perkenalan karakter

Darren Velasco mencintai malam seperti ia mencintai tubuh manusia—dengan gairah, tapi tanpa janji.

Musim panas seperti ini adalah panggung yang sempurna. Lampu-lampu bar menyala hangat di sepanjang pantai, musik berdentum dari kafe pinggir jalan, dan aroma laut bercampur dengan parfum mahal dan peluh hasrat. Di tempat ini, Darren bukan sekadar pelatih selancar. Ia adalah legenda. Senyumannya bisa meluluhkan siapa pun, entah pria dengan tatapan dalam penuh rasa ingin tahu, atau wanita dengan gaun tipis dan mata yang mencari tantangan.

Malam itu, ia datang dengan kemeja terbuka dan kulit yang mencium matahari. Di satu sisi lehernya, bekas ciuman samar masih terlihat. Di sisi lain, nomor telepon seseorang yang baru ia temui di klub dua malam lalu masih tersimpan di ponselnya—belum dibaca.

Ia menari dengan seorang pria tinggi bertato di satu bar, mencium seorang wanita berambut merah di bar berikutnya, lalu tertawa sambil berbaring di pasir bersama dua orang yang namanya tak ia tahu—semuanya terasa mudah, seperti gelombang yang datang dan pergi tanpa pernah menuntut untuk ditinggali.

Tapi ketika malam menjadi sunyi, dan tubuh-tubuh yang tadi memeluknya mulai tertidur, Darren duduk sendirian menghadap laut. Rokok menyala di jarinya, tapi matanya kosong.

Ia ingat Jules. Pria itu dulu berbeda—tidak mudah. Tidak takluk pada pesona Darren seperti yang lain. Ia mencintai dengan luka, dan Darren terlalu takut menyentuhnya lebih dalam.

Ia juga ingat Luna, yang pernah menolak tidur dengannya karena mengatakan, "Kamu terlalu kosong, Darren. Aku tidak mau bercinta dengan kehampaan."

Darren tertawa kecil saat mengingat kalimat itu, tapi tawa itu pahit. Ia mendongak ke langit. Petir menyambar dari kejauhan. Ia pikir itu hanya badai biasa.

Ia belum tahu, malam ini adalah malam terakhirnya sebagai Darren yang lama.

Kilas Balik: Jules dan Luna

…dan dalam hembusan angin asin malam itu, wajah-wajah dari masa lalu menyelinap ke pikirannya.

Jules.

Tawa lelaki itu masih terpatri di telinganya—hangat, lembut, dan penuh ironi. Jules bukan tipe pria yang mudah jatuh cinta, tapi saat mereka bertemu di pemotretan kampanye pakaian selancar tiga tahun lalu, ada sesuatu yang klik. Bukan tubuh, bukan seks—tapi mata. Jules memotret Darren seakan-akan ia sedang melukis jiwanya. Dan Darren, untuk pertama kalinya, merasa dilihat—bukan hanya diinginkan.

Hubungan mereka tidak pernah diberi nama. Mereka tidur bersama, ya. Tapi lebih dari itu, mereka berbagi diam, cerita masa kecil, luka-luka yang tak pernah bisa Darren ceritakan pada siapa pun. Jules pernah berkata:

> “Kamu menarik banyak orang, Darren. Tapi kamu tak pernah membiarkan satu pun tinggal.”

Dan benar saja—Darren lari. Tak siap. Takut pada kedekatan yang bisa menyakitkan.

Luna.

Berbeda dengan Jules yang tenang dan hangat, Luna hadir seperti badai. Ia seorang dokter laut, keras kepala dan logis. Mereka bertemu saat Darren melukai kaki karena pecahan karang, dan Luna-lah yang menjahitnya—tanpa banyak basa-basi, tanpa senyum manis.

Tapi justru karena itu, Darren tertarik. Ia menggoda, seperti biasa, menawarkan minum, mengajaknya ke bar, bahkan mencium tangannya—dan Luna menatap matanya, datar, lalu berkata:

> “Kamu tidak mencium karena kamu ingin mencinta. Kamu mencium karena kamu ingin lari dari dirimu sendiri.”

Itu pertama kalinya Darren merasa ditelanjangi tanpa disentuh. Ia tidak bisa menaklukkan Luna, dan itu membuatnya kembali—lagi dan lagi. Tapi Luna tidak pernah menyerah pada pesonanya.

---

Kembali ke masa kini…

Sekarang, duduk di pasir yang dingin, Darren menyadari: bukan tubuh-tubuh yang ia rindukan. Tapi dua pasang mata—satu yang menatapnya dengan cinta, satu lagi dengan kebenaran.

Lalu petir menyambar langit di kejauhan. Kali ini, lebih dekat.

KILAS BALIK 1 — Darren & Jules (Kamar Gelap & Pelukan Sepi)

Langit sore temaram saat Jules menarik tirai studio foto dan menyalakan lampu kuning hangat. Darren berdiri di tengah ruangan, tubuhnya telanjang dada, hanya mengenakan celana pendek. Cahaya jatuh pelan di garis rahangnya, dan Jules mengangkat kameranya, tanpa bicara.

Klik.

Klik.

Klik.

Tiga kali jepretan, dan kemudian senyap. Jules meletakkan kameranya perlahan.

> "Kenapa kamu selalu menyembunyikan bagian terbaik dari dirimu?"

Darren menoleh, alis terangkat. "Apa maksudmu?"

"Aku bisa lihat. Kamu menggoda semua orang, tapi kamu menolak disentuh sungguhan."

Darren tertawa pendek. "Mungkin aku cuma takut disentuh terlalu dalam."

Jules mendekat, jaraknya tinggal satu tarikan napas. Tangannya menyentuh pipi Darren dengan hati-hati, seolah ia memegang sesuatu yang bisa retak kapan saja.

> "Aku nggak mau menyelamatkan kamu. Aku cuma mau kamu tahu: kamu boleh lemah di depanku."

Darren menatap matanya lama. Lalu untuk pertama kalinya, ia menangis dalam pelukan seorang pria.

---

KILAS BALIK 2 — Darren & Luna (Di Bawah Lampu Klinik)

Lampu neon klinik pinggir pantai berpendar dingin. Darren duduk di ranjang periksa dengan luka menganga di pahanya, darah masih mengalir. Luna, tenang dan fokus, menjahitnya dengan cekatan.

> “Kamu biasa lakukan ini ke semua pasien?” Darren bertanya sambil menggertakkan gigi.

“Bersihkan luka mereka? Iya. Tapi tidak semua pasien suka flirting sambil berdarah.”

Darren tertawa. “Harusnya kamu coba… bisa bikin hidup lebih menyenangkan.”

“Atau lebih kosong.”

Ucapan itu menghantam lebih keras dari jarum yang menusuk kulitnya.

Luna menatap matanya—dingin, tapi jujur. Tak ada hasrat di sana. Hanya kepekaan seorang wanita yang pernah melihat terlalu banyak jiwa hancur.

> “Kamu bukan jelek, Darren. Kamu menarik. Tapi kamu bukan lelaki yang siap dicintai. Kamu bahkan belum bisa mencintai dirimu sendiri.”

Hening.

> “Lalu kenapa kamu tetap bantu aku?”

“Karena kamu masih hidup. Dan selama masih hidup, kamu masih bisa berubah.”

Setelah malam itu, Darren terus mencari Luna. Tapi Luna selalu menjaga jarak, hanya hadir ketika Darren butuh pertolongan. Tidak lebih.

---

Kedua kenangan itu membekas dalam diri Darren. Dua orang yang tak bisa ia miliki, karena mereka melihatnya terlalu jelas.

Sekarang, menjelang malam ketika petir akan menyambar dan mengubah dirinya selamanya, Darren menatap langit dan berbisik dalam hati:

> “Maaf… karena aku terlalu takut mencintai kalian.”

Langit malam menggantung di atas pantai seperti selimut basah, berat dan panas. Ombak menggulung malas di kejauhan, seolah mereka pun kelelahan menyaksikan manusia mengulang kesalahan yang sama setiap malam.

Darren berdiri di tepi air, angin laut mengibarkan rambutnya yang belum sempat ia sisir sejak sore. Tubuhnya—tinggi, berotot, digandrungi puluhan ribu pengikut di media sosial—bercahaya redup dalam lampu dari bar di pinggir pantai. Dada telanjangnya mengilap, bukan karena minyak seperti saat pemotretan, tapi karena keringat asli. Kehidupan asli.

Di belakangnya, musik berdentum dari pesta yang ia tinggalkan lima menit lalu. Pria dan wanita tertawa dalam alkohol dan ilusi. Beberapa dari mereka pernah ada di ranjangnya. Beberapa bahkan malam ini mencoba mendekat lagi. Tapi Darren merasa hampa. Bukan karena tubuh-tubuh itu tidak menarik. Tapi karena sentuhannya kini tidak lagi menenangkan.

Ia mendongak ke langit. Langit mendung. Ada kilat samar jauh di cakrawala, belum cukup dekat untuk membangkitkan rasa takut—tapi cukup untuk membuatnya diam.

Ia tertawa kecil, miris. “Lucu ya… Di antara semua orang di dunia, aku malah takut pada keheningan.”

Langkah kaki datang dari belakang.

Seorang pria muda, shirtless, tubuh ramping, mata penuh keinginan. “Masih ada ruang di kamarku, Darren,” katanya.

Darren menatapnya. Biasanya, satu senyum sudah cukup. Tapi malam ini, senyum itu tidak muncul.

“Aku capek,” katanya.

Pria itu bingung, tapi tak memaksa. Ia mundur, kembali ke sorotan lampu dan tubuh-tubuh yang menari.

Darren duduk di pasir, membiarkan butiran-butiran kasar menempel di kulitnya. Kepalanya tertunduk, dan seperti air pasang yang tak bisa ditahan, wajah-wajah masa lalu mulai bermunculan di benaknya.

Jules.

Matanya seperti jendela malam. Tenang. Dalam. Tapi di baliknya, selalu ada api kecil yang menunggu untuk dipercikkan. Jules tidak hanya melihat tubuh Darren—dia melihat dirinya. Melihat bagian yang bahkan Darren sendiri coba kubur.

Dan saat Jules memeluknya malam itu, setelah mereka bercinta tanpa kata, Darren merasa seperti anak kecil yang akhirnya diizinkan menangis.

Luna.

Kata-katanya seperti belati. Bukan untuk melukai, tapi membedah lapisan kepalsuan. “Kamu mencium bukan untuk mencintai. Tapi untuk melarikan diri.”

Luna membuatnya marah. Tapi justru karena itu, ia kembali. Lagi dan lagi. Sampai akhirnya ia tahu: Luna tidak ingin memilikinya—dia ingin Darren menemukan dirinya sendiri.

Petir menyambar di kejauhan. Kali ini lebih dekat.

Darren berdiri. Di kejauhan, seorang anak kecil berlari ke arah laut, dikejar ombak besar. Teriakan samar terdengar dari seorang ibu yang terlalu jauh untuk menyusul.

Tanpa pikir panjang, Darren berlari.

Kakinya menghantam air. Dingin. Tajam. Tubuhnya masuk ke laut seperti peluru. Ombak menelan mereka berdua. Gelap. Basah. Sunyi. Ia meraih tangan kecil itu dan menariknya ke permukaan.

Dan saat mereka nyaris sampai ke tepi, petir menyambar air laut tepat di belakang mereka.

Cahaya membakar retina. Tubuh Darren terangkat sesaat, lalu jatuh kembali ke laut.

---

Gelap.

---

Darren membuka mata di pasir, basah kuyup, napas berat, dan... sesuatu terasa berbeda.

Jantungnya berdetak pelan tapi kuat. Dunia di sekitarnya lebih sunyi, lebih lambat, seolah waktu memeluknya lebih erat dari sebelumnya.

Ia menatap tangannya. Jemarinya bergetar. Tidak karena takut. Tapi karena untuk pertama kalinya...

Ia merasa hidup.

---

🧬 Template Karakter: Jules & Luna

---

🖤 Jules Delacroix

Usia: 32

Profesi: Fotografer seni, seniman analog.

Penampilan:

Rambut ikal gelap sebahu, sering diikat longgar.

Mata abu-abu gelap, tajam tapi lembut.

Kulit sawo matang, penuh bintik-bintik halus karena sering di bawah matahari.

Kepribadian:

Tenang, introspektif, sangat peka secara emosional.

Mengamati lebih banyak daripada bicara.

Tidak mudah jatuh cinta, tapi jika ia mencintai, dalam dan penuh.

Punya trauma masa lalu dengan ayahnya yang keras.

Hubungan dengan Darren:

Darren adalah “subjek” yang ia foto, tapi berkembang menjadi seseorang yang ia coba pahami dan lindungi.

Jules ingin menyentuh jiwa Darren, bukan tubuhnya saja.

Mewakili cinta emosional, kehangatan, dan rasa aman.

---

🌙 Luna Salim

Usia: 30

Profesi: Dokter kelautan, relawan penyelamat pantai.

Penampilan:

Rambut pendek asimetris, warna hitam kebiruan.

Mata hitam tajam, menatap seperti membaca.

Tubuh ramping, berotot karena aktivitas fisik. Bekas luka lama di lengan kiri.

Kepribadian:

Keras kepala, jujur tanpa filter, intelektual.

Tidak tertarik pada basa-basi sosial.

Emosinya dalam, tapi sangat terkontrol.

Memiliki masa lalu kelam—pernah kehilangan adik karena kelalaian dirinya.

Hubungan dengan Darren:

Awalnya melihat Darren sebagai ancaman dan distraksi.

Tapi lambat laun ia menyadari: Darren punya luka yang mirip dengan dirinya.

Luna mewakili cermin, logika, dan keberanian untuk berubah.