BAB 3:RAHASIA YANG TERKUBUR

Malam hari di Perpustakaan Tertutup Akademi Eldra.

Langkah kaki terdengar lirih di antara rak-rak tua berdebu yang menjulang setinggi langit-langit. Cahaya lentera melayang perlahan mengikuti tiga sosok yang menyelinap masuk ke lorong paling dalam. Shhima berjalan paling depan, jubahnya berkibar pelan. Di belakangnya, Tarren menghela napas berkali-kali sambil memegangi peta tua yang mereka curi dari ruang guru. Di sisi lain, Liera melangkah tenang, seolah semua ini sudah jadi kebiasaannya.

“Ini ide gila,” bisik Tarren. “Kalau kita ketahuan masuk perpustakaan terlarang, kita bisa diusir dari akademi.”

“Kita?” gumam Liera. “Kalau aku, paling-paling cuma ditegur. Tapi kalian...”

Ia menoleh ke Shhima. “Kau mungkin akan dianggap ancaman.”

Shhima tetap diam. Matanya—cokelat redup, tapi dalam—menyapu rak demi rak, mencari simbol yang ia lihat dalam penglihatan samar setelah menyentuh Batu Darah kemarin: tiga garis melingkar dan satu bintang di tengahnya.

“Di sini,” katanya akhirnya.

Mereka berhenti di depan rak terkunci dengan ukiran sihir pelindung yang sudah retak. Tarren menyentuhnya dengan hati-hati. “Segelnya... lemah. Seperti disengaja.”

Dengan satu gerakan, segel sihir terbuka. Debu beterbangan saat rak bergeser, memperlihatkan lorong batu rahasia yang turun ke bawah tanah.

“Tempat seperti ini tidak ada di peta akademi,” gumam Liera.

“Mungkin karena ini bukan bagian dari akademi,” jawab Shhima. “Mungkin ini warisan sebelum akademi dibangun.”

Lorong itu membawa mereka ke ruang batu kecil, bundar, dengan pilar di empat sudutnya. Di tengahnya, berdiri sebuah monumen batu hitam dengan tulisan kuno yang bersinar samar.

Liera mencondongkan tubuh membaca. “Bahasa Tzarn tua... ini menyebut tentang ‘Wielder Pertama’.”

Tarren mengerutkan kening. “Apa itu artinya Shhima bukan satu-satunya?”

Shhima menyentuh monumen itu. Sebuah kilatan menyambar ke dalam pikirannya—bayangan orang-orang berwajah asing, memanggil sihir bukan dengan mantra, tapi dengan niat, dengan jiwa. Mereka mengubah bentuk bumi, menghentikan hujan, memecah gunung. Tanpa pedang, tanpa garis darah bangsawan.

Dan di akhir penglihatan itu, ia melihat satu nama terukir di batu: “Ismaren”.

“Siapa Ismaren?” tanyanya, setengah bicara pada dirinya sendiri.

“Legenda menyebut dia sebagai penyihir pengkhianat,” jawab suara baru dari pintu masuk lorong.

Mereka bertiga langsung berbalik, siaga.

Seorang pemuda berdiri di sana, mengenakan jubah istana biru tua dengan emblem burung perak. Rambutnya hitam pendek, matanya tenang tapi tajam.

“Aku Kael, utusan sihir kerajaan. Dan... aku sudah mengawasi kalian sejak Shhima menyentuh Batu Darah.”

Tarren bersiap. “Kalau kau ke sini untuk menyerahkan kami, baiknya mulai berdoa sekarang.”

Kael mengangkat kedua tangan. “Tenang. Aku bukan musuh. Aku di sini... karena aku juga pernah mengalami perubahan itu. Rambut dan mata yang berubah. Sihir yang muncul tanpa diajarkan.”

Shhima melangkah mendekat. “Kau... juga?”

Kael mengangguk. “Aku menyembunyikannya selama bertahun-tahun. Tapi setelah melihatmu kemarin, aku tahu... aku tidak sendiri.”

Ia mengeluarkan sebuah benda dari balik jubahnya—sebuah liontin dengan simbol yang sama seperti di monumen.

“Ini... berasal dari ibuku. Dia mengatakan bahwa garis sihir sejati tidak berasal dari darah bangsawan, tapi dari kehendak yang murni.”

Shhima menerima liontin itu perlahan. Ketika jari-jarinya menyentuhnya, hawa hangat mengalir ke seluruh tubuhnya.

Dan saat itulah, dinding ruang batu bergetar.

Simbol pada monumen bersinar terang, dan cahaya naik ke langit-langit, membentuk peta besar dari cahaya—peta dunia Aravien, namun dengan garis-garis yang tidak dikenal. Garis-garis itu menghubungkan titik-titik energi yang seolah tersembunyi: gunung, danau, reruntuhan, bahkan padang pasir.

Liera melangkah maju, mata membelalak. “Ini... bukan sekadar peta. Ini peta tempat-tempat kuno yang menyimpan kekuatan Wielder.”

Kael menambahkan, “Dan jika kerajaan tahu peta ini diaktifkan kembali, mereka akan memburu kita semua.”

Tarren menggigit bibirnya. “Kita bahkan belum lulus akademi, dan sekarang sudah jadi buruan kerajaan?”

Shhima menatap peta itu lama.

“Kalau kerajaan akan memburu kita karena mencoba memahami siapa diri kita... maka aku memilih untuk berlari menuju kebenaran, bukan bersembunyi dari ketakutan.”

Ia menatap ketiganya.

“Kita akan pergi. Menelusuri titik-titik ini. Dan jika kita cukup kuat... kita bisa mengubah dunia.”

Mereka saling bertukar pandang. Tiga wajah yang berasal dari latar belakang berbeda, tapi kini bersatu karena satu hal: keinginan untuk bebas.

Dan malam itu, sebuah persekutuan lahir—bukan dari darah, tapi dari pilihan.