Chapter 4 - Keseharian (2)

Setelah membantu merapikan meja dan mencuci beberapa gelas bersama Ibu, gadis itu melangkah pelan meninggalkan ruang makan.

Lorong itu terasa sepi.

Hanya langkah kakinya yang terdengar, ringan, menyentuh lantai kayu yang dingin.

Ia menelusuri lorong bawah, menuju ruang tamu.

Meski ruangan itu tak terlalu besar, namun cukup hangat baginya.

Di sana ada sofa empuk berwarna hijau tua yang sedikit pudar warnanya, beberapa bantal yang terlihat ditepuk dengan rapi, dan meja pendek dengan taplak kain bunga-bunga.

Tidak bisa dibilang bersih, tapi tidak cukup kotor untuk sebuah ruang tamu—seperti rumah yang sudah lama tidak didatangi tamu, tapi tetap terjaga.

Di atas meja bermotif bunga itu, terhampar sebuah puzzle Jigsaw yang belum selesai. Ukurannya cukup besar, dan hampir menutupi seluruh permukaan meja.

Di dinding, ada rak buku kecil, sebagian bukunya sudah miring dan tertumpuk.

Di sudut dekat jendela, berdiri sebuah lampu lantai yang tidak menyala.

Kemudian ia berjalan menuju sofa dan duduk perlahan—namun seolah teringat sesuatu, gadis itu tiba-tiba bangkit kembali.

Ia menepuk-nepuk bantalan sofa beberapa kali, lalu kembali duduk dengan tenang.

Bantalan itu terasa empuk, meski warnanya sudah mulai memudar dimakan waktu.

Sofa itu tampak tua, tapi masih cukup terawat—seolah sudah lama menjadi bagian dari rumah ini.

Ia memejamkan mata sejenak, mengingat momen pagi tadi—tawa lembut, roti dan teh yang hangat, dan suara tangga yang berderit pelan.

Perlahan, ia mulai mengayunkan kakinya naik turun sambil bersenandung kecil,

“hmm~ Mmm~ hmm~”

Meski liriknya tampak tidak jelas, nyanyian itu mengalun ringan dan sederhana, tapi cukup untuk membuat ruang tamu yang sunyi terasa lebih hidup.

Tak ada suara dari luar.

Bahkan angin pun tak terdengar.

Gadis itu mendongak pelan, memandang ke arah pintu depan.

Pintunya besar, dari kayu tebal berwarna coklat gelap.

Kuncinya tergantung tenang di lubang kunci.

Untuk beberapa saat, ia hanya duduk di sana.

Diam.

Mendengarkan kesunyian.

Tangannya menyentuh pita di rambutnya, seperti sedang bersiap melangkah… tapi tak tahu ke mana.

Namun, perhatiannya tiba-tiba berfokus ke atas meja di depannya.

Ia terus memperhatikan puzzle itu dengan tatapan bingung dan sedikit penasaran.

Ia penasaran apakah dia bisa menyelesaikannya.

Lalu gadis itu membungkukkan tubuh sedikit, matanya memperhatikan bagian tengah puzzle yang belum terisi.

Puzzle itu baru setengah jadi—banyak bagian masih kosong, terutama di sekitar pohon besar di tengah.

Ia mengambil satu keping dari tepi meja—bergambar cabang pohon dengan kelopak berkilauan.

Ia mencobanya, dan kepingan itu pas di antara dua ranting.

Kemudian satu lagi, lalu satu lagi.

Perlahan-lahan, gambar pohon itu mulai terbentuk.

Langit ungu kebiruan, titik-titik cahaya yang melayang, dan kelopak merah muda yang seperti berpendar dalam udara.

Satu per satu, ia menyusun keping demi keping.

Tangannya bergerak pelan namun teliti.

Wajahnya fokus.

Namun ketika ia hendak melengkapi bagian puncak pohon, ia berhenti.

“...Hilang?” gumamnya.

Hanya satu keping lagi—satu keping kecil yang seharusnya ada di bagian paling atas, di mana langit berganti warna jadi lebih terang, dan ada satu cahaya bulat seperti matahari, tapi terlalu putih untuk jadi itu.

Ia mencari di sekitar meja, mengangkat puzzle itu dan melihat bawahnya, melihat kiri dan kanan.

Dibawah meja, dan dibawah telapak meja.

Tapi tetap tidak ada.

Ia menghela napas pelan dan menunduk. Dan saat itu juga—

“...Ah.”

Ia melihatnya.

Satu kepingan puzzle tergeletak sendirian di bawah sofa.

Ia merangkak pelan, menjulurkan tangan, lalu mengambil keping itu.

Sisi-sisinya berdebu, tapi gambarnya jelas—warna langit yang lebih terang, dan titik cahaya kecil di tengahnya.

Ia kembali ke meja, dan dengan hati-hati, menekannya ke bagian kosong di atas pohon.

Klik. Pas.

Gambar itu pun lengkap.

Pohon yang berdiri sendirian di tengah padang, dikelilingi oleh kelopak bercahaya dan langit pagi yang terlihat... seperti mimpi.

Gadis itu menatapnya tanpa berkedip.

Tangannya menyentuh kepingan terakhir itu, lalu berbisik pelan:

“Sekarang... lengkap.”

Ucapnya dengan senyum ceria di wajahnya.

Lalu ia berbisik:

“Hmm... Sepertinya aku pernah lihat ini… tapi dimana ya?”

Gambarnya adalah pemandangan sebuah pohon besar yang berdiri sendirian di tengah padang rumput.

Pohonnya ramping namun anggun, dengan cabang-cabang yang menjulur ke langit. Namun yang paling menarik adalah warna langit di belakangnya—bukan biru biasa, melainkan perpaduan antara ungu muda, merah muda, dan biru lembut yang menyatu seperti cat air.

Cahaya matahari terlihat di sana... tapi tidak memancar.

Ia hanya berpendar samar, seperti cahaya kunang-kunang yang samar di kabut malam.

Beberapa kelopak bunga bertebaran di udara, berkilauan seolah mengambang di dalam air.

Titik-titik cahaya kecil tersebar di sekitar pohon—bukan bintang, tapi seperti serpihan cahaya mimpi, menggantung tenang di udara.

Puzzle itu memiliki suasana pagi… Yang sangat sulit untuk dijelaskan.

———

📓 Catatan Harian

Die-3 in Mus XIX☐☐

Hari ini kami sarapan sama-sama.

Aku duduk di samping Adik, Kakak duduk di seberang.

Ayah ada di ujung meja, dan Ibu berdiri sambil senyum.

Semua orang kelihatan gembira.

Aku juga sama.

Aku suka sekali melihat mereka tertawa.

Kami bicara soal hal-hal kecil—tentang bentuk awan, suara tangga yang kriet-kriet kalau diinjak, dan adik kecil yang suka mencocol selai diam-diam.

Kami ngobrol soal awan.

Katanya, ada awan yang bentuknya kayak roti.

Adikku bilang dia mau makan awan itu.

Kakak ketawa sampai rotinya hampir jatuh.

Ibu juga cerita soal suara tangga yang lucu.

Kriet... kriet...

Aku juga denger itu waktu turun.

Roti yang Ibu buat... baunya enak sekali.

Hangat.

Harumnya kayak stroberi.

Tapi waktu aku gigit, rasanya... Gak ada.

Tehnya juga sama.

Tehnya harum, katanya juga enak.

Tapi rasanya tetap sama.

Kayak makan kertas yang gak punya rasa.

Tapi aku tetap makan itu sambil tersenyum.

Karena kalau aku bilang rasanya aneh... nanti mereka sedih, dan aku gamau kalau mereka seperti itu.

Lalu setelah makan roti dan minum teh.

Aku pergi ke ruang tamu, mau lihat taman bunga.

Tapi aku malah bikin puzzle karena belum selesai.

Gambarnya juga bagus, aku suka pohon besar itu.

Aku senang saat kami bersama-sama.

Tertawa.

Bercerita.

Meski terasa dingin tapi tubuhku tetap hangat.

Hari ini menyenangkan.

Tapi aku juga bingung.

Semua ini terasa seperti mimpi...

Tapi aku masih ada disini kan?

Jadi gak masalah.

Selama itu hari yang indah.

Pasti besok lebih indah lagi.

Mungkin besok aku akan pergi keluar.

Aku mau ambil bunga buat ibu dan kakak.

Mungkin ayah dan adik juga suka.

Yaudah deh aku ambil bunga buat semuanya.

Pasti mereka suka yang aku kasih.

:)

———

Setelah menuliskan ceritanya di buku diary, dan menggambar bunga yang cantik di bawahnya seperti tanda tangan.

Ia pun mulai, memikirkan tentang hari esok.