Pagi harinya di sekolah.
Seperti biasa, Mumei duduk di bangkunya, menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya melayang entah ke mana, tenggelam dalam keheningan.
Tiba-tiba, suara Taro memecah lamunannya.
"Oi, Mumei! Lagi ngapain kamu?"
"Sedang mengosongkan pikiran," jawab Mumei santai.
Taro tertawa kecil. "Kamu memang aneh ya. Oh iya, aku mau nanya sesuatu."
"Apa?"
"Ini pertanyaan antar laki-laki!"
"Ya udah, cepat aja," balas Mumei malas.
Taro sedikit ragu, lalu bertanya pelan, "Ka-kamu udah punya pacar?"
"Hah? Nggak. Nggak ada."
"Eehh… Ternyata kita senasib," keluh Taro.
Mumei hanya bergumam dalam hati, ‘Mana mungkin nasib manusia bisa benar-benar sama.’
Taro lanjut, "Kalau begitu… ada cewek yang kamu incar di kelas ini?"
Mumei menggeleng pelan. "Belum kepikiran buat pacaran."
"Heeh? Kenapa?"
"Ya… belum mau aja."
Taro tampak berpikir sebentar, lalu berkata, "Kalau kamu mulai cari pacar, aku saranin cewek bernama Misaki. Dia lumayan populer, loh."
"Begitu, ya?"
"Yap! Tapi, ada yang lebih populer lagi."
"Hah? Masih ada lagi?"
"Namanya Mizuki Arisa, Pokoknya dia idol Jepang, terkenal banget. Nggak ada yang nggak tahu tentang dia."
Mumei hanya tersenyum tipis. "Cukup keren sih."
"Dan… ada satu lagi!" tambah Taro bersemangat.
Oi, oi... berapa banyak cewek populer di sekolah ini? batin Mumei.
"Namanya Sayaka hmm… yang ini seperti tuan putri. Cantik banget. Dan keluarganya pemilik perusahaan besar, PT Okiyama."
"Oh, perusahaan besar itu ya? Hebat juga."
"Jadi kamu pilih yang mana?"
"Memangnya harus milih?"
"Yaa nggak juga sih. Cuma buat seru-seruan aja."
Mumei menghela napas. "Pilihan yang sulit. Mereka semua populer. Aku juga nggak terlalu berharap banyak, sih, dengan penampilanku."
Taro menatapnya. "Kamu tuh merendahkan diri sendiri."
"Bukan merendahkan. Aku hanya bicara kenyataan."
"Begitu ya…"
Saat jam istirahat,
Seperti biasa, Mumei dan Taro naik ke atap sekolah untuk mengobrol.
"Oh iya, ini barang yang kamu minta." Taro mengeluarkan grappling hook dari tasnya dan menyerahkannya pada Mumei.
"Wah, makasih." Mumei memeriksa alat itu dengan kagum. Luar biasa. Persis seperti yang kubayangkan, batinnya.
Taro bertanya, "Kamu nonton berita semalam?"
"Berita apa?"
"Katanya, pengedar narkoba yang ditangkap itu cuma anak buahnya. Bos besarnya masih bebas."
"Hee... gitu ya."
Mumei fokus ke grapping hook nya .
Bel masuk berbunyi. Mereka segera kembali ke kelas.
Sepulang sekolah,
Mumei langsung menuju ke toko topeng.
"Apakah topengku sudah selesai?" tanyanya.
"Eh… kenapa tiba-tiba—"
"Jawab saja," potong Mumei cepat.
"Belum. Aku masih belum menyelesaikan pola wajahnya, Mumei-chan."
"Kalau boleh tahu, kapan selesai?"
"Kira-kira tiga hari lagi. Memangnya ada apa?"
Tiga hari, ya… agak lama. Tapi mau bagaimana lagi, pikir Mumei.
"Nee, Mumei-chan, kamu kenapa?"
"Ah… tidak ada apa-apa. Baiklah, aku akan kembali lagi nanti."
Setelah keluar dari toko, Mumei pulang ke apartemennya.
Sesampainya di rumah, ia mulai memikirkan langkah apa yang harus diambil untuk membongkar dalang di balik peredaran narkoba. Tapi pikirannya buntu. Bertindak gegabah hanya akan menimbulkan masalah…
"Aku harus mandi dan tidur," ujarnya pelan.
Setelah mandi, ia langsung menuju kamar dan tertidur.
Pagi itu, di dalam kelas, Mumei menatap keluar jendela. Matanya mengikuti arah awan yang tenang mengapung di langit biru. Ada kedamaian yang sulit dijelaskan saat ia memandangi langit luas itu.
“Yo! Mumei!”
Sebuah tepukan keras di pundaknya membuatnya sedikit terdorong ke depan. Taro, teman sekelasnya, muncul dari belakang dengan senyum lebar.
“Pagi-pagi sudah rusuh saja,” kata Mumei, mengusap pundaknya pelan.
“Soalnya tadi aku lihat kamu bengong. Kayak lagi mikirin sesuatu.”
“Bukan bengong,” sahut Mumei santai. “Aku cuma menikmati pemandangan.”
“Kayak orang tua saja.”
“Begitu, ya?” Mumei menoleh sebentar sambil tersenyum kecil.
“Eh, ngomong-ngomong, tadi di gerbang sekolah aku ketemu sama wakil ketua OSIS, loh. Dia cantik banget… dan harum.”
“Kamu terdengar seperti orang mesum, Taro.”
“Oi! Enak saja!”
“Terus? Dia minta apa darimu?”
“Eh?! Kamu tahu dia minta bantuan?”
“Enggak. Aku cuma menebak."
Nggak mungkin cewek cantik dan sepenting itu ngobrol sama kamu tanpa alasan. Mumei menyipitkan matanya dan kembali memandang ke luar jendela.
“Kamu hebat juga nebaknya!” Taro tertawa. “Iya, dia minta aku datang ke ruang OSIS setelah pulang sekolah. Katanya harus bawa satu orang lagi. Kamu ikut, kan?”
Taro menatap Mumei penuh harap.
Mumei diam sejenak, lalu menoleh dan berkata pelan,
“Baiklah, aku ikut.”
Sepulang sekolah, Mumei dan Taro berjalan bersama menuju ruang OSIS. Sesampainya di depan pintu, Taro mengetuk pelan.
“Permisi, aku Taro. Tadi wakil ketua Shinohara meminta bantuanku,” ucapnya.
“Ya, masuk saja,” jawab seseorang dari dalam.
Taro membuka pintu, dan mereka berdua pun masuk ke dalam ruangan.
“Jadi, kalian berdua yang diminta tolong oleh Shinohara?” tanya seseorang yang ternyata adalah ketua OSIS.
“Ya, begitulah, Ketua,” jawab Taro sambil tersenyum cengengesan.
“Kalau begitu, apa yang harus kami kerjakan sekarang?”
“Taro, kamu kan jago dalam hal pemrograman?”
“Ya, aku cukup ahli dalam pemrograman dan juga pembuatan alat-alat,” jawab Taro percaya diri.
“Baik, kalau begitu, tolong periksa laptop milik bendahara kami. Entah kenapa, laptop itu jadi sangat lemot.”
“Baik, aku akan cek.”
Taro segera duduk di salah satu meja tempat laptop itu diletakkan.
Sementara itu, sang ketua OSIS berpaling kepada Mumei.
“Kamu siapa namanya?”
“Mumei Mumehara. Panggil saja Mumei.”
“Baik, Mumei. Tolong bantu Shinohara mempersiapkan aula untuk debat calon ketua OSIS, ya.”
“Baik,” jawab Mumei.
Tanpa banyak tanya, Mumei langsung keluar dari ruang OSIS dan berjalan menuju aula sekolah. Sesampainya di sana, ia melihat banyak siswa sedang mengangkat dan menyusun kursi.
"Mana ya orang yang bernama Shinohara itu?" batin Mumei sambil menoleh ke sekeliling.
Tak lama, pandangannya tertuju pada seorang siswi yang tampak mengatur penempatan kursi di dekat panggung.
Mumei mendekatinya.
“Shinohara, kan?”
Siswi itu menoleh dengan ekspresi bingung.
“Siapa ya?”
“Aku Mumei Mumehara. Aku diminta Ketua OSIS untuk membantumu.”
“Oh! Begitu, ya. Baiklah, kalau begitu kamu bisa bantu angkat kursi dan menyusunnya rapi seperti yang lainnya.”
“Siap.”
Mumei langsung bergabung membantu siswa-siswa lain. Ia mengangkat kursi dan menyusunnya rapi sesuai arahan.
Satu jam berlalu.
Mumei menyeka keringat di dahinya. Pekerjaan merapikan kursi akhirnya selesai.
"Hmm... sudah selesai. Tapi apa masih ada yang bisa aku bantu? Lebih baik aku tanya lagi," pikirnya.
Ia kembali berjalan ke arah Shinohara.
Melihat Mumei yang datang, Shinohara langsung menyapanya.
“Kerja bagus, Mumei.”
“Terima kasih." Mumei sedikit tersenyum kepada Shinohara. "Apakah masih ada lagi yang perlu aku lakukan?”
“Kalau begitu, ikut aku.”
Ikut dengannya? Ya, tidak ada alasan untuk menolak, gumam Mumei dalam hati.
“Baiklah,” jawabnya.
Mumei dan Shinohara lalu berjalan beriringan menyusuri lorong di lantai satu sekolah.
"Kemana kita akan pergi?"
Aku bertanya kepada Shinohara.
"Kita akan membeli minuman untuk mereka yang sudah membantu merapikan kursi-kursi di aula," jawabnya.
"Begitu ya. Tapi aku juga ikut merapikan tadi. Kenapa aku justru ikut membawakan minuman untuk mereka?"
"Kamu datangnya agak telat, jadi jangan mengeluh," balas Shinohara, sambil menggembungkan pipinya. Entah kenapa, alih-alih terlihat marah, dia justru terlihat imut.
"Baiklah, maafkan aku," kataku, tersenyum kecil.
Shinohara membalas dengan senyuman cerah. Senyum itu mengingatkanku pada sesuatu. Terakhir kali aku melihat senyum seorang wanita… kurasa itu dua tahun lalu, di dalam sebuah fasilitas yang tak bisa kuceritakan pada siapa pun.
Tiba-tiba, Shinohara berkata, "Apakah kamu punya teman masa kecil, Mumei?"
Aku memandangnya, agak bingung.
"Teman masa kecil ya? Hmm… kurasa ada beberapa. Tapi aku tidak yakin mereka masih mengingatku sekarang."
"Kenapa?"
"Sudah dua tahun aku terpisah dari mereka."
Shinohara tampak terkejut.
"Mereka?"
"Ya? Ada apa?"
"Yang kumaksud hanya satu… teman masa kecil yang benar-benar dekat denganmu."
"Ah begitu… kalau begitu, aku tidak punya."
"Tidak punya ya? Kalau aku ada."
Aku melirik ke arahnya. Dari ekspresinya, dia terlihat sedikit sedih.
"Boleh aku tahu siapa?"
"Ayanami Seiji."
Jangan tanya siapa itu, aku juga tidak tahu, gumamku dalam hati.
"E-eh… begitu ya," jawabku, mencoba terlihat tahu.
"Kurasa aku pernah mendengarnya."
"Dia itu orang yang dikagumi oleh semua siswa dan siswi di sekolah ini. Aku mulai mengaguminya sejak SMP."
"Pasti dia orang yang hebat, ya?"
"Yap, benar. Kami sudah terbuka sejak dulu. Saat dia punya masalah, dia selalu bercerita kepadaku… dan aku juga begitu."
"Bukankah itu hal yang bagus?"
"Tapi… sekarang aku merasa dia menyembunyikan sesuatu dariku. Seolah-olah dia tidak ingin aku mengetahuinya."
"Menurutku, kadang manusia memang butuh ruang untuk diri sendiri."
"Iya, kamu benar… Tapi setidaknya, aku ingin dia bercerita sedikit saja padaku."
"Kenapa begitu?"
Shinohara tiba-tiba berhenti berjalan. Ia menundukkan kepalanya, lalu berbicara pelan.
"Aku khawatir padanya. Dia kelihatan sedang menanggung sesuatu yang berat."
"Kenapa kamu tidak bilang langsung padanya?"
"Sudah. Tapi dia tidak mendengarkan."
Aku hanya bisa diam, menatap Shinohara yang masih menunduk.
"Nee, Mumei… menurutmu, semuanya akan baik-baik saja?"
"Aku tidak tahu… tapi kurasa iya, semuanya akan baik-baik saja."
Shinohara mengangkat kepalanya, lalu tersenyum lagi.
"Yap! Kamu benar. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Nanti juga dia pasti cerita sendiri padaku, kan?"
"Mungkin saja."
Shinohara… perasaan manusia memang sulit dimengerti. Bahkan oleh seseorang sepertiku. Tapi mungkin… ada saatnya manusia bisa saling memahami perasaan satu sama lain—mungkin lewat emosi yang cukup kuat.
"Baiklah, ayo kita beli minuman untuk mereka."
Shinohara berjalan kembali, kini di sampingku.
Tapi ketika aku berumur tiga tahun saja, aku tak pernah diajarkan cara memahami perasaan manusia. Yang diajarkan padaku hanyalah satu hal
"Pahamilah dirimu sendiri."
Di depan mesin penjual minuman, Shinohara langsung membeli beberapa botol air mineral dan minuman lainnya.
Mumei bertugas membawa sebagian dari minuman-minuman itu yang cukup banyak jumlahnya.
“Sepertinya sudah cukup,” kata Shinohara sambil tersenyum pada Mumei.
“Ya,” jawab Mumei singkat.
Mereka berjalan kembali menuju aula. Sepanjang perjalanan, keduanya tidak saling berbicara. Suasana sunyi mengiringi langkah mereka hingga tiba di aula sekolah.
Setibanya di aula, Shinohara berseru lantang untuk memanggil para siswa laki-laki yang sedang membantu.
“Hei! Teman-teman, aku bawa minuman!”
Para siswa laki-laki langsung menoleh ke arah Shinohara dan Mumei yang datang membawa minuman.
Salah satu siswa, Rikuya, menghampiri mereka sambil berseru, “Wah, beruntung sekali dibawakan minuman oleh Shinohara!”
“Hehe… Kamu terlalu melebih-lebihkan, Rikuya,” balas Shinohara.
Rikuya segera mengambil salah satu minuman dari tangan Shinohara. Ia memang terkenal seperti karakter di anime atau game yang suka merebut pacar orang lain.
Begitu minuman dari Shinohara habis, Siswa yang lain mulai mengambil dari tumpukan yang dibawa oleh Mumei. Untungnya, Mumei sudah menyiapkan sebotol air mineral untuk dirinya sendiri di dalam saku.
Ia berjalan mendekati tembok aula, bersandar sejenak, lalu duduk di bawah sambil meminum air mineral. Pandangannya mengarah pada Shinohara yang sedang bercakap-cakap dengan para siswa.
Saat melihat jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Sepertinya aku harus pulang, batin Mumei.
Ketika hendak meninggalkan aula, ia mendengar suara Shinohara yang tengah memberikan instruksi agar para siswa segera bubar.
Lorong sekolah tampak sepi. Beberapa lampu di lorong dan ruang kelas sudah dimatikan. Saat Mumei melewati depan ruang OSIS, tiba-tiba pintunya terbuka dan Taro keluar dengan wajah kesal.
“Aku tidak akan memberi tahu siapa pun tentang hal itu, tapi jangan ganggu kehidupanku dan keluargaku!” serunya dengan nada tinggi.
Taro bergegas pergi, sementara Mumei memutuskan untuk masuk ke dalam ruang OSIS.
“Ah, kamu sudah kembali ya, Mumei?” sambut Ketua OSIS dari balik meja, tersenyum ramah.
“Ya. Taro kenapa?” tanya Mumei.
“Oh, dia? Hanya sedikit salah paham. Aku menawarkan sesuatu yang menarik, tapi dia menolak dengan keras.”
Menarik? pikir Mumei dalam hati.
“Shinohara pasti sudah berkata macam-macam padamu, ya?” tanya Ketua OSIS tiba-tiba.
“Kenapa kau bisa tahu?”
“Aku sudah lama mengenalnya. Aku tahu sifatnya.”
“Dia bilang kalau dia khawatir padamu.”
“Huh-, dasar wanita merepotkan,” ujar Seiji datar. Ucapannya menyiratkan rasa tidak nyaman terhadap Shinohara.
“Kau seharusnya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Ketua OSIS.”
“Kau ingin ikut campur urusan pribadiku, Mumei?”
Mumei berbalik dan menjawab, “Tidak. Aku tak peduli dengan cerita yang di ceritakan oleh Shinohara. Yang membuat keputusan bukan aku soalnya.”
Tiba-tiba, Shinohara masuk ke ruangan dengan wajah ceria.
“Hei, apa yang kalian bicarakan?” tanyanya dengan senyum lebar.
“Kami hanya bertukar pikiran,” jawab Ketua OSIS cepat.
“Baiklah, aku pulang dulu,” kata Mumei sambil berjalan menuju pintu.
Dia memasang senyum palsu, pikir Mumei sambil menatap Shinohara dengan sekilas. Ia langsung pergi, meninggalkan mereka berdua.
Keesokan paginya, Mumei sengaja datang terlambat dan melihat Taro sudah duduk di mejanya.
“Pagi, Taro.”
“Pagi juga, Mumei.”
“Kenapa kamu pulang duluan kemarin?”
“Ah… Aku mengantuk,” jawab Taro canggung.
“Mengantuk? Huh… Ceritakan saja.”
Taro ragu sejenak, lalu berkata, “Aku melihat sesuatu di laptop bendahara OSIS.”
“Apa itu?”
“Catatan transaksi narkoba. Jumlah uangnya sangat besar. Tapi aku tak sempat mengambil bukti apa pun, aku ketahuan duluan.”
“Lalu?”
“Ketua OSIS mencoba mengajakku bergabung, tapi aku menolak. Dia mengancam akan melukai keluargaku. Tapi aku melawan—ayahku selalu bilang kalau kamu benar, maka lawanlah.”
“Bahaya sekali… Baiklah, kalau kamu butuh bantuan, aku akan membantumu.”
“Terima kasih, Mumei. Kamu teman terbaikku.”
Mumei duduk dan termenung.
Ketua OSIS adalah dalang peredaran narkoba? Tapi mengapa ia tidak menyembunyikan identitasnya? Mungkin ini jebakan? Atau ada alasan lain?
Ia menundukkan kepala ke meja. Percuma ditebak, lebih baik tunggu saja...
Saat istirahat, Taro kembali berbicara.
“Nanti ada debat calon ketua OSIS setelah jam istirahat. Kamu mau nonton?”
“Ya, aku nonton.”
“Baiklah, kita pergi bareng.”
Lima jam pelajaran berlalu. Bel istirahat berbunyi. Seperti biasa, mereka naik ke atap sekolah.
Setelahnya, mereka menuju aula untuk menghadiri debat calon ketua OSIS.
“Mumei, kamu dukung yang nomor berapa?”
“Aku? Aku Golput aja, aku nggak kenal siapa pun dari mereka.”
“Kamu ini… malas banget.”
“Ya percuma memilih kalau tak kenal siapa pun.”
Mumei sebenarnya tidak peduli dengan pemilihan OSIS, tapi ia berharap ketua baru bisa menjalankan tugas lebih baik.
Para siswa menunggu sekitar 30 menit sebelum debat dimulai.
Di tengah debat, Mumei keluar dengan alasan ke kamar mandi, padahal sebenarnya bosan.
Namun di perjalanan kembali, ia melihat Ketua OSIS sedang berbicara dengan salah satu calon ketua. Mereka kemudian pindah ke area sepi di samping gedung aula.
Mereka membicarakan sesuatu? Kalian pikir aku akan menghindar? Tentu tidak.
Mumei diam-diam mengintai dan menguping percakapan mereka dari balik tembok yang ada di sana.
“Kamu percaya diri sekali, ya?” kata Ketua OSIS.
“Kau sendiri yang janjikan aku menang.”
“Asal kau pegang kesepakatan kita, kemenangan pasti di tanganmu.”
“Cukup edarkan dua puluh barang kepada siswa sekolah lain, kan?”
“Bukan, lima puluh.”
“Huh... baiklah.”
Mumei diam-diam merekam percakapan mereka.
“Aku pergi dulu. Kita tak boleh terlihat bersama terlalu lama,” ucap Ketua OSIS sebelum pergi.
Mumei buru-buru pergi lebih dulu agar tak ketahuan. Namun baru beberapa langkah, terdengar suara memanggilnya.
“Mumei! Oi!”
Taro muncul. Mumei sedikit terkejut.
“Kamu dari mana saja? Lama banget.”
Mumei hanya tersenyum. Tak lama kemudian, Ketua OSIS muncul.
“Wah, Mumei dan Taro, sedang apa di sini?”
“Bukan urusanmu,” kata Taro dengan sinis.
“Kami habis ke kamar mandi,” jawab Mumei santai.
“Benarkah?”
“Menurutmu?” balas Mumei.
“Pfftt… Baiklah. Aku pergi dulu, Mumei…”
Ketua OSIS pergi, meninggalkan mereka.
Huh… sepertinya ketahuan. Ya sudahlah, gumam Mumei dalam hati.
“Oi Mumei, jangan bengong. Ayo pergi dari sini.”
“Ya, kamu benar.”