Malam di Akademi Eldra biasanya sunyi setelah lonceng ketiga berdentang, tapi malam ini berbeda. Awan-awan gelap menggantung di atas menara-menara sihir, dan angin berhembus kencang seperti membawa firasat buruk. Di ruang asrama bawah tanah, Shhima berdiri di depan jendela kecil, memandangi langit dengan mata yang tak pernah tenang sejak peta itu muncul.
“Ini sudah tak bisa kembali lagi, bukan?” gumamnya lirih.
“Belum juga pergi, kau sudah bicara seperti pengasing,” kata Tarren dari ranjang di belakangnya, membenarkan tas kecil berisi buku catatan, peta, dan batu sihir darurat.
Shhima menoleh dan tersenyum tipis. “Kita bukan melarikan diri. Kita... menjawab panggilan.”
Liera muncul dari balik tirai batu dengan wajah serius. “Aku sudah membuat jalur keluar lewat dapur belakang. Penjaga malam akan berpatroli di sisi timur menara, jadi kita punya waktu sepuluh menit.”
Kael masuk terakhir, mengenakan jubah gelap tanpa lambang kerajaan. Ia mengangguk ke arah mereka. “Kita akan menuju titik pertama di peta: Lembah Ervala. Di sana ada reruntuhan Wielder lama. Tapi... kita harus cepat. Aku dengar langkah mereka sudah mendekat.”
Shhima mengernyit. “Siapa mereka?”
Kael menatapnya tajam. “Mereka yang dikirim langsung dari istana. Dan mereka membawa Mendral.”
Di ruang takhta Kerajaan Aravien, sang raja duduk dalam bayang-bayang lilin sihir. Di hadapannya berlutut seorang pria bertubuh tinggi, bersenjata dua bilah pedang tipis di punggungnya, dan wajah separuh tertutup topeng logam hitam.
“Namanya Shhima,” kata sang raja. “Gadis tanpa darah bangsawan, tapi mampu membangkitkan Batu Darah dalam warna yang belum pernah tercatat. Kami ingin dia dibawa hidup-hidup. Jangan biarkan dia menyatu dengan kekuatan Wielder.”
Pria bertopeng itu mengangguk. Suaranya berat dan datar. “Aku akan bawa jiwanya... atau tubuhnya.”
Namanya Mendral. Pemburu sihir terbaik kerajaan. Dan sejak malam itu, dia meninggalkan istana membawa perintah mutlak.
Sementara itu, di bawah bayangan menara akademi, Shhima dan ketiga temannya merayap melewati lorong dapur tua. Suara kompor sihir berdengung samar dari balik tembok, dan aroma sup malam masih tercium. Liera menempelkan telapak tangan ke pintu kayu besar, mengaktifkan mantranya.
“Kunci runtuh dalam diam, bukan dengan paksa,” bisiknya.
Bunyi klik lembut terdengar. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan jalan rahasia keluar akademi yang mengarah ke hutan kecil di barat.
Saat mereka keluar, udara malam menyambut dingin. Di langit, bulan tertutup awan. Jalan setapak tampak sempit dan curam, tapi bebas.
Tarren menarik napas lega. “Akhirnya... kebebasan.”
Namun belum sempat mereka melangkah lebih jauh, tanah di depan mereka meledak, dan suara retakan sihir membelah keheningan malam.
Sosok berjubah hitam muncul dari balik kabut. Dua mata keperakan bersinar dari balik topeng logam.
Mendral.
“Kalian terlalu lambat,” katanya datar. “Dan terlalu percaya pada peta kuno.”
Shhima mundur selangkah. Tangannya refleks bersinar, membentuk sihir pertahanan.
“Dia sendiri?” tanya Liera cepat.
Kael menggeleng. “Tidak. Dia tidak butuh bantuan.”
Mendral bergerak cepat. Dalam sekejap, dia sudah berada di depan mereka. Kael mengayunkan tongkat, menciptakan dinding angin, tapi dihancurkan seketika. Tarren melempar manik sihir api, tapi hanya membuat kabut membara sebentar.
Shhima melihat celah dan menyerang.
Sihir ungunya meledak dalam bentuk tombak energi yang meluncur lurus. Mendral menghindar, tapi bagian bahu jubahnya robek. Itu cukup.
“Sekarang!” seru Kael.
Liera mengaktifkan segel teleportasi darurat yang ia bawa—artefak suku Tzarn yang hanya bisa digunakan sekali dan hanya dalam radius dekat.
“Ke arah Lembah Ervala! Kita tak bisa menang malam ini!” teriaknya.
Dalam sekejap, cahaya putih menyelimuti mereka. Suara Mendral menggema saat dunia di sekitar mereka mengabur:
“Aku akan menemukan kalian… dan saat itu tiba, tidak ada yang akan bisa melindungi kalian lagi.”
Kilatan teleportasi mendaratkan mereka di tepi tebing berbatu, dikelilingi oleh kabut dan suara serangga malam. Mereka terjatuh berguling, debu mengepul. Liera segera berdiri, mengecek sekeliling.
“Kita di pinggir Ervala,” katanya. “Kita berhasil… tapi itu tadi baru pemburu pertama.”
Tarren mengerang, memegangi lengannya yang terbakar sebagian. “Kalau itu baru satu orang, aku tak ingin tahu bagaimana pasukan mereka.”
Kael menatap langit, lalu Shhima. “Panggilan sudah dimulai. Dan mereka tahu siapa dirimu sekarang.”
Shhima bangkit perlahan. Di balik rasa lelah, ada tekad yang menguat.
“Kalau mereka takut padaku… itu artinya aku punya sesuatu yang mereka tidak bisa kendalikan.”
Liera tersenyum. “Selamat datang di perang, Shhima.”
Dan malam itu, perjalanan menuju kebebasan benar-benar dimulai.