BAB 6:PERTEMPURAN DI ERVALA

Hujan sihir pertama meledak di atas reruntuhan kuil Ervala.

Tiga bayangan berkuda yang muncul dari arah utara kini berdiri penuh di hadapan mereka. Di balik kabut merah yang menggantung di langit, lambang kerajaan Aravien tampak jelas di dada jubah mereka—pasukan pemburu sihir istana.

Yang berdiri paling depan mengenakan pelindung setengah tubuh dari logam hitam, dan wajahnya tersembunyi di balik topeng tipis dengan ukiran mata satu. Di tangannya, tongkat bercabang dua bersinar merah.

“Atas nama Raja Aravien, kalian semua ditangkap karena menggali sihir terlarang dan bersekutu dengan Wielder kuno,” katanya dengan suara dingin seperti logam beku.

Kael maju, jubahnya berkibar. “Kami tidak menggali. Kami hanya mengungkap kebenaran yang kalian sembunyikan!”

Salah satu pemburu bergerak cepat, melompat ke atas batu dan menyerang dengan cambuk sihir api. Namun Liera sudah bergerak, menciptakan tameng tanah dari segel Tzarn kuno, menahan serangan dengan dentuman keras.

Shima berdiri tegak di tengah reruntuhan. Gelang hitam Wielder di pergelangan tangannya mulai bersinar lembut, seolah merespons bahaya.

“Jangan berpencar!” teriak Tarren sambil melemparkan manik sihir air yang meledak di udara menjadi kabut pelindung. “Kael, sisi kiri! Liera, kanan! Aku di belakang Shima!”

Para pemburu sihir maju serentak. Pertempuran pun meledak.

Shima memusatkan kekuatan. Gelang hitam di tangannya bergetar—membaca emosi, membaca kehendak.

"Sihir adalah bayangan dari keinginan," kata Liera pernah berkata.

Dan saat ini, Shima menginginkan perlindungan.

Tangannya terangkat, dan dari dalam tanah, dinding energi ungu naik membentuk pelindung setengah lingkaran. Sihir-sihir musuh memantul dan memecah seperti kaca.

Salah satu pemburu melompat dari atas reruntuhan dan menyerang langsung. Tapi Shima kini berbeda. Dia bergerak ringan, seperti dipandu oleh sihirnya sendiri. Dengan satu putaran tangan, ia mengalirkan kekuatan ke udara—dan dari ujung jari-jarinya, semburan energi mentah meledak ke arah musuh, menghantam dan melemparkannya jauh ke belakang.

Tarren, di belakangnya, nyaris kehabisan napas, tapi masih sempat tersenyum. “Kalau kau bisa terus begitu, mungkin aku bisa duduk santai saja.”

Kael di sisi kiri bertarung dengan teknik yang berbeda. Ia tidak menghancurkan, tapi membekukan. Ujung tongkatnya memanggil sihir beku yang membungkus kaki lawan. “Kita butuh waktu! Fokus tahan serangan mereka!” teriaknya.

Namun satu sosok tidak ikut bertarung.

Pemimpin pemburu—pria bertopeng mata satu—hanya berdiri diam, mengamati. Dan tiba-tiba ia angkat tangannya.

Sihir merah menyebar dari bawah tanah seperti jaring laba-laba, menghentikan aliran energi di sekitar mereka. Sihir penindas.

Shima berlutut, dadanya sesak.

Gelang di tangannya mulai memanas. Tapi bukan panas membakar, melainkan resonansi. Sebuah suara muncul dalam pikirannya—tidak seperti suara orang, tapi seperti gema masa lalu.

"Sihir tidak tunduk pada perintah. Ia tumbuh karena keberanian."

Shima menggertakkan gigi. Ia berdiri perlahan, meski tubuhnya bergetar.

“Kenapa sihirku... tidak bekerja?” tanya Tarren panik. Bola apinya padam.

“Sihir penindas,” jawab Liera. “Itu... hanya bisa dihancurkan dari dalam.”

Shima menatap gelangnya. Lalu ia menutup mata.

Ia tidak mengucapkan mantra. Tidak menggambar simbol.

Ia hanya menginginkan kebebasan.

Dan gelang Wielder menjawab.

Sebuah denyutan besar meledak dari tubuh Shima. Udara sekeliling bergetar. Warna ungu menyala dari tanah ke langit, menghancurkan jaring sihir merah dalam sekejap. Pasukan pemburu terlempar mundur, dan bahkan pemimpin mereka terdorong beberapa langkah.

Di tengah kilatan cahaya itu, berdiri Shima. Matanya menyala cokelat terang, dan rambutnya melayang ditiup kekuatan sihir yang tak terlihat.

“Ini bukan sihir kerajaan,” katanya pelan. “Ini bukan sihir darah bangsawan. Ini... kehendak manusia untuk hidup bebas.”

Para pemburu mundur. Kael berdarah di pelipis, tapi tersenyum bangga. Liera meludahkan debu, lalu berdiri kembali. Tarren? Dia duduk sambil tertawa kecil.

“Kau benar-benar gila, Shima.”

Pemimpin pemburu tidak berkata apa pun. Ia hanya menatap Shima dengan mata tersembunyi di balik topeng. Lalu, ia mengangkat dua jari ke udara dan membuat isyarat aneh—dan mereka semua menghilang dalam kabut merah.

Pertempuran usai.

Untuk sekarang.

Beberapa jam kemudian, malam kembali menyelimuti Ervala. Shima duduk di atas batu besar, memandang bintang.

“Pakaianku sobek, tubuhku sakit, dan aku hampir meledak karena sihirku sendiri,” gumamnya.

Kael duduk di sampingnya. “Tapi kau hidup. Dan kau menang.”

Liera berjalan mendekat sambil melempar sekantong buah kering. “Kita harus pergi besok pagi. Pertempuran ini... akan jadi awal perburuan besar.”

Tarren mendekat dengan wajah serius. “Kau sadar, kan, bahwa sekarang seluruh kerajaan tahu nama kita?”

Shima menatap langit. “Kalau dunia akan mencatat namaku, biarlah itu bukan sebagai penghancur... tapi sebagai pengingat bahwa manusia berhak memilih jalannya sendiri.”

Dan malam itu, api pertama dari pemberontakan kecil... menyala terang di lembah sunyi.