF-

Keesokan harinya. Di pagi hari yang Ibu anggap sesuatu yang bisa membawa harapan.

Ibu terbangun sekitar pukul 6 pagi. Ia terlambat untuk melaksanakan kewajibannya. Namun, ia tetap melakukannya. Di sisi lain juga Arhan masih tertidur pulas dengan posisinya yang lucu. Juga ada Al yang terlalu imut sekali tidurnya. Pipinya merah. Dan rambutnya yang lebat tampak tampan mirip sekali dengan Ayahnya.

Namun. Ayah sekarang tidak seperti itu lagi. Ibu merasakan masih ada harapan di pagi ini. Namun, ia tidak mengetahui sesuatu hal yang telah menimpa Ayah tadi malam.

Ibu yang keadaannya sudah semakin membaik pun kini sudah bisa beres-beres rumah kembali. Meski sesekali terasa pusing di kepalanya, yang membuat waktunya untuk beres-beres terganggu karena dia harus diam dan istirahat dulu sejenak karena rasa pusing yang dia alami.

Seperti halnya sebelum dia melahirkan dan sebelum mengandung. Ibu menyapu halaman depan rumah dan juga teras di depan dan lantai-lantai di tengah rumah. Setelah itu dia mengepel semua sudut rumah dan semua sudut ruangan kecuali kamar yang Ayah tempati belakangan ini dan juga tangga dan atap. Dia terlalu takut untuk itu. Dia takut Suaminya itu marah-marah ketika dia beres-beres masuk ke dalam kamar terbengkalai itu, dan terjadilah pertengkaran di pagi hari. Meskipun jika Ibu melakukannya itu tidak pernah terjadi, dan kejadian sebenarnya akan segera terungkap. Juga Ibu masih merasakan sakit diperutnya akibat proses persalinan jika dia harus naik ke lantai dua.

Setelah mengepel kemudian Ibu mencuci piring, gelas, sendok dan macam-macam perabotan rumah. Lalu dia masak. Setelah itu dia pergi untuk mandi karena pagi ini dia kedatangan tamu spesial yang akan menjadi harapan baru.

***

Suara ketukan pintu terdengar ketika jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi.

Ibu beranjak dari kamarnya sambil menggendong buah hati kesayangannya dan membuka pintu.

"Selamat pagi Ibu," sapa Siti dengan penuh keramahtamahan.

"Selamat pagi juga Sit. Ayo masuk ada yang harus segera Ibu ceritakan."

Siti. Seorang psikiater muda yang baru saja menerima gelar sarjananya sekaligus lulusan universitas terbaik. Dia menjadi psikiater di usianya yang baru menginjak 23 tahun.

Arhan tengah sibuk dengan gambarnya. Dan dia juga masih memikirkan gambar gagak yang dipinta Ayahnya. Ia tampak sedih setelah kejadian itu yang merubah sikap Ayahnya.

"Silahkan duduk. Mau minum apa Sit?"

"Air putih saja Bu."

"Baik kalau begitu." Ujar Ibu sambil beranjak pergi ke dapur.

Arhan yang melihat Siti langsung pergi berlari ke kamar Ibu karena malu-malu. Dan dia masih tampak sedih saja akan hal yang terjadi.

Beberapa menit kemudian pun Ibu datang lagi ke ruang tengah yang penuh akan sofa-sofa bersih itu. Dan lalu langsung memperbincangkan terkait masalah yang sedang dialami oleh Suaminya.

"Terimakasih Bu. Bayi ini lucu sekali. Baru berapa bulan?" Tanya Siti.

"Satu bulan pun belum sayang. Dia masih mau menuju 3 mingguan."

"Ohhh begitu."

"Iya sayang." Jawab Ibu masih sibuk menggendong Al.

"Boleh tidak saya gendong?" Tanya Siti.

"Baiklah. Tapi hati-hati ya. Ini baru pertama kalinya dia digendong oleh orang baru," ujar Ibu.

"Baik tenang saja Bu." Ibu melepas Al dari pangkuannya, ke pangkuan Siti.

"Jadi bagaimana Bu kejadiannya?" Sekarang Siti mulai membuka topik utama.

Ibu menceritakan semua kejadian yang telah dialami oleh Suaminya itu. Kini dia juga tampak mengecilkan suaranya yang sedang menceritakan kronologi kejadian Suaminya itu. Karena bisa saja terdengar oleh Suaminya meskipun itu tidak akan pernah terjadi, karena dia sudah tiada.

Beberapa menit, berlalu. Arhan juga mendengarkan obrolan tersebut dari balik pintu kamar. Ia juga kini sudah sedikit paham apa yang sebenarnya terjadi dan mengubah sikap Ayahnya kepadanya. Ia sangat kecewa apa yang terjadi menimpa Ayahnya itu. Ia sangat kecewa. Ayahnya tidak menepati janji dan dia berubah sikap, tak hanya berubah sikap kepadanya, tapi juga kepada Ibu. Istrinya.

Obrolan yang cukup panjang di pagi hari. Dan kini Siti juga sudah memberikan solusi dan sebab akibat Ayah menjadi seperti itu. Jawabannya cukup logis dan masuk akal. Namun, dia tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Hingga... Sekitar satu jam kemudian mereka mengobrol dan memperbincangkan apa yang terjadi. Kini Siti mulai menanyakan keberadaan Ayah.

"Baik. Kalau begitu, bisakah saya sekarang melihat kondisi Suami Ibu?" Tanya Siti.

Mendengar pertanyaan yang dilontarkan Ibu terdiam sejenak. Dia seperti ragu, dan takut. Tapi jika Ibu tahu dia tidak perlu takut. Dia pasti akan sangat histeris dan menangis, sekaligus takut. Tapi bukan takut karena pertengkaran yang akan terjadi. Tapi takut yang sesungguhnya. Melihat Suaminya melayang dalam tali-temali yang tergantung di sela-sela pintu tua.

"Baiklah. Tapi kamu harus siap dan kita juga harus siap apa yang akan terjadi."

"Memangnya kenapa Bu?"

"Aku takut Siti."

Suasana lengang seketika. Bagi seorang psikiater mungkin Siti bisa melihat gerak-gerik dari Ibu. Dia bisa memahami apa yang sedang dihadapinya.

"Tidak apa-apa Bu. Siapa tahu sekarang Suami Ibu lebih baikan." Siti mencoba menenangkan Ibu. Dia sepertinya tahu apa yang Ibu takutkan.

"Baiklah kalau begitu. Ayo ikuti aku." Ibu pun berdiri dan langsung beranjak menuju kamar yang ditempati Suaminya beberapa Minggu kebelakang ini.

Siti dengan wajah cantik dan kacamata beningnya pun mengikuti dari belakang. Perlahan-lahan. Dan dia sekarang mulai merasakan sesuatu yang ganjal dan aneh. Tiba-tiba bulu kuduknya seakan berdiri tegak.

Sampailah mereka di hadapan kamar tersebut. Ibu menatap pintu yang ada di hadapannya. Hendak membuka tetapi ragu dan takut. Namun Siti berusaha meyakinkan Ibu.

"Sudahlah. Tidak apa-apa Bu. Siapa tahu sekarang ada jalannya." Kata Siti sambil tersenyum dan memegang bahu Ibu.

Ibu pun balas tersenyum. Lalu pintu pun dibuka. Ketika itu Ibu sangat takut dan khawatir sekaligus malu dengan kondisi Suaminya tersebut. Namun ketika pintu terbuka...

"Di mana Suami Ibu?" Tanya Siti kebingungan.

"Yang? Di mana kamu?" Ibu juga heran dan mencari-cari ke semua sudut ruangan kamar itu. Namun benar-benar dia tidak ada di kamar ini.

Mereka berdua bertatapan keheranan. Lalu Ibu berusaha mengingat sesuatu yang terjadi kemarin malam. Oh ya! Benar sekali. Dan akhirnya Ibu menyadari hal tersebut.

"Sebentar. Kemarin malam Suami saya pergi ke atap rumah naik tangga. Saya kira dia akan kembali lagi ke kamar. Saya sudah lelah mengurus hal itu malam-malam Siti. Makanya saya langsung saja mengurung diri di kamar bersama anak-anak." Kata Ibu dengan wajah yang cemas sekaligus khawatir.

"Kalau begitu ayo kita cari ke atap rumah."

Mereka berdua kemudian berjalan menuju atap rumah. Dengan Siti yang menggendong Al, dan Ibu yang kesusahan naik ke tangga pualam satu demi satu. Rasa sakit selepas persalinan masih membuatnya sakit.

Perlahan-lahan mereka pun akhirnya sampai di atap. Kemudian mereka membuka pintu atap yang terbuat dari pintu kayu dengan mekanisme digeser tersebut.

Ketika saat pagi hari yang seharusnya menjadi sebuah harapan bagi Ibu. Namun, pagi ini Ibu mendapati sebuah kemustahilan yang dilakukan seorang Suaminya. Apa yang dilihatnya hari ini merupakan tanda bahwa Suaminya memang mengalami hal janggal tersebut.

Ayah sudah melayang dengan tali-temalinya. Menggantung dengan wajah yang sudah amat pucat dan mata yang putih.

"Astaga!" Ibu kaget. Menangis histeris.

Siti terdiam termangu melihat hal itu. Apa yang mereka bisa lakukan setelah ini? Andai saja Ibu kemarin mengikuti Ayah yang berjalan menuju ke atap. Tapi Ibu kemarin malam masih terlalu egois untuk hal itu.

"Siti! Cepat panggil polisi, atau ambulan, atau apapun itu." Ibu sangat menjerit histeris.

Arhan yang berada di bawah rumah pun mendengar tersebut. Kemudian dia berlari dari kamar Ibunya menuju ke atap rumah, berpapasan juga dengan Siti yang turun dari anak tangga. Namun, Siti tahu akan hal tersebut akan membuat trauma dalam hidup Arhan, dia kemudian mencegah Arhan untuk naik ke atap. Dia menarik tubuh Arhan yang kecil mungil itu. Dan lalu menggendongnya.

"Jangan pergi ke atap Arhan. Ibu sedang sedih." Ujar Siti yang juga berlinang air mata.

"Memangnya kenapa Ibu?" Arhan bertanya dengan nada polosnya.

"Sudah. Sekarang ikut Tante saja."

Suasana berubah menjadi tragis pagi itu. Siti menelpon polisi beserta ambulan untuk diadakan penyelidikan akan hal ini.

Dan beberapa saat kemudian polisi datang sigap bersama ambulan. Lalu membawa jasad dari Ayah yang sudah melayang semalaman itu. Tubuh Ayah dinaikan ke dalam ambulan. Dan dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan otopsi lanjutan. Polisi juga melakukan pemeriksaan diseluruh rumah. Tak lupa mereka juga menyelidiki Ibu.

Suasana sangat tegang pagi ini. Arhan dibawa pergi oleh Siti yang saat itu kebetulan datang membawa mobil. Dan lalu membawa pergi Arhan beserta adiknya yang masih bayi tersebut. Arhan yang masih polos tidak tahu apa yang sedang terjadi, ia bertanya-tanya kepada Siti.

"Apa yang terjadi Tante? Kenapa ada banyak mobil polisi ke rumah Arhan?"

Siti tidak menjawab pertanyaan tersebut. Ia terus fokus mengemudikan mobil sambil Al yang berada di pangkuannya. Siti meneteskan air matanya. Dan lalu dia tersenyum kepada Arhan yang saat itu masih terheran-heran akan hal yang terjadi.

"Kenapa Tante menangis?"

***

Hingga sore hari pun tiba. Semuanya sudah selesai dengan kasus ini. ibu dinyatakan tidak terlibat akan kasus ini. Dan kasus ini dinyatakan mutlak sebagai kasus menghilangkan nyawa sendiri. Arhan juga sudah kembali bersama Siti. Yang sedari tadi dibawa entah ke mana bersamaan dengan adiknya yang masih bayi tersebut.

Ibu memeluk Arhan yang saat itu tidak tahu apa yang terjadi. Bahkan dia tidak tahu bahwa Ayahnya sudah tiada. Sosok Ayah yang selama ini selalu menemaninya. Dan selalu berbagi canda tawa dengannya. Kini sosok tersebut sudah tiada, hilang ditelan oleh kejanggalan.

Dan sore ini tepat setelah beberapa jam kemudian setelah ditemukannya jasad Ayah yang sedang melayang. Pemakaman pun dilaksanakan. Tidak ada kanak saudara yang datang. Mereka benar-benar sepasang Suami-Istri yang sebenarnya lahir karena aib mereka di masa lalu.

Di upacara pemakaman tersebut Ibu sangat-sangat terpukul. Wajahnya memang lesu dan tak mengeluarkan air mata. Tapi, hatinya menjerit-jerit, seakan-akan, jika dia punya literan air mata dia akan menumpahkannya di saat itu juga. Arhan Tampak bingung di sebelah Siti yang sedang menggendong Al.

Suasana di pemakaman umum sangat dipenuhi oleh duka, bagi Ibu. Ia sangat menyesal atas apa yang terjadi semalam. Andai saja saat itu dia menyusul ke mana Ayah pergi. Dan andai saja, dia bisa menghabiskan waktu-waktu terakhir bersama Suaminya dengan bercengkrama dan tertawaria. Andai saja.

Namun semua harapan itu sirna oleh penyesalan. Apakah memang sudah seharusnya seperti itu? Penyesalan selalu datang di akhir?

"Baiklah Bapak-bapak Ibu-ibu. Kita do'akan semoga Bapak Ahmad zaenudin diterima amal dan ibadahnya di sisi-Nya. Sang pemilik bumi dan langit." Ujar salah seorang Ustadz yang sedang menengadahkan kedua tangannya untuk berdoa.

Semua berdo'a dengan khidmat saat ini. Tidak ada canda tawa lagi. Kehidupan Ibu sepertinya akan berubah 180°. Dan Arhan sekarang kehilangan sosok dan peran seorang Ayah yang akan membimbingnya menjadi seorang laki-laki sejati. Begitu juga dengan adiknya Al.

Pemakaman selesai dengan baik. Semua peziarah pergi meninggalkan lokasi pemakaman umum tersebut. Terkecuali Ibu, Siti, Arhan dan juga Al. Mereka berempat masih berada di hadapan makam Ayah.

Ibu masih dengan tangisannya. Kemudian Siti duduk dan mengusap bahu Ibu untuk menenangkannya. Arhan kini pun akhirnya bisa mengerti apa yang terjadi. Ayahnya sudah tidak ada. Tapi, dia tidak terlihat sedih. Mungkin karena dia masih sangat polos dan kecil untuk memahami ini semua.

Kemudian Siti berkata kepada Ibu. "Kalau nanti Ibu perlu apa-apa, panggil saya saja Bu. Saya siap membantu. Lagi pula kasihan Arhan dan Al." Siti tersenyum kepada Ibu sambil meneteskan air mata.

Ibu balas tersenyum. Meski senyum itu dipenuhi dengan rasa penyesalan dan kesedihan.

Setelah beberapa lama mereka pun kembali pulang ke rumah menggunakan mobil milik Siti. Dan sesampainya di rumah, Ibu langsung kembali pada kewajibannya sebagai Ibu. Menjadi sosok yang harus menjadi contoh bagi anak-anaknya. Meski sekarang anak-anaknya kehilangan sosok peran Ayah, tapi Ibu tidak boleh menyerah.

***

Di malam hari saat semua sedang berkumpul di ruang tengah. Al tiba-tiba menangis lagi, sepertinya karena ingin di susui. Al menangis di kamar, karena memang sebelumnya dia sudah tertidur dengan pulas. Dan kali ini dia menangis yang membuat Ibu harus kembali dari ruang tengah menuju kamarnya. Padahal Siti sedang mengobrol kan sesuatu hal untuk menguatkan hati Ibu.

Namun, di saat-saat yang ganjil dan penuh dengan kelengangan malam. Tiba-tiba Siti mendekat ke arah Arhan yang berada di sebelahnya tengah menggambar sesuatu. Dan kemudian Siti berkata.

"Arhan. Kalau Arhan sudah besar. Jangan lupa harus menggantikan Ayah ya nak. Dan kamu harus berbakti sama Ibu. Dan pada hari ini. Tante Siti akan membuat kamu lupa akan semua hal yang terjadi hari ini. Semoga kamu bisa membuat semuanya lebih baik nanti." Siti bicara dengan nada penuh misteri.

Lalu saat itu. Arhan menatap Siti dengan penuh keheranan. Siti kemudian menempelkan tangannya di kepala Arhan. Lalu menatapnya dalam-dalam. Dan seketika, semua yang diingat Arhan hari ini menghilang dari ingatannya.

Selesainya Ibu dari menyusui Al. Yang saat ini sudah tertidur kembali. Dia mendapati Siti yang berada di ruang tengah sudah tidak ada. Dan hanya menyisakan Arhan yang saat itu terdiam, sambil menatap gambar-gambarnya.

"Kamu mau makan apa malam ini Siti?" Ibu berjalan ke arah ruang tengah.

"Arhan. Tante Siti di mana?" Ibu kebingungan.

Dia hanya melihat tas Siti yang tergeletak di kursi sofa. Kemudian Ibu mencari Siti ke seluruh penjuru rumah. Namun dia tidak ada. Bahkan Ibu sudah berusaha mencarinya hingga ke atap tempat di mana kejadian itu terjadi, meski tertatih-tatih karena masih merasa kesakitan. Namun, tidak ada. Siti hilang ditelan oleh keganjalan.

Dan Ibu hanya menemukan tas Siti tergelatak di sofa. Dengan beberapa peralatan aneh yang tak dikenal olehnya. Seperti jam dering hijau.

Kemudian Ibu berusaha menelpon Siti namun dia tidak mengangkat panggilan itu.

Hingga... Beberapa bulan, tahun kemudian. Ibu harus mengurus keperluan di rumah sendiri. Mengurus serba-serbi kebutuhan. Bahkan dia kini bekerja sebagai kasir di salah satu supermarket untuk mencukupi kebutuhan anak-anak dan rumah. Waktu terus berganti dengan Siti yang tidak pernah kembali. Meninggalkan harapan satu-satunya bagi Ibu di hari itu.

-Bersambung-