Kabut pagi menyelimuti Lembah Ervala seperti jubah putih yang menggantung di bahu bumi. Di kejauhan, bayangan reruntuhan kuno mulai terlihat samar di antara pepohonan yang menghitam karena usia. Di sinilah langkah pertama Shima dan kawan-kawannya dimulai—di lembah yang tak tercatat dalam peta kerajaan, tempat yang bahkan bangsawan pun takut menyentuhnya.
“Kita sudah dekat,” bisik Kael sambil membuka gulungan peta sihir bercahaya. “Titik energi berada tepat di tengah reruntuhan utama. Tapi... ada pola pertahanan di sekitar.”
Shima berjalan di depan, matanya tajam. Warna cokelat yang kini menghiasi rambut dan matanya terasa seperti identitas baru—bukan karena ia berubah, tapi karena akhirnya ia melihat dirinya dengan jujur. Dia bukan bagian dari bangsawan, bukan juga penyihir liar. Ia adalah jalan baru.
“Kalau ada pertahanan, berarti tempat ini belum mati,” ujar Liera, menyentuh tanah dan merasakan aliran energi. “Seseorang—atau sesuatu—masih menjaganya.”
Tarren memeluk tasnya erat. “Apa itu berarti kita akan disambut oleh... roh kuno? Atau semacam penjaga batu raksasa?”
“Tidak,” jawab Kael datar. “Lebih buruk. Kita akan disambut oleh... diri kita sendiri.”
Saat mereka mencapai pusat lembah, sebuah kuil batu setengah runtuh menjulang di tengah dataran lapang. Di pintunya tergurat simbol Wielder: tiga lingkaran yang bersatu di tengahnya sebuah bintang berujung lima. Simbol yang sama seperti yang muncul di monumen rahasia di bawah akademi.
Tanpa menunggu aba-aba, Shima menyentuh pintu batu itu. Dan saat itu juga, tanah bergetar. Udara mendadak berat. Dari celah langit, cahaya biru menimpa mereka satu per satu.
“Ujian sihir kuno telah dimulai,” suara gema terdengar dari dalam kuil, tanpa mulut, tanpa wujud. “Masuki kedalaman dirimu. Hadapi kebenaran yang kamu sembunyikan.”
Sebelum mereka bisa saling berpaling, tubuh mereka ditarik oleh lingkaran cahaya masing-masing—memisahkan mereka ke dalam ruang berbeda. Shima terjatuh ke dalam kegelapan yang dingin... dan ketika membuka mata, ia berdiri di depan dirinya sendiri.
Ruangan itu kosong. Dindingnya tak terlihat. Tapi di hadapannya berdiri seorang gadis dengan wajahnya sendiri—namun dengan rambut perak dan mata hijau seperti dulu. Shima terdiam. Sosok itu tersenyum.
“Aku adalah kau... sebelum kau mengenal kekuatanmu. Sebelum kau ingin mengubah dunia. Aku adalah ketakutanmu: bahwa suatu hari, kau akan lupa siapa dirimu.”
Shima mengepalkan tangan. “Aku tidak lupa. Aku hanya berkembang.”
“Benarkah?” tanya bayangan itu, mendekat. “Apa kau yakin kau tidak mulai memandang dirimu lebih tinggi dari yang lain? Bahwa kau satu-satunya yang bisa menyelamatkan dunia?”
Seketika, ruangan berubah. Shima melihat dirinya berdiri di atas takhta, mengenakan jubah raja, dikelilingi mayat dan reruntuhan. Di bawahnya, Tarren, Liera, Kael—semua tak bernyawa.
“Kekuatan tanpa arah hanya akan jadi kehancuran.”
Shima menutup mata. Ia merasakan napasnya, sihir dalam tubuhnya. Ia ingat saat pertama kali menyentuh Batu Darah. Ia tidak ingin berkuasa. Ia hanya ingin bebas. Dan membebaskan yang lain.
“Aku tak akan jadi bayanganku. Aku akan jadi cahaya bagi mereka yang tersesat. Aku adalah Shima—bukan pengganti dunia lama, tapi fondasi dunia baru.”
Cahaya meledak. Sosok bayangan pecah menjadi ribuan pecahan cahaya.
Shima membuka mata. Ia kembali di kuil, berlutut di tengah lingkaran sihir. Di sekelilingnya, Liera, Kael, dan Tarren juga baru kembali dari ujian mereka. Nafas mereka terengah, mata mereka basah. Semua telah melalui sesuatu.
Di tengah ruangan, sebuah altar batu naik perlahan, memperlihatkan sebuah benda: sebuah gelang hitam dengan batu kecil berwarna ungu gelap di tengahnya.
Kael menatapnya dengan kagum. “Itu... relik Wielder. Aku pikir semua sudah hilang.”
Liera mengambilnya dan memberikannya kepada Shima. “Kau lulus lebih dari sekadar ujian. Kau mengalahkan dirimu sendiri.”
Saat Shima mengenakan gelang itu, ia merasakan sesuatu menyatu. Bukan kekuatan baru—tapi pemahaman. Gelang itu bukan alat perang. Itu adalah penyatu kehendak. Sebuah penguat ikatan antara sihir dan jiwa.
Namun kebahagiaan mereka hanya berlangsung sebentar.
Tiba-tiba, langit di atas Ervala berubah merah. Angin berputar dengan liar, dan dari ujung lembah, tiga bayangan berkuda muncul. Di depan mereka, lambang kerajaan Aravien berkibar.
Kael mencabut tongkatnya. “Mereka menemukan kita.”
Shima berdiri, wajahnya tenang. Tapi suaranya penuh api.
“Kalau ini jalan yang harus kita hadapi untuk meraih kebebasan… maka biarlah kita hadapi.”
Dan di reruntuhan kuno tempat sejarah Wielder tertanam, pertempuran pertama pun akan dimulai.