BAB 1:AKADEMI YANG MEMBELENGGU

Aravien, Tahun 903 Zirah.

Udara pagi menusuk tulang, namun aula utama Akademi Sihir Eldra sudah dipenuhi suara langkah dan bisikan. Dindingnya tinggi menjulang, dihiasi lambang-lambang kuno para keluarga bangsawan yang mendirikan tempat ini. Di ujung aula, berdiri seorang gadis berjubah sederhana berwarna abu tua. Rambut peraknya dikepang setengah, dan sorot matanya tajam meski tubuhnya mungil dibanding yang lain.

Namanya Shhima.

Ia berdiri sendirian. Tak ada keluarga bangsawan yang menemaninya. Tak ada lambang rumah kebanggaan di pundaknya. Di antara anak-anak sihir berdarah murni, dia seperti noda yang tak seharusnya ada.

“Dia anak rakyat biasa, kan?” bisik seorang murid pria. “Bagaimana bisa dia diterima di Akademi ini?”

“Katanya, sihirnya bangkit sendiri. Tanpa pelatihan. Tak mungkin itu alami.” Seorang gadis berambut emas melirik Shhima penuh curiga.

Shhima mendengarnya, tapi ia tetap diam. Ia sudah terbiasa. Dari awal, dunia ini memang tidak menerima orang seperti dia. Tapi dia tidak datang ke sini untuk diterima. Dia datang untuk meruntuhkan sistem itu dari dalam.

“Shhima!” suara riang memecah pikirannya. Seorang anak laki-laki berambut ikal dan mata cokelat muda menghampirinya sambil melambaikan tangan. “Kau berdiri seperti patung di tengah aula. Ayo, hari ini kita mulai pelajaran pertama!”

Itu adalah Tarren.

Sahabat pertamanya di akademi. Anak tukang pandai besi, juga bukan bangsawan. Tapi tidak seperti Shhima, Tarren pandai bersosialisasi—dan terlalu banyak bicara.

Shhima tersenyum tipis. “Kau terlalu semangat untuk orang yang kemarin hampir membuat meja meledak.”

“Hei! Itu eksperimen! Aku hampir menguasai sihir api tingkat satu,” kata Tarren, membusungkan dada dengan bangga.

Tiba-tiba, suara keras menggema dari depan aula.

“Semua murid, berbaris dalam tiga barisan. Berdasarkan rumah dan level sihir,” seru Master Kirel, kepala pengawas akademi.

Dan seperti biasa, Shhima berdiri di sisi yang tidak punya barisan. Dia tak punya rumah, tak punya status. Hanya kekuatan.

Ruang kelas akademi Eldra menyerupai ruang pertempuran—setiap pelajaran sihir bisa berakhir dengan ledakan. Di tengah ruangan berbatu itu, seorang wanita dengan mata tajam berdiri di depan papan sihir bercahaya.

Namanya Instructor Velyra. Dikenal galak, namun adil.

“Hari ini, kita akan mempelajari dasar pengendalian energi sihir melalui fokus internal,” katanya. “Kalian, kelompok satu—bangsawan dari Rumah Solven dan Marrah—akan memulai.”

Empat murid bangsawan melangkah ke tengah lingkaran latihan. Mereka membentuk formasi dan mulai mengangkat tangan, menciptakan bola api kecil dengan kontrol yang cukup baik.

Velyra mengangguk, lalu memandang ke arah Shhima. “Dan kau, gadis tanpa rumah. Mari kita lihat apa yang kau miliki.”

Ruangan menjadi sunyi. Beberapa murid tersenyum sinis.

Shhima melangkah maju. Ia menutup mata, menarik napas dalam. Energi dari dalam tubuhnya perlahan mengalir, bukan dari latihan atau teknik keluarga kuno, tapi dari dorongan alami, seperti darah yang sudah lama mendidih.

Tangan kirinya bergerak pelan. Cahaya ungu muncul di ujung jarinya, lalu merambat membentuk bentuk bunga api—namun warnanya bukan merah. Ia berputar cepat, membentuk pusaran seolah sihir itu hidup.

“Apa itu...?”

“Itu bukan sihir api biasa…”

Instructor Velyra memandang serius. “Kau menggunakan bentuk sihir mentah... belum diproses oleh mantra. Kau benar-benar belum pernah belajar teknik klasik?”

Shhima mengangguk. “Aku hanya... merasakannya.”

Tiba-tiba, salah satu murid bangsawan, Leon dari Rumah Solven, melangkah maju dengan wajah angkuh.

“Ini tidak adil. Jika dia tidak belajar teknik klasik, maka sihirnya tidak stabil. Ini berbahaya. Dia tidak seharusnya di sini!”

Velyra menatap Leon. “Dan apakah kau merasa terancam oleh kekuatan seseorang yang tak belajar teknikmu?”

Leon hendak menjawab, namun Tarren menyela, “Kalau takut kalah, tinggal bilang saja, Leon.”

Beberapa murid tertawa pelan. Shhima menatap Tarren dan untuk pertama kalinya hari itu, ia benar-benar tersenyum.

Sore itu, di halaman belakang akademi, Shhima duduk di bawah pohon tua. Angin sore membawa wangi bunga musim kering. Di sampingnya, Tarren berbaring sambil menatap langit.

“Menurutmu… apa ada tempat di dunia ini di mana seseorang tidak diukur dari darahnya?” tanya Shhima pelan.

Tarren membuka satu matanya. “Mungkin tidak. Tapi kita bisa buat tempat itu.”

Shhima menatap langit. Hatinya berdebar. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendiri.

“Aku akan menghancurkan sistem ini,” katanya. “Bukan karena aku ingin membalas dendam. Tapi karena… aku ingin hidup di dunia di mana anak-anak tidak perlu takut karena mereka ‘tidak cukup murni’.”

Tarren bangkit duduk. “Kau gila, Shhima. Tapi aku suka caramu berpikir.”

Dan hari itu, dua anak yang bukan siapa-siapa berjanji untuk melawan dunia.