bab.2

šŸ’Œ Surat Tidak Terkirim dari Jules untuk Darren

Dear Darren,

Aku sudah menulis ulang surat ini lima kali dan membuang semuanya ke tong sampah.

Kau tahu aku bukan orang yang suka kata-kata manis, tapi ini satu-satunya cara aku bisa berbicara padamu tanpa harus menunggu jawaban yang tak akan pernah datang.

Aku ingin bilang—aku tidak membencimu.

Bahkan ketika kau pergi diam-diam, bahkan ketika aku tahu kau tidur dengan orang lain, aku... tetap tidak bisa membencimu. Karena sebagian dari diriku masih percaya bahwa itu caramu bertahan hidup.

Kau menyentuh dunia dengan tangan yang gemetar, dan saat aku mencium keningmu malam itu, aku tahu... kau hanya ingin dipercaya.

Dipercaya, walau kau sendiri tidak percaya dirimu layak dicintai.

Aku menyayangi bagianmu yang takut, juga yang liar.

Tapi cinta yang tidak bisa kau terima hanya akan menjadi beban, bukan pelukan.

Dan aku terlalu mencintaimu untuk terus menahanmu di dalam dunia yang tidak kau inginkan.

Jadi aku lepaskan.

Bukan karena aku tidak peduli, tapi karena aku sadar: mencintaimu berarti mengikhlaskanmu menjauh.

Tapi jika suatu saat kau kembali—bukan dengan tubuh yang lelah, tapi dengan hati yang terbuka—aku akan ada di sini.

Dan jika tidak,

setidaknya kamu tahu:

ada seseorang di dunia ini yang pernah melihatmu tanpa topeng dan masih memilih untuk tinggal.

Selalu,

Jules

---

šŸŒ™ Kilas Balik Luna

Luna pertama kali bertemu Darren di perpustakaan kota, tempat yang sepi dan dingin, tak cocok untuk seseorang sehangat dirinya. Tapi di sinilah ia melarikan diri—dari orang tuanya, dari ekspektasi dunia, dari dirinya sendiri.

Darren masuk dengan hoodie kelabu, headphone tergantung di leher, dan tatapan kosong. Ia tampak seperti seseorang yang tersesat, tapi menolak untuk ditemukan.

ā€œMaaf, kursi ini kosong?ā€ tanya Luna.

ā€œSekosong aku,ā€ jawab Darren pelan.

Dan Luna tertawa, bukan karena lucu—tapi karena untuk pertama kalinya, seseorang menjawab seperti itu tanpa pura-pura kuat.

---

Mereka duduk bersama hampir setiap hari setelah itu. Tidak selalu bicara. Terkadang hanya saling berbagi musik. Luna membaca puisi, Darren menggambar di buku sketsanya. Mereka tidak pernah membahas masa lalu. Hanya berbagi sekarang.

ā€œSakitnya di mana?ā€ tanya Luna suatu malam, ketika Darren menatap langit-langit terlalu lama.

ā€œDi bagian yang bahkan aku tidak tahu bagaimana menyentuhnya,ā€ jawab Darren.

Dan Luna, tanpa paksaan, hanya menggenggam tangannya.

---

Di balkon apartemen Luna, mereka duduk berdua. Udara musim gugur mulai dingin. Darren gemetar.

ā€œAku nggak normal,ā€ katanya. ā€œKadang aku suka perempuan. Kadang pria. Kadang... aku benci diriku.ā€

Luna hanya mendekat. ā€œAku nggak butuh kamu normal. Aku cuma butuh kamu jujur.ā€

Darren menatapnya sejenak.

Lalu menciumnya—dengan ragu, dengan rasa takut, tapi juga harapan.

Luna membalas, bukan untuk menyelamatkannya, tapi untuk berkata: ā€œAku tidak akan kabur.ā€

---

Namun, seperti matahari musim dingin, kehangatan itu tidak bertahan lama.

Darren mulai menghilang. Luna melihat luka-luka di lengannya yang tak ia ceritakan. Ia mulai minum lebih banyak, datang dengan aroma yang bukan miliknya.

ā€œApa aku nggak cukup?ā€ tanya Luna suatu malam.

ā€œBukan itu,ā€ kata Darren pelan. ā€œKamu terlalu cukup. Dan aku... terlalu rusak untuk menahan itu.ā€

---

Luna menunggu di perpustakaan, seperti biasa. Tapi Darren tak datang.

Ia meninggalkan sebuah buku di meja tempat biasa mereka duduk—dengan selembar sketsa. Wajah Luna, tidur. Damai.

Di bawahnya, tertulis:

> ā€œUntuk satu-satunya cahaya yang tak pernah menghakimi kegelapan di mataku.ā€

šŸŒ™ Kilas Balik Luna: ā€œKamu Seperti Hujan yang Datang Tanpa Peringatanā€

Perpustakaan kota di sudut timur adalah tempat pelarian bagi jiwa-jiwa sepi. Bukan tempat ramai, bukan juga tempat yang mengharuskan siapa pun menjelaskan alasannya datang.

Luna datang ke sana untuk bersembunyi. Dari ibunya yang terlalu ambisius, dari ayah tiri yang terlalu diam, dan dari dirinya sendiri—gadis cantik yang tumbuh dengan luka-luka tak terlihat.

Hari itu ia duduk di pojok ruang puisi. Ada seseorang di sana lebih dulu. Seorang pria dengan jaket lusuh, hoodie kelabu, mata dalam tapi kosong. Dia menggambar sesuatu di buku lusuh. Matanya tidak melihat dunia, tapi matanya... melihat ke dalam.

ā€œMaaf,ā€ kata Luna pelan. ā€œBoleh duduk di sini?ā€

Pria itu menoleh. Sekilas. Tak senyum. Tak mengangguk. Tapi ia geser bukunya, memberinya ruang.

Itu Darren.

Dan itu awal dari segalanya.

---

Hari demi hari, mereka bertemu tanpa perjanjian. Tak pernah tanya nomor ponsel, tak pernah bicara lebih dari sepuluh kalimat. Tapi Luna mulai duduk lebih dekat. Darren mulai menggambar Luna dari sudut mata.

Mereka mulai berbagi buku. Puisi. Musik dari earphone yang dibagi dua.

Luna menemukan kenyamanan di dalam diam Darren. Bukan diam yang kosong, tapi diam yang dipenuhi suara-suara rahasia yang tak berani diucapkan.

Suatu sore, Luna bertanya, ā€œKamu percaya cinta bisa sembuhin orang?ā€

Darren menjawab setelah lama terdiam, ā€œMungkin cinta bisa lihat luka-lukanya. Tapi menyembuhkan? Entahlah... kadang cinta justru bikin luka baru.ā€

Luna tidak tahu mengapa ia menangis malam itu.

---

Di balkon apartemen kecil Luna, udara dingin menusuk tulang. Tapi mereka tetap duduk di lantai, bersandar di dinding.

ā€œAku biseksual,ā€ Darren mengaku tiba-tiba. ā€œAku sudah coba menyangkalnya. Tapi makin aku tolak, makin aku benci diri sendiri.ā€

Luna tidak bereaksi dengan syok. Ia hanya meraih tangan Darren. Menggenggamnya perlahan.

ā€œKamu nggak harus sempurna untuk aku sayangi,ā€ katanya.

Dan Darren, dengan ketakutan seperti anak kecil yang baru belajar melangkah, mencium Luna. Ringan. Penuh ragu. Tapi nyata.

Dan untuk sesaat, mereka berdua percaya bahwa mereka bisa sembuh.

---

Darren mulai berubah. Tiba-tiba hilang dua-tiga hari. Datang dengan mata merah, tubuh gemetar.

Luna tak pernah marah. Hanya duduk menunggu, menyediakan tempat di meja perpustakaan seperti biasa. Tapi matanya menyimpan tanya yang tak berani ia lontarkan.

Sampai akhirnya, ia bertanya: ā€œKamu tidur dengan orang lain?ā€

Darren terdiam. Terlalu lama.

Diam itu menjawab lebih dari cukup.

ā€œAku nggak cukup ya?ā€ Luna suaranya retak.

ā€œBukan itu,ā€ Darren berbisik. ā€œKamu terlalu cukup. Aku nggak tahu cara punya kamu tanpa menghancurkan kamu.ā€

Luna menangis. Tapi tak berkata apa-apa. Karena bagaimana bisa seseorang menyelamatkan orang yang selalu memilih tenggelam?

---

Darren menghilang selama seminggu. Luna tetap datang ke perpustakaan. Tetap menaruh bukunya di meja biasa.

Malam itu, ia menemukannya.

Sebuah buku sketsa tua. Milik Darren. Di dalamnya ada gambar dirinya sedang tertawa—gambar paling hidup yang pernah ia lihat.

Di balik halaman terakhir, Darren menulis:

> ā€œKamu cahaya. Aku bayangan.

Bayangan nggak bisa tinggal di tempat yang terlalu terang.

Tapi terima kasih sudah memeluk aku walau sebentar.ā€

Luna membaca tulisan itu di antara isakan. Ia memeluk buku itu seperti memeluk Darren untuk terakhir kali.

Dan malam itu, dia tahu: cinta tidak selalu datang untuk tinggal. Kadang cinta hanya datang... untuk mengajarkan kehilangan.

---

Luna masih datang ke perpustakaan, sesekali. Duduk di tempat yang sama. Memandang ke pintu. Bertanya diam-diam:

ā€œApa dia masih hidup? Apa dia bahagia? Apa dia pernah menyesal?ā€

Dia tak tahu jawabannya.

Tapi dia tahu satu hal:

Darren pernah mencintainya. Mungkin tidak lama, mungkin tidak cukup.

Tapi sungguh.

ā€œBayangan yang Hilangā€

— Luna

Darren,

Kau adalah api yang kubiarkan menyentuhku,

tanpa menyadari api itu akan menghanguskan hatiku.

Kau datang tanpa peringatan,

seperti hujan yang jatuh begitu derasnya,

dan aku...

hanya ingin berteduh.

Kau berkata,

cinta tidak bisa menyembuhkan luka.

Tapi aku percaya,

bahwa cinta bisa menunjukkan luka itu,

dan saat kau pergi,

aku tahu luka itu kini adalah milikku sendiri.

Kau adalah bayangan di tengah matahari,

terlalu gelap untuk didekati,

terlalu terang untuk aku tetap berada di sana.

Aku menyentuhmu hanya untuk merasa,

tapi tak pernah bisa memiliki.

Aku mencintaimu dalam diam,

dalam setiap ruang yang kau tinggalkan di antara kita.

Aku mencintaimu dalam kata-kata yang tak pernah diucapkan,

dan mungkin itu adalah bentuk terakhir dari cinta kita.

Kau akan selalu menjadi bagian dari kenangan yang tidak pernah selesai.

Bayangan yang selalu hadir,

tapi tak pernah benar-benar ada.

(Luna berdiri sendiri di balkon apartemennya. Angin malam menyapu rambutnya. Di tangannya, sketsa terakhir dari Darren. Ia bicara pelan, seperti menyapa seseorang yang tidak lagi ada.)

> "Aku tidak marah padamu, Darren.

Aku pernah, dulu. Ketika kau memilih menghilang, tanpa kata, tanpa alasan yang layak. Ketika aku harus bertanya ke diriku sendiri ratusan kali, Apa aku nggak cukup?

Tapi sekarang... aku tahu jawabannya.

Aku cukup.

Hanya saja, kau belum sanggup melihat seseorang yang tidak mencoba memperbaiki kerusakanmu, karena dia menerimamu sebagaimana adanya.

Kau mencintaiku, aku tahu itu. Tapi kau juga mencintai kepergian.

Dan aku bukan pelabuhan yang bisa menerima kapal yang selalu ingin karam.

Aku belajar mencintaimu tanpa berharap dibalas.

Dan itu... mungkin hal paling menyakitkan sekaligus paling tulus yang pernah kulakukan.

Kalau suatu hari kau kembali, bukan karena luka, tapi karena cinta...

aku mungkin masih di sini.

Tapi bukan sebagai tempat pelarianmu.

Melainkan seseorang yang pernah mencintaimu tanpa syarat.

Dan mungkin itu sudah cukup."

---

šŸ“œ Puisi dari Jules Tentang Perasaan Setelah Perpisahan

ā€œSisa Dirimu di Dalam Akuā€

— Jules

Ada tempat di hatiku

yang tak pernah kutata ulang sejak kepergianmu.

Masih berantakan,

masih terisi suara langkahmu,

masih bau tembakau murahan dari hoodie abu-abumu.

Aku mencintaimu,

seperti orang buta mencintai cahaya—

tidak pernah benar-benar melihat,

tapi tetap yakin itu ada.

Kau bilang aku terlalu lembut.

Tapi sesungguhnya,

kau hanya belum terbiasa disentuh

tanpa diminta telanjang.

Kau tinggal di dalam lukaku,

bukan sebagai musuh,

tapi sebagai pengingat bahwa aku pernah memilih seseorang

yang bahkan tidak bisa memilih dirinya sendiri.

Dan jika ada hari

kau datang membawa versi dirimu yang tak lagi takut,

aku tidak akan bertanya ke mana kau pergi.

Aku hanya akan berkata:

ā€œAku masih menyimpan tempat duduk itu di sebelahku.ā€

šŸ’” Surat Tak Terkirim dari Darren

Luna,

Aku menulis ini di malam ketika tidak ada suara selain detak jam dan kecemasan di dadaku.

Aku tidak tahu apakah aku pantas menulis namamu lagi, setelah semua yang kulakukan. Tapi tetap saja, tangan ini bergerak… seperti tubuhku tahu, hanya kamu yang pernah benar-benar membuatku merasa tidak harus berpura-pura.

Aku ingat sore di perpustakaan itu.

Kau datang dengan buku di tangan, tanya boleh duduk, dan aku bahkan tidak menjawab. Tapi kau tetap duduk.

Kau tidak butuh undangan untuk hadir.

Kau hanya hadir—dan itu cukup membuatku takut.

Karena kau tidak pernah melihatku seperti barang rusak.

Kau melihat aku seperti sesuatu yang pantas dicintai.

Dan itulah yang menakutkan.

Aku lari, Luna.

Bukan karena kau kurang.

Tapi karena kau terlalu banyak—terlalu hangat untuk seseorang sebeku aku.

Aku tidur dengan orang lain bukan karena aku tidak ingin kamu.

Tapi karena aku tidak tahu bagaimana rasanya benar-benar dimiliki tanpa merasa dikurung.

Aku terbiasa mencintai dalam kepingan—satu malam, satu jam, satu pelukan—dan kau ingin memberiku rumah.

Aku... tidak tahu cara tinggal.

Kalau aku bisa memutar waktu,

aku ingin belajar bertahan.

Belajar duduk di sebelahmu lebih lama,

tanpa lari saat kau bicara tentang hal-hal kecil seperti langit yang berubah warna, atau puisi-puisi yang kau temukan di rak ketiga.

Tapi aku tidak bisa.

Jadi ini hanya surat.

Tak bernama, tak dikirim,

hanya cara terakhirku untuk mengucapkan kata yang tak pernah sempat keluar:

Maaf.

Dan,

Aku mencintaimu.

—Darren

(Hening malam. Di sebuah kamar sewaan kecil. Lampu temaram menyala kuning. Tangan Darren menggenggam pena, kertas kosong di hadapannya. Ia menatapnya seperti medan perang. Dalam kepalanya—monolog batin pecah perlahan-lahan.)

> ā€œKamu tidak pantas mendapatkan luka ini, Luna. Tapi kamu mendapatkannya—dari aku. Dari seseorang yang bahkan tidak bisa menjaga dirinya sendiri, apalagi menjaga orang sebaik kamu.ā€

ā€œApa aku menulis ini untukmu? Atau untuk diriku sendiri, biar bisa tidur malam ini tanpa merasa tenggelam? Mungkin keduanya. Atau mungkin karena... suara kamu masih ada di kepalaku.ā€

ā€œAku ingat kamu menyentuh tanganku waktu aku gemetar. Kamu tidak tanya kenapa. Kamu hanya diam dan tetap di situ. Itu satu-satunya saat aku merasa aku nggak harus menjelaskan semuanya. Kamu tidak menghakimi. Kamu hanya... tinggal.ā€

ā€œDan aku malah pergi. Aku memilih kabur, karena... Tuhan, aku takut kamu akan tetap cinta sama aku bahkan saat kamu tahu betapa rusaknya aku.ā€

ā€œAku tulis ini bukan untuk mengharap kamu kembali. Aku tahu aku bukan rumah buatmu. Tapi kamu adalah satu-satunya rumah yang pernah aku rasakan.ā€

(Darren menghela napas. Menulis kalimat terakhir. Kemudian melipat surat itu pelan. Tapi tidak dikirimkan.)

---

šŸ’Œ Surat Tak Terkirim dari Darren untuk Jules

Jules,

Aku tidak tahu dari mana harus mulai. Bahkan menuliskan namamu membuat tenggorokanku tercekat.

Kamu adalah satu-satunya orang yang pernah menyentuh aku sampai ke bagian tergelap yang bahkan aku tak pernah tahu ada. Dan mungkin karena itu aku takut padamu. Karena kamu melihat aku—bukan topengku, bukan pembelaanku, tapi aku yang sebenar-benarnya aku.

Aku mencintaimu.

Aku tahu itu. Sekarang aku tahu. Dulu aku hanya takut mengakuinya, karena cinta dari laki-laki lain berarti aku harus mengakui sisi diriku yang aku benci selama bertahun-tahun.

Tapi kamu tidak pernah menyuruh aku jadi seseorang yang sempurna. Kamu hanya ingin aku jujur.

Dan aku... gagal bahkan untuk itu.

Aku tidur dengan orang lain karena aku ingin menghancurkan sesuatu sebelum sesuatu itu terlalu berharga.

Karena kalau aku yang hancur duluan, setidaknya aku tidak perlu ditinggalkan.

Kamu pantas bahagia, Jules.

Pantas seseorang yang tidak mencintaimu setengah-setengah.

Pantas seseorang yang tidak kabur setiap kali kamu mendekat.

Tapi kalau aku boleh jujur satu kali saja:

Aku mencintaimu, dan aku belum pernah berhenti.

Maaf. Dan terima kasih… karena pernah mencintaiku bahkan ketika aku tidak bisa mencintai diriku sendiri.

—Darren

---

Galeri seni tempat Jules pameran lukisannya. Malam, lampu remang, denting musik klasik di latar.

Darren datang tanpa undangan. Luna sudah ada di sana lebih dulu, berdiri memandangi lukisan abstrak yang sangat mirip ekspresi Darren yang dulu. Jules muncul dari balik ruangan pamer.

---

Darren (menatap Jules dan Luna)

ā€œAku tahu aku nggak pantas ada di sini. Tapi aku harus... lihat kalian. Harus dengar langsung dari mulut kalian—kalau kalian benci aku. Supaya aku bisa berhenti membenci diri sendiri.ā€

Luna (nada suaranya tenang, tapi matanya berkaca-kaca)

ā€œKau pikir mendengar kami benci kau akan membuatmu lebih baik, Darren?

Itu bukan penebusan, itu hanya bentuk lain dari pelarian.ā€

Jules (dingin, tapi gemetar di ujung suara)

ā€œKau selalu menunggu orang lain menghukummu, ya? Karena itu lebih mudah daripada memaafkan dirimu sendiri.ā€

(Hening. Darren menunduk.)

Darren (lemah)

ā€œKalian benar... Aku cuma ingin merasa cukup buruk untuk layak dihukum. Karena aku nggak tahu cara memperbaiki semuanya.ā€

Luna (perlahan, seperti luka lama dibuka lagi)

ā€œKau tidak bisa memperbaikinya, Darren. Tapi... mungkin kau bisa mulai dengan tidak lari lagi.ā€

Jules (bernapas dalam, menatap mata Darren untuk pertama kalinya)

ā€œKami tidak butuh penjelasanmu, Darren. Kami hanya ingin tahu—

Sekarang, di hadapan kami...

Apa kau akan memilih tinggal, atau pergi lagi?ā€

(Darren menatap mereka berdua. Tak ada kata. Tapi untuk pertama kalinya, ia tidak kabur.)