Cahaya bulan yang samar menghiasi gelapnya malam.
Rona merah membasahi hamparan bunga yang indah.
Nyanyian yang biasanya terdengar, terasa sedikit berbeda di malam itu.
Di tengah-tengah taman bunga, terlihat seseorang sedang berdiri.
Ia mengenakan gaun hitam yang nampak indah.
Aura yang anggun masih terpancar dari dirinya.
Meski telah kehilangan sebagian pesonanya oleh noda merah, gaun tersebut sama sekali tidak mempengaruhi kecantikan sang Gadis.
—Suara berisik terdengar seperti lantunan melodi.
Genangan merah membasahi tanah dimana sang Gadis berpijak.
Paduan jeritan dan kutukan terdengar bagaikan simfoni.
"Ah... Lantunan yang indah."
Ucap gadis itu dengan senyum tipis menghiasi wajahnya.
Ia bergerak seolah sedang menari, seakan-akan menjadi padu dalam harmoni.
"Na-na~ laa~ la~ bunga yang indah perlahan kehilangan rona nya, nana, na~ naa~ di malam yang semu ia menyadari... Lala~ bahkan bunga yang terlihat indah, bisa saja menyakiti sekitarnya."
Seketika angin berhembus pelan seolah-olah sedang menyelimutinya, dan para bunga juga ikut mendampinginya.
—Swosh... —hush...
Suara angin dan biola saling melengkapi, dan sang Gadis memainkan "JS. Bach - Fugue in A Minor" sebagai pembuka panggungnya.
Tak lama para pendamping mulai memasuki panggung.
Bunga-bunga yang kotor.
Sedang menari-nari dalam ketakutan.
Gerakan elegan ciri khas tarian para bangsawan, mengiringi irama tersebut.
Perlahan—para Vocalis juga mengisi jeritan mereka dalam tarian sang Gadis.
Meski suara-suara mereka cukup berisik. Namun, Gadis itu terus menari tanpa terganggu oleh suara vocalis.
Tak lama kemudian—
"Hm..." tiba-tiba sang Gadis sedikit terganggu oleh sesuatu.
Suara yang sangat akrab di telinganya.
Ia pun melihat sekitar dan mencari darimana suara itu berasal.
Dan akhirnya dia menemukan sumber suara itu.
Ia melihatnya... Melihat sesuatu yang selalu berada di hatinya.
—Sesuatu yang sangat berharga.
Tanpa pikir panjang ia pun melangkah mendekati sumber suara. Dan—
"Ah... Akhirnya ketemu, ksatria berkudaku." Ucap gadis itu dengan nada seolah sedang dilanda kebahagiaan.
"Ma-ma..." Suara kecil terbata-bata keluar dari mulutnya.
Gadis itu diam sejenak, lalu membalasnya:
"Hmm... Kamu bilang apa wahai pangeranku?"
"Ma... Ma-maafkan..."
"Ma-maafkan? Maafkan siapa?"
"Ma... Am-ampuni aku"
Sang Gadis merasa heran kenapa pria itu malah meminta ampunan kepada-nya.
Ia berpikir sejenak dan berusaha mencerna perkataan pria di depannya.
"Kenapa dia meminta ampunan? Bukankah ini adalah kasih sayang yang selalu dia berikan..."
"Ah... Aku mengerti. Pasti kasih sayang yang ku berikan, belum cukup baginya."
"Ya-ya— pasti itu masalahnya."
Tiba-tiba Gadis itu tersenyum tipis dan mendekatkan wajahnya ke depan pria tersebut.
Kemudian, ia mengusap pipi pria itu dengan lembut menggunakan jarinya—seperti membersihkan sesuatu.
Namun, pria tersebut merasa ketakutan oleh tangan yang menyentuhnya.
Seolah tangan tersebut memberikan trauma yang mendalam.
Pria itu sedang berada di tengah-tengah taman bunga.
Penampilannya yang indah dan menawan masih membekas di hati sang Gadis.
Bahkan saat ini, penampilannya masih memancarkan keindahan—setidaknya, itulah yang terlihat di mata sang Gadis.
Setelah memberikan kasih sayangnya, gadis itu berbalik dan perlahan mundur darinya—
—Lagi
Lantunan yang awalnya harmoni seketika berubah.
Bunga-bunga putih mulai kehilangan warnanya.
Rona merah pada bunga mulai menampakkan wujudnya.
Perlahan namun pasti.
Warna putih mulai kehilangan jati dirinya.
Bunga yang awalnya putih kini berubah menjadi merah seutuhnya.
Bagaikan bunga kematian.
Bunga tersebut menari dalam Rhapsody.
Angin yang berhembus mulai mengantarkan aroma kematian.
Bunga-bunga merah mulai menyerap kehidupan.
Jeritan manusia mulai memenuhi senyapnya malam.
Bagaikan rhapsody tanpa akhir.
Begitulah malam Walpurgis menutup hari.
—Yah... Setidaknya aku bersenang-senang.
Ucap gadis berpakaian hitam yang telah bermandikan darah.