Bandung, Indonesia.
03 Agustus 2015
Jalanan kota cukup padat dengan beberapa mobil yang silih mengeluarkan suara klaksonnya masing-masing. Seorang wanita tengah berdiri di bahu jalan hendak menyebrang. Wanita itu adalah Ibu, yang sore ini baru pulang dari pekerjaannya sebagai kasir supermarket.
Ibu menyebrang dari bahu jalan ke bahu jalan yang lainnya. Kemudian dia naik salah satu angkutan umum yang saat itu tepat sekali berhenti di hadapannya setelah menyebrang. Ibu naik angkutan umum itu.
"Baru pulang Bu?" Tanya sopir angkutan itu.
"Iya Pak," Jawab Ibu.
"Sekarang nyari kerjaan memang susah Bu. Gak gampang. Semuanya harus pakai usaha. Udah beberapa hari ini Ibu naik angkot saya terus. Muka Ibu kelihatannya suram sekali. Tapi tidak apa-apa Bu. Buat hari ini saya kasih ongkos gra..."
"Bisa jalan sekarang tidak pak." Potong Ibu dengan wajah yang sinis, menatap kaca cermin di depan sopir.
"Ok ok. Tadinya saya mau ngasih cuma-cuma loh Bu. Saya mengerti perasaan Ibu. Tapi yasudah." Sopir angkutan umum itu kemudian menancapkan gasnya.
Mobil dan motor silih berhilir ke sana kemari. Suasana perkotaan yang amat penuh dengan kehidupan, membuat keruh langit yang indah diciptakan Tuhan.
Sore itu suasana hati Ibu tampak sangat buruk. Wajar saja. Hari ini dia dipecat oleh atasannya sebagai kasir supermarket karena menampar salah satu pembeli yang kurang ajar kepadanya. Padahal Ibu tidak salah. Dia hanya membela dirinya yang direndahkan oleh orang tersebut yang menyebut dirinya seorang pelacur. Beberapa temannya juga ikut membela Ibu karena memang dia tidak salah. Namun, sudahlah. Yang punya kuasa atas perusahaan supermarket ini yang lebih berwenang. Itu yang membuat suasana hati Ibu hari ini menjadi kurang baik, atau bisa dibilang sangat buruk.
Ditambah setelah empat tahun berlalu setelah peristiwa meninggalnya sang Suami tercinta, membuat mental Ibu benar-benar jatuh. Ditambah lagi dengan perginya Siti, psikiater muda yang seharusnya bisa menjadi harapan bagi Ibu, setelah ditinggalkan beberapa saudara yang sudah tidak peduli lagi padanya dan Ayah.
***
11 Juni 2008
Cerita mereka bertemu sudah sangat lama. Siti dan Ibu. Hubungan mereka sudah seperti anak kandung dan ibu kandung. Semua berawal ketika mereka bertemu di salah satu rumah sakit yang ada di daerah Bandung. Kala itu Ibu sedang menjalani kontrol terkait kehamilan pertamanya. Yaitu ketika Ibu sedang mengandung Arhan.
Kala itu Ibu selesai dari ruangan Dokter bersama dengan Ayah. Lalu tak sengaja seorang wanita cantik dengan kacamata bening menjatuhkan dompetnya di hadapan Ibu. Kemudian Ibu mengambil dompet itu dan mengejar wanita tersebut. Ibu mengembalikan dompet tersebut dan lalu Si Wanita yang ternyata bernama Siti tersebut berterimakasih kepada Ibu dan Ayah.
Ketika hendak pulang naik mobil. Tiba-tiba Ayah dan Ibu melihat Siti lagi yang sedang terduduk di salah satu bahu jalan. Kemudian Ayah yang mengendarai mobil menghampirinya. Dan bertanya kepada Siti. Kenapa dia terlihat sangat gelisah, juga diam sendirian di bahu jalan trotoar di sore hari.
"Aku bingung harus pulang ke mana Pak. Aku sudah tidak punya siapa-siapa. Dan aku juga sedang kuliah di kota ini." Jawab Siti sambil memegangi tasnya.
"Yasudah kalau begitu. Ikut saja dengan kami. Dan tinggal dulu bersama kami. Kamu kan pasti sedang bingung mencari kosan kan?" Ujar Ayah sambil bertanya dari dalam mobil.
Tak bisa menolak, Siti pun ikut bersama dengan Ayah dan Ibu yang saat itu Ibu kebetulan sedang mengandung anak pertamanya.
***
Sesampainya di rumah. Siti langsung diberi pakaian dan kamar untuknya tinggal sementara. Dan mereka pun akhirnya berbincang-bincang saat tengah makan malam.
"Jadi kamu sebenarnya dari mana?" Tanya Ibu.
"Saya dari Jakarta Bu. Dan sekarang saya kuliah di Bandung."
"Wah. Ambil jurusan apa?" Tanya Ayah.
"Kebetulan saya ambil jurusan psikologi." Jawab Siti sambil memakan makanan yang Ibu sajikan.
"Berarti nilaimu tinggi. Buka sembarangan orang bisa masuk ke jurusan psikologi," ujar Ibu.
"Terimakasih Ibu."
"Kamu pakai beasiswa ya pasti?" Tanya Ayah.
"Iya Pak." Siti tersenyum.
"Kebetulan kalau begitu. Nanti kalau kamu mau konsul yang. Dengan dia saja. Beberapa hari nanti Siti tinggal di sini saja ya?"
"Boleh Pak. Dan terimakasih sudah memperbolehkan Siti tinggal sementara di rumah ini."
"Sudahlah. Tidak apa-apa. Jadi Ibu ada teman mengobrol nanti ketika Bapak pergi kerja." Ujar Ayah yang tersenyum kepada Ibu.
Keesokan harinya Siti pun berbincang-bincang dengan Ibu terkait dengan masalah mental pertama kali seorang Ibu muda yang sedang hamil. Mereka akhirnya akrab setelah sekitar beberapa hari Siti tinggal di rumah. Dan Ibu sangat berterimakasih kepada Siti karena sudah memberikan solusi kepada Ibu agar tidak mengalami stress.
Begitu juga dengan Siti. Dia sangat-sangat berterimakasih kepada Ibu dan Ayah, karena sudah memperbolehkannya menumpang sementara. Sebelum dia harus pergi tinggal mencari kosan.
Alasan Ayah membawa Siti, adalah karena Ayah sangat prihatin ketika pertama kali bertemu dengan Siti. Kondisinya cukup memprihatinkan dengan pipi yang tirus dan badan yang kurus. Dia berjuang untuk menimba ilmu di kota yang dia tidak kenal.
Siti sudah tidak punya siapa-siapa. Orangtuanya sudah meninggal. Dan dia juga jauh dari saudaranya. Dia bercerita kepada Ibu, bahwa ketika dia mendapatkan beasiswa, untuk berkuliah di kota ini, di saat yang sama juga orangtuanya meninggal. Ia memaksakan diri untuk pergi ke kota ini menimba ilmu. Dengan bekal seadanya dari sanak saudara yang tinggal jauh. Ia terpaksa mengambil beasiswa karena sayang jika tidak diambil. Meski seharusnya dia tetap tinggal di kotanya agar lebih baik. Tetapi tekad dan perjuangannya untuk menimba ilmu sangat tinggi. Dia juga seorang yang baik dan penuh dengan sopan santun. Pergi dengan kesedihan dan tekad yang kuat, itulah Siti.
Dan pada hari itu. Ketika semua urusannya di rumah Ibu sudah selesai. Ia juga sudah mendapatkan lokasi kosan yang bagus dan murah untuk tempat dia tinggal selama di kota ini. Siti juga memiliki usaha kecil-kecilan. Dia berjualan roti di kampus sebagai penghasilannya selama berada di kota ini. Sebagai bekal juga untuk dia.
"Siti berangkat dulu Bu, Pak. Terimakasih sudah menerima Siti, dan tinggal beberapa hari di rumah ini." Ucap Siti yang mencium tangan Ibu dan Ayah untuk pamit pergi.
Perpisahan dan sekaligus pertemuan terakhir mereka di tahun tersebut. Saat itu juga. Ibu dan Ayah sulit untuk mendapatkan informasi tentang Siti. Dia menghilang. Sampai akhirnya dering telpon rumah berbunyi. Ibu mengangkatnya. Dan saat itu ternyata itu adalah Siti. Sudah beberapa bulan sejak dia menghilang tanpa kabar. Akhirnya Ibu menyimpan nomor Siti tersebut.
Hingga saat ini. Siti selalu menghilang tanpa kabar untuk yang kedua kalinya. Apakah dia akan kembali? Hubungan erat Ibu dan Siti bisa dibilang seperti Ibu dan anak, atau juga bisa dibilang sebagai adik dan kakak.
***
Ibu tiba di rumah setelah hari yang cukup melelahkan. Setelah pemecatan pekerjaan yang membuatnya bertanya-tanya. "Harus ke mana lagi aku mencari nafkah untuk anak-anakku?."
Rumah sudah tak terlihat seperti dulu lagi. Semuanya berubah setelah kepergian Ayah yang amat menyakitkan bagi seorang Ibu. Dan menjadi trauma yang sangat mendalam baginya. Tapi tidak bagi Arhan. Ia seperti lupa akan hal yang terjadi. Arhan ingat wajah Ayah, dan ingat jika Ayahnya sudah tiada. Namun dia tidak mengingat kenapa Ayahnya meninggal, dan apa yang menjadi sebab Ayahnya meninggal.
"Ibu sudah pulang?" Tanya Arhan.
Ibu terus berjalan tanpa menjawab. Ia menuju ke arah dapur, yang tampak berantakan itu.
"Bu... Apa Ibu mau aku buatkan air?" Ibu mengangguk.
"Baiklah. Lebih baik Ibu duduk saja dulu, biar aku yang buatkan air." Ibu yang berdiri di dapur kembali berjalan ke ruang tengah dan duduk di sofa. Digantikan oleh Arhan yang kini berjalan ke dapur.
Di sana juga ada AL yang kini sudah tumbuh menjadi seorang balita yang amat menggemaskan. Dan dia tumbuh tanpa seorang Ayah. Sungguh menyedihkan.
Arhan kembali dari dapur lalu memberikan air minum yang ia buatkan untuk Ibu.
"Ibu hari ini kenapa? Mau aku pijat?" Ibu hanya mengangguk dan meneguk segelas air putih yang Arhan bawa.
Hari ini memang sangat melelahkan dan sangat membuat Ibu kesal. Sekaligus membuat Ibu frustasi akan hidup yang sekarang ia jalani.
"Hari ini Al tidak rewel kan?" Tanya Ibu yang sekarang raut wajahnya sudah tampak baikan.
"Al baik-baik saja. Tapi dia sedari tadi meminta susu. Aku mengecek ke dapur namun ternyata susu sudah habis Ibu." Ujar Arhan sambil terus memijat Ibunya.
Ibu hanya tersenyum mendengar ucapan dari Arhan. Senyuman tersebut nyatanya palsu. Ibu sebenarnya sedih mendengar ucapan tersebut dari anaknya. Seharusnya Al tumbuh dengan makanan dan minuman apa saja yang bisa Ibu berikan. Namun, dia harus tumbuh dalam kemiskinan dan kesusahan dalam makanan.
Dan Arhan juga sekarang sudah akan daftar sekolah. Namun, terkait biaya yang membebaninya. Menjadikan dia tidak bisa mengikuti tahun ajaran di tahun ini.
"Oh iya. Arhan hari ini ulang tahun ya?" Ibu menatap Arhan.
"Iya ibu." Arhan tersenyum sambil terus memijat bahu Ibu.
"Baiklah. Arhan mau hadiah apa sayang?" Tanya Ibu.
Arhan terdiam mendengar kalimat Ibu. Dia tahu, Ibunya tidak akan sanggup membelikan hadiah kepadanya. Apalagi dia juga sekarang sudah tahu tentang ekonomi yang ada di rumahnya. Semuanya berubah semenjak kejadian empat tahun yang lalu menimpa Ayahnya. Sudah tidak ada tulang punggung keluarga.
Dan satu-satunya peninggalan dari Ayah adalah, mobil yang dia beli ketika saat itu menjadi hadiah satu tahun pernikahan Ibu dan Ayah. Ibu terpaksa menjualnya tahun lalu dengan harga yang sebenarnya pas-pasan. Dia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dan sekarang, dia juga dipecat dari pekerjaannya setelah sekitar dua tahun Ibu mencari pekerjaan, dan dua tahun juga Ibu bekerja sebagai kasir supermarket. Kini dia sekarang tidak mempunyai pekerjaan.
"Arhan tidak perlu hadiah apapun Bu. Lihat Ibu tersenyum setiap hari saja sudah buat Arhan senang." Arhan tersenyum tulus kepada Ibunya. Kemudian Ibu mencium pipi Arhan, anak pertamanya itu.
Sore hari berganti malam. Ibu terbaring di kasurnya yang sangat acak-acakan. Tidak seperti dahulu ketika masih ada sosok Suami yang mendampinginya. Kini dia benar-benar sudah kehilangan sosok yang benar-benar peduli terhadapnya. Apakah Ibu tidak mempunyai keinginan untuk menikah lagi? Ibu pernah punya pemikiran seperti itu, namun dia tidak bisa. Dia masih harus mengobati trauma yang ia dapatkan sewaktu dulu.
Malam yang indah dihiasi oleh bintang-gemintang, namun di dalam rumah tidak seindah itu. Semuanya diisi oleh kesuraman, dan trauma batin yang mendalam.
Di dalam masih tampak ada Arhan yang menggambar di tengah rumah. Namun, Al sudah tertidur pulas bersama Ibunya. Sejauh ini tidak ada keanehan yang mereka alami, seperti apa yang pernah dialami oleh Ayah dulu. Mereka hidup tenang, namun berada dalam kesusahan.
***
Keesokan harinya Ibu bangun siang sekali. Hingga matahari mulai menyoroti celah-celah jendela kamar yang membuat dia terbangun karena hal tersebut.
Padahal sebelumnya Ibu selalu bangun pagi. Itu karena Ibu masih mempunyai pekerjaan. Sekarang? Harus ke mana lagi Ibu mencari pekerjaan?
Ibu bangun dari kasur, dan melirik Al yang sudah tidak ada di sampingnya. Dia pun keluar kamar dan mendapati anak-anaknya sudah terbangun. Mereka tengah bermain bersama. Arhan juga masih sibuk dengan gambarnya. Entahlah. Sudah berapa ratus buku gambar yang ia isi dengan coretan dan warna miliknya.
"Arhan, Al. Kalian sudah bangun dari jam berapa?" Tanya Ibu.
"Kami sudah bangun sejak masih sangat pagi Ibu." Ibu pun mengangguk kepada putra-putranya. Kemudian berjalan ke dapur.
Dia meminum air putih. Dan kemudian terdiam sejenak memikirkan sesuatu. Melihat anak-anaknya sangat bersemangat itu menjadi harapannya hari ini. Dia tidak boleh begini terus, dan dia harus berusaha. Ibu kemudian bergegas untuk mandi dan berencana pergi untuk kembali mencari pekerjaan. Semoga saja keberuntungan dan do'a senantiasa menyertai Ibu.
Namun sebelum itu. Dia terlebih dahulu memasak sarapan dengan beberapa bahan makanan yang masih tersisa. Dia kemudian memasak tempe dan telur. Yang masih tersisa dan masih bisa dimasak untuk esok hari. Kemudian ia masak, dan langsung memberikannya kepada anak-anaknya.
"Sarapan dulu. Ibu akan pergi hari ini." Kata Ibu sambil terus berjalan ke arah kamar mandi membawa sehelai kain handuk.
"Ibu mau ke mana?" Tanya Arhan.
"Ibu mau bekerja sayang."
"Bukannya hari ini libur? Dan ibu bangun siang tidak seperti biasanya. Aku kira hari ini Ibu libur," ujar Arhan kebingungan.
"Tidak. Ibu hari ini kerja kebagian di waktu siang sayang. Sudah, makan saja. Sebentar lagi Ibu berangkat dan akan mandi dulu."
"Tidak seperti biasanya Ibu berangkat siang. Apakah ini adalah jadwal baru?" Tanya Arhan.
"Iya sayang. Sudah, dimakan sama Al."
Bohong. Semua hal harus terpaksa Ibu tutupi dari anak-anaknya. Ia harus kuat. Semuanya Ibu harus tutupi dengan hal palsu. Entahlah. Harus ke mana lagi harapan ini muncul di tengah badai kemiskinan yang mereka alami. Ibu kini juga harus kembali berusaha. Melihat cahaya harapan dari kedua anaknya tersebut. Itu menjadi bahan bakar semangat Ibu setiap harinya yang membuat Ibu bertahan selama empat tahun ini setelah kejadian mengenaskan tersebut.
Namun, di hari ini. Kejadian aneh itu terjadi lagi. Ketika Ibu akan pergi. Dan semua kebodohan sang Kakak dan kelalaiannya mengantarkannya kepada hal yang benar-benar tidak dia inginkan.
-Bersambung-