Chapter 5 - Keseharian (3)

Cahaya matahari membias terang, memenuhi pandangan dengan kilau putih yang lembut.

Di balik sinarnya, terbentang padang rumput luas yang dipenuhi bunga-bunga putih.

Semuanya tampak tenang… tapi juga samar.

Pohon besar berdiri di tengahnya, nyaris tak terlihat karena cahaya yang menyelimutinya.

Aku tahu, aku pernah melihatnya.

Hanya saja, sangat sulit mengingatnya.

Seolah tempat itu ada… tapi hanya ketika aku memejamkan mata.

Aku pun pergi mendekatinya, seolah ingin menggapainya.

Aku berlari terus berlari.

"Tolong, sampailah..."

"Ayo, terus lari, terus lari."

Akupun berlari sekuat tenaga.

Pohon yang sebelumnya jauh, sekarang terlihat lebih dekat.

"Hampir sampai, hampir sampai."

"Ha... Ha... Ha..."

Napasku terasa berat.

Semakin berat ketika mendekatinya.

Seolah pohon itu tidak ingin aku mendekatinya.

Setiap langkah begitu melelahkan.

Namun, pada akhirnya aku berhasil mendekatinya.

Aku pun berjalan di bawah pohon yang besar itu.

Warna hijau, ungu, perak, dan emas menyelimuti setiap daunnya.

Aku memfokuskan mataku.

Akupun melihat buah yang nampak berkilau.

Buah yang terlihat seperti kaca terus memantulkan sinarnya.

Ia bersinar begitu terang di dalam kabut.

Lalu aku berusaha memanjat pohon itu.

Meski terlihat besar dan sulit, aku tetap berusaha.

Cengkraman demi cengkraman.

Langkah demi langkah.

Pada akhirnya usahaku tidak sia-sia.

Aku melihat buah yang bersinar itu, begitu dekat.

Lalu akupun meraihnya.

Entah karena silaunya, atau buahnya.

Penglihatan ku seketika gelap—

"Hmm..."

Aku bergumam.

Aku terus melihat sekitar, seakan tidak tahu aku ada dimana.

"Haloooo"

"Apakah ada orang?"

Aku terus memanggil, suaraku menggema pelan di udara yang sunyi dan berharap ada seseorang disini.

Langkah demi langkah.

Ucapan demi ucapan.

Lalu... dari kejauhan, muncul sebuah siluet.

Seseorang sedang duduk manis di bawah pohon itu.

Pohon yang sama.

"Hai~ kamu sedang apa?"

Aku melambai dan memanggilnya.

Sambil mendekatinya perlahan.

Siluet itu tidak bergerak.

Ia hanya duduk, menunduk, seolah sedang memperhatikan sesuatu di tangannya.

Langkahku terhenti beberapa meter di depannya.

Kini aku bisa melihat lebih jelas—

Itu... seorang gadis.

Rambutnya sebahu, pita kecil terikat di samping.

Tangannya memegang sesuatu—sebuah puzzle kecil, dengan hanya satu keping yang hilang.

“...Itu... puzzle milikku?”

Aku bergumam.

Perlahan, ia mengangkat kepalanya.

Wajahnya lembut.

Sangat mirip denganku.

Senyumnya hangat.

Namun hanya senyumnya yang terlihat jelas.

“Ah,” katanya pelan.

“Kamu akhirnya datang.”

“Aku... siapa kamu?” tanyaku.

Dia tidak menjawab.

Ia hanya menepuk tempat kosong di sebelahnya.

“Ayo duduk. Aku sudah lama menunggu.”

Aku ragu.

Tapi tubuhku bergerak sendiri.

Ketika aku duduk, dia menyerahkan kepingan puzzle terakhir padaku.

Tangan kami bersentuhan... dingin sekali.

“Aku gak bisa selesaikan ini tanpamu,” katanya.

“Karena hanya kamu yang tahu bentuk aslinya.”

Aku menatap kepingan itu.

Cahaya matahari seperti menyinari permukaannya.

Lalu—perlahan, dengan tangan gemetar—aku menaruh kepingannya ke tempat terakhir.

Klik. Pas.

Seketika... langit berubah.

Suara angin terdengar.

Bunga-bunga mulai gugur satu per satu.

Padang rumput jadi samar.

Pohon itu memudar.

Aku menoleh ke gadis di sampingku.

Dia tersenyum lebar.

Dan berkata:

“Soalnya...”

Tapi sebelum aku sempat bicara—tubuhku tak bisa bergerak.

Seolah ada sesuatu yang mencengkeram dari dalam.

Dunia jadi lebih gelap. Tapi... bukan karena malam.

Seolah... aku tenggelam dalam bayangan diriku sendiri.

Dan terakhir kali aku mendengar suara itu lagi—suaraku sendiri, dari gadis itu:

“Karenaa... Aku adalah diri— sendiri.”

Suara itu masih menggema saat semuanya perlahan menghilang.

Cahaya putih meledak di mataku—dan sekejap kemudian...

.

.

.

Aku terbangun.

Nafasku memburu.

Keningku basah.

Warna gelap yang memenuhi pandanganku, tiba-tiba hilang seketika

Kini pandanganku hanya ada langit-langit kamar... putih, pucat.

Akupun perlahan duduk di tempat tidur.

Masih gelap.

Jendela tertutup rapat.

Aku menatap tanganku.

Masih gemetar.

"...Mimpi ya?" bisikku.

Aku mengusap wajah.

Lalu melihat ke sisi tempat tidur—tak ada siapa-siapa.

Tak ada suara dari luar kamar.

Hanya ada suara angin...

...dan sesuatu lagi.

"Klik."

Aku menoleh.

Di meja kecil, tak jauh dari tempat tidur, ada puzzle.

Satu keping terakhir belum terpasang.

Gambarnya... pohon besar di padang bunga.

Mataku membelalak.

“Tidak mungkin…”

Tanganku gemetar saat mengambil kepingan terakhir itu.

Aku tidak ingat kapan aku mulai mengerjakannya.

Aku bahkan tak pernah merasa memilikinya.

Tapi tanganku... tahu ke mana kepingan itu harus pergi.

Aku dorong pelan—

Klik.

Dan saat itulah...

...pohon dalam gambar itu bergerak sedikit.

Seperti tertiup angin.

Aku terpaku.

Tidak berani berkedip.

Lalu aku melihatnya—

di balik pantulan puzzle,

ada seorang gadis duduk...

dengan pita kecil di rambutnya.

Dia terlihat sedih.

Seakan sering hidup menyendiri.

Dan aku menyadari... Ia terlihat persis denganku—

Tanganku masih menyentuh permukaan puzzle yang kini telah lengkap.

Bayangan itu… gadis dengan pita… perlahan memudar dari pantulan.

Namun, rasa dingin dari tatapannya masih tertinggal di kulitku.

Aku menggigit bibir, mencoba menenangkan napasku.

Kemudian—

dari luar kamar, terdengar suara lembut memanggil:

“Sayang… ayo sarapan, roti dan tehnya masih hangat.”

Aku terdiam.

"Suara itu... Ibu?"

Perlahan, aku menoleh ke arah pintu yang tertutup.

Aku mengenali suara itu.

Tapi... entah kenapa, terasa asing.

Seakan bukan berasal dari rumah ini.

Atau lebih tepatnya—

rumah ini... Atau diriku bukanlah bagian dari rumah ini.

Aku memandang puzzle di atas meja itu sekali lagi.

Pohon itu.

Kelopak-kelopak bunga yang mengambang.

Langit yang seperti mimpi.

Dan siluet gadis kecil yang sempat kulihat tadi—

kini tak lagi ada.

Hanya puzzle bergambar pohon yang yang persis dengan yang ada di ruang tamu kemarin.

Lalu, aku bangkit dari tempat tidur.

Menarik napas pelan.

Dan berjalan ke arah pintu kamar.

Gagangnya terasa dingin.

Namun, suara Ibu kembali terdengar—lebih lembut, dan lebih jelas:

“Cepat ya… sebelum tehnya dingin.”

Aku terus memikirkannya.

Memikirkan tentang mimpi buruk yang kualami.

Entah mengapa itu terasa seperti kenyataan.

Namun, juga terasa seperti mimpi.

Aku gatau, apa yang aneh.

Entah diriku, atau rumah ini.

Semuanya begitu aneh bagiku.

Tapi... Yang bisaku lakukan hanya terus berjalan.

Berjalan kedepan, sejauh kakiku melangkah.

Sejauh mata memandang.

Lalu, aku pun menepuk kedua pipiku dengan lembut.

"Haa... Baiklah, gak perlu dipikirkan."

"Aku percaya itu hanya mimpi buruk."

"Lagian, keluargaku kan ada disini."

"Aku juga dengar ibuku memanggilku buat sarapan."

Dan dengan begitu, gadis itupun melupakan kejadian itu.

Karena ia percaya, hari ini adalah hari yang indah.

Semua kenangan buruk ataupun hal aneh.

Hanyalah sebuah gangguan kecil bagi dirinya.

Lalu, akupun membuka pintu yang berada di depanku.

Dan seketika cahaya putih dari lorong menyambutku lagi.