Mumei berjalan menuju aula sekolah ketika Taro memanggilnya.
"Kamu mau ke mana, Mumei?" tanya Taro.
"Kita akan kembali ke aula, kan?" jawab Mumei bingung.
"Sudah berakhir," ucap Taro datar.
"Apanya?"
"Acara OSIS-nya. Sudah selesai."
Beberapa siswa terlihat keluar dari aula dan kembali ke kelas masing-masing.
Oi, oi… yang benar saja, gumam Mumei dalam hati.
---
Di dalam kelas
Taro dan Mumei merapikan tas, bersiap pulang.
"Aku duluan, ya," ujar Taro.
Mumei menoleh dan mengangguk. "Ya, baiklah."
Taro keluar dari kelas dan berjalan menyusuri lorong. Tak lama kemudian, Mumei menyusul.
Di pertengahan lorong, Mumei melihat Ketua OSIS berjalan sendirian. Tatapan mereka saling bertemu sejenak. Mereka berpapasan tanpa sepatah kata, namun setelah melewati satu sama lain, mereka berhenti. Keduanya berdiri membelakangi satu sama lain.
"Kamu pasti tahu siapa aku sebenarnya, kan?" suara Ketua OSIS memecah keheningan.
"Apa maksudmu? Aku tidak paham sama sekali," jawab Mumei tanpa membalikkan badan.
"Jangan bohong. Taro pasti sudah menceritakan semuanya."
"Ah… soal itu, ya?"
"Benar. Kalau kamu tertarik, kamu bisa bergabung dengan kelompokku dan menjadi anggota OSIS. Tawaran yang menarik, bukan?"
"Itu memang menarik. Tapi... aku tidak ingin repot."
"Sayang sekali, Mumei."
"Maaf ya, Ketua OSIS."
"Tidak apa-apa... Tapi mulai sekarang, anggotaku akan membuat hidupmu menderita."
Mumei sedikit menoleh. "Apa maksudmu?"
"Kamu dan Taro menolak tawaranku. Itu sama saja dengan menentangku."
"Padahal aku belum melapor ke siapa pun…"
"Aku tidak peduli."
Ketua OSIS menoleh sedikit ke belakang dan tersenyum sinis.
Mumei kini berbalik dan menghadapnya. Dengan tenang, ia berkata, "Kalau begitu, biar aku beri tahu sesuatu, Ketua OSIS."
"Apa?"
"Aku menyukai Shinohara… dan besok aku akan menyatakan perasaanku."
Ketua OSIS terdiam. Matanya menunduk, terlihat ada rasa kecewa dan kesal tersembunyi dalam suaranya saat ia berkata pelan, "Begitu, ya… Semoga beruntung."
Tanpa menoleh lagi, ia pergi meninggalkan Mumei yang masih berdiri memandanginya.
---
Di Apartemen Mumei
Sesampainya di apartemen, Mumei melepas sepatu dan duduk di sofa. Ia menyalakan ponsel dan menelpon Taro.
"Halo, Mumei. Ada apa?" sahut Taro.
"Aku ingin membicarakan hal penting."
"Apa itu?"
"Ketua OSIS sedang mengincar kita."
"Apa?! Benarkah?!"
"Ya."
"Hmm… Kita harus segera membuat rencana."
"Kamu benar."
"Kamu sudah memikirkan sesuatu?"
"Tidak... aku kurang pandai membuat rencana."
"Ugh—aku juga! Tapi aku akan coba pikirkan. Kita bahas di sekolah besok."
"Baik. Aku tunggu."
"Tunggu, Mumei. Kamu tahu dari mana dia mengincar kita?"
"Aku menanyakannya langsung padanya."
"APA?! Kamu gila juga ya, Mumei."
"Maaf~"
"Baiklah. Sampai besok."
---
Keesokan Harinya
Pagi itu di kelas, Taro terlihat lesu. Mumei menyapanya.
"Selamat pagi, Taro."
"Yaa... Mumei..."
"Kamu kenapa?"
"Tidak bisa tidur semalaman mikirin rencana."
"Kalau aku sih... nonton anime."
"Kamu santai banget, ya."
"Enggak juga. Aku juga takut, cuma nggak kelihatan aja," jawab Mumei sambil tersenyum.
Setelah lima jam pelajaran, Taro masih belum menemukan rencana. Ia keluar kelas dengan lemas. Teman sebangku Mumei menegur.
"Dia kenapa? Lemas banget."
"Kurang tidur," jawab Mumei.
"Dia harus tidur di ruang perawatan tuh."
"Ya, kamu benar."
"Baru kali ini aku ngobrol sama kamu. Kayaknya kamu nggak seaneh yang dikira."
Mumei tersenyum malu. "Y-ya... begitulah."
"Mulai sekarang, mohon bantuannya ya, Mumehara."
"Panggil aku Mumei aja."
"Oke. Aku Shura."
(Nama aslinya Vxyla dan di panggil Vikshura jadi panggil Shura saja)
---
Gudang Penyimpanan
Taro mengajak Mumei ke gudang alat olahraga. Di sana, seorang laki-laki sudah menunggu mereka.
"Jadi kamu Mumei, ya?" ucapnya.
"Ya. Maaf kalau tidak sesuai ekspektasimu."
"Ah, tidak apa-apa. Aku Satou Amagami, salah satu kandidat Ketua OSIS. Aku punya rencana... tapi kalian harus bekerja sama denganku."
"Aku setuju!" seru Taro cepat-cepat.
Mumei terkejut, menatap Taro. Oi oi, dia langsung terima aja.
"Kalau aku, mau saja... asal dengar dulu rencanamu."
"Baik. Rencananya kita menyusup ke ruang OSIS malam ini. Diam-diam."
"Ide bagus!"sahut Taro.
"Maaf, aku tidak bisa malam ini. Ada kerja part time."
"Kalau begitu, aku dan Taro yang akan melakukannya."
Mumei meninggalkan mereka dan berjalan di lorong. Ia sadar ada tiga orang mengawasinya, tapi ia cuek dan melanjutkan langkahnya.
---
Sore Hari
Sepulang sekolah, Mumei mampir ke toko pembuatan topeng.
"Rikuu, aku datang!"
"Selamat datang, Mumei-chan~" sapa Riku sambil tersenyum lebar. "Topengmu sudah jadi. Ikuti aku ke belakang."
Riku membuka kain merah yang menutupi topeng. Topeng putih itu memiliki garis hitam di sekitar mata dan bibirnya membentuk senyum lebar yang menyeramkan.
"Ini lumayan keren, Riku."
"Jangan remehkan aku~" ucap Riku bangga. "Dan ini gratis!"
"Gratis? Kamu yakin?"
"Ya. Aku ingin melihat bagaimana kamu menggunakannya."
"Terima kasih, Riku."
"Kalau rusak, bawa ke sini. Aku perbaiki."
Mumei memasukkan topeng ke tasnya dan bersiap pergi.
"Aku harus pergi sekarang."
"Baiklah. Hati-hati, Mumei-chan."
Mumei pun berlari keluar dari toko, membawa topeng dan rencana dalam pikirannya.
---
Senja mulai memudar. Di atap sekolah, jam menunjukkan pukul lima sore. Taro tengah duduk bersila, mengetik cepat di atas laptopnya. Di sampingnya, Satou berdiri dengan ekspresi serius, memandang langit yang mulai gelap.
"Taro, kau sudah membawa perlengkapan untuk bertarung, kan?" tanya Satou sambil melirik ke arah temannya.
"Ya, semua sudah siap," jawab Taro tanpa berhenti mengetik.
"Bagus."
Satou membuka tas khusus yang ia bawa dan mengeluarkan sebuah busur panah berkilau. Senjata itu tampak mewah dan berkualitas tinggi.
Taro menatapnya takjub. "Panah itu... keren sekali!"
"Ini warisan keluargaku. Telah digunakan oleh para leluhurku sejak dulu. Kini, giliran aku menggunakannya."
"Hebat. Senjata sekelas itu pasti sangat berguna nanti."
"Serahkan saja padaku," ucap Satou dengan senyum percaya diri.
Keduanya saling tersenyum, yakin bahwa mereka bisa menghadapi apapun yang menanti malam ini.
Pukul sembilan malam tiba. Saatnya mereka bergerak.
Dengan hati-hati, mereka menuruni tangga dari atap menuju lantai tiga. Suasana sekolah benar-benar sepi.
"Kelihatannya tak ada orang," bisik Taro.
"Ya, ini waktu yang tepat. Tujuan utama kita: ruang OSIS," balas Satou.
"Itu ada di lantai satu, di pojok gedung sebelah kanan, kan?"
"Betul. Kita harus turun dulu lalu berjalan ke sana. Tak ada jalan lain."
Satou melangkah lebih dulu, diikuti Taro dari belakang. Di tengah perjalanan, Taro berkomentar, "Kenapa tadi kita tidak bersembunyi saja di gudang alat olahraga?"
"Itu ide buruk. Gedung olahraga terpisah dari gedung sekolah ini, dan CCTV hanya dipasang di luar gedung sekolah."
"Begitu... jadi di luar ada CCTV."
Sesampainya di lantai satu, mereka berjalan menuju bagian kanan gedung. Suara langkah kaki mereka menggema di lorong kosong.
Tiba-tiba, muncul siluet seseorang di ujung lorong. Keduanya mendekat tanpa ragu.
Sosok itu ternyata adalah Ketua OSIS, berdiri sambil menyilangkan tangan seolah memang sudah menunggu.
"Lihat siapa yang datang ke kandang singa di malam hari," ucapnya dengan senyum tajam.
Satou menyeringai. "Kami disambut rupanya. Terima kasih atas keramahanmu."
"Tak masalah. Mari kita selesaikan ini."
Ketua OSIS menghunus belati dari pinggangnya, lalu melesat cepat ke arah mereka berdua.
Taro dan Satou terkejut akan kecepatannya.
"Cepat sekali..." batin mereka bersamaan.
Namun, Satou dengan sigap menahan serangan itu dengan busurnya. Dentuman keras terdengar saat belati beradu dengan batang besi busur, menghasilkan hempasan angin tajam.
Ketua OSIS menyeringai. "Heh… kelas Archer ya? Tapi senjata itu tak berguna dalam pertarungan jarak dekat!"
Sekejap kemudian, ia melayangkan tendangan ke perut Satou.
"Ughh!"
Satou terpental keras, jatuh terguling di lantai.
Taro kaget, lalu berteriak, "Satou!!"
Namun sebelum ia sempat berbalik, Ketua OSIS sudah berada di belakangnya.
"Jangan pernah alihkan pandangan dari musuhmu," bisiknya.
Tangannya mencengkeram wajah Taro, lalu melemparkan tubuhnya keras ke arah jendela.
"Aaakhh!!"
Kaca jendela pecah berhamburan saat kepala Taro membentur keras. Tubuhnya terlempar keluar, jatuh di halaman sekolah, terkapar tak bergerak.
Kesadarannya perlahan memudar.
Lalu gelap.
...
Beberapa saat kemudian, kesadarannya mulai kembali. Kabur. Samar. Tapi perlahan, dunia terasa nyata kembali.
ku tidak bisa bergerak.
Kesadaranku baru perlahan-lahan kembali. Pandanganku buram, tapi sedikit demi sedikit menjadi jelas. Dari jendela, aku melihat ke arah lorong sekolah.
Di sana—Satou dan Ketua OSIS sedang bertarung sengit.
Satou membidik dengan busur sihirnya, lalu melepas tiga anak panah sekaligus ke arah Ketua OSIS. Panah-panah itu melesat cepat, menyala dengan aura magis api.
Namun Ketua OSIS menangkis semuanya. Dengan gerakan luar biasa cepat, ia mengayunkan dagger miliknya, menepis ketiga panah dengan presisi mematikan.
Dalam sekejap, Ketua OSIS melesat ke arah Satou. Dia menebaskan dagger-nya ke kepala Satou. Satou sempat menghindar, tapi pisau itu masih menggores pipinya. Wajahnya menyeringai menahan sakit. Ia mundur selangkah, menarik satu anak panah lagi.
Dengan cepat, Satou membidik kembali. Api menyelimuti anak panah di tangannya.
"Flame to form, arrow ignite. Target: ketua osis. Burn through shadow — strike!"
Anak panah yang membara itu dilepaskan ke arah lawannya.
Ketua OSIS segera merespons. Dia mengangkat dagger-nya dan merapalkan sesuatu
"Winds awaken, thunder bite—
Forge my dagger with storm and might!
Stormfang — Release!"
Rapalan ini membangkitkan badai ke dalam belati, membuat setiap serangan disertai sambaran petir atau hembusan angin tajam.
Belati-nya menebas panah yang mendekat.
Ledakan besar pun terjadi. Badai angin bercampur api menyapu lorong sekolah. Dinding-dinding runtuh, kaca jendela pecah berkeping-keping.
Saat debu mereda, Satou terlihat tergeletak di antara reruntuhan.
Sementara itu, Ketua OSIS masih berdiri tegak, tak terluka, di tengah kekacauan.
Tatapannya kini beralih ke halaman sekolah—tempat Taro terduduk lemas di tanah.
Taro buru-buru membuka laptopnya. Jemarinya mengetik cepat di atas keyboard, merapalkan sihir berbasis sistem:
"Protocol Terra-C12: Foundation Synch.
Generate Construct: Type Lithos.
Amplify Core — Terraforming Sequence:
Execute: Stoneattack Genesis!"
Tanah di sekeliling Taro bergetar, lalu terangkat membentuk formasi bulat lonjong dan besar. Batu-batu itu melesat menuju Ketua OSIS.
Namun dia melompat ringan dari satu batu ke batu lainnya—menghindar dengan kecepatan luar biasa. Dalam sekejap, dia sudah tepat di depan Taro.
Satu pukulan keras menghantam wajah Taro. Tubuhnya terpental, jatuh berguling di tanah.
Ketua OSIS mengangkat dagger-nya ke langit. Tatapannya gelap. Rapalan sihir yang sangat kuat keluar dari bibirnya:
"Storm rise, blade fly,
Slice the sky — Tempest Fang!"
Rapalan ini menciptakan efek badai mini di sekitar dagger: angin memotong, Efeknya bisa berupa serangan area kecil, tebasan angin, atau petir menyambar musuh terdekat.
Angin badai mini muncul tiba-tiba, mengamuk di sekitar mereka. Angin itu tajam seperti bilah pisau, mencabik-cabik apapun yang disentuhnya—kecuali dirinya.
Taro berlari sekuat tenaga, keluar dari jangkauan pusaran itu. Saat berhasil keluar, tubuhnya dipenuhi luka goresan. Bajunya robek-robek, wajahnya penuh luka.
Ketua OSIS mematikan sihirnya. Dia melangkah perlahan mendekati Taro, suaranya rendah dan dingin
"Cuma segini saja kemampuan kalian berdua, ya?"
Senyum mengerikan tersungging di wajahnya. Langkahnya mantap, penuh dominasi.
Ketua OSIS menatap tajam ke arah Taro, senyumnya menyeramkan. Langkahnya perlahan tapi pasti mendekati Taro.
Taro dengan cepat mengetik di laptopnya.
"Protocol Terra-C18: Dual Pillar Sync.
Generate Construct: Type Litho-Wall [Left/Right].
Amplify Core — Seismic Compression Mode: Normal.
Execute: Earthburst Convergence!"
Dua dinding tanah raksasa muncul di kanan dan kiri Ketua OSIS, mengepungnya. Ia sempat menoleh ke kanan dan kiri, menilai situasi.
Taro menekan tombol enter. Seketika, kedua dinding itu bergerak cepat ke arah tengah, hendak menjepit Ketua OSIS.
Namun, Ketua OSIS segera bersiap. Ia menebaskan belatinya dan merapalkan sihir.
"O Storm, heed my blade—
Tempest Fang: Storm Slash!"
Tebasannya memicu badai angin bercampur petir. Hembusan tajam itu menyapu dan menghancurkan dua dinding batu dalam satu tebasan kuat.
Tanpa ragu, Ketua OSIS langsung menyerang Taro. Belati-nya menebas dada Taro—darah memercik.
"Ughhh...! Sial..." desis Taro.
Ia terjatuh ke tanah, luka di dadanya dalam dan menyakitkan. Tak mampu bergerak, ia menggeliat kesakitan.
Ketua OSIS berdiri di atasnya.
"Sudah berakhir..."
Tanpa menoleh, ia meninggalkan Taro yang tergeletak. Namun, di tengah jalan ia dihentikan oleh sesosok misterius—seorang pria bertopeng.
Topengnya putih, dihiasi garis hitam di sekitar mata dan bagian mulutnya membentuk senyum lebar yang menyeramkan.
"Ada satu lagi pengganggu rupanya," gumam Ketua OSIS dingin.
"Pengganggu? Aku bukan pengganggu," jawab si bertopeng.
"Ya terserah, aku tak peduli. Siapa kau?"
"Seseorang yang ingin membantu mereka yang sedang dalam kesulitan."
"Begitu ya... baik sekali kamu ini."
Ketua OSIS langsung menyerang dengan kecepatan tinggi, menebas ke arah si bertopeng. Tapi serangannya dihindari dengan mudah.
"Refleksmu cukup cepat," komentar Ketua OSIS.
"Kurasa bukan begitu."
"Maksudmu?"
"Gerakanmu saja yang terlalu lambat."
Wajah Ketua OSIS memerah karena marah. Ia menyerang bertubi-tubi. Si bertopeng terus menghindar sambil mundur, langkahnya tenang tapi fokus.
Namun tak lama, satu tebasan dan beberapa tebasan berhasil melukai jaket si bertopeng. Serangan lanjutan berupa tendangan menghantam perutnya. Tubuhnya terpental menghantam tembok sekolah—retakan muncul.
Hampir saja… Gila juga kekuatan fisiknya, gumam orang yang memakai topeng dalam hati.
Tiba-tiba, sebuah pukulan keras menghantam perutnya dari sisi lain.
"Aaghhh!"
Tubuhnya menembus tembok dan terlempar masuk ke ruang sastra. Ia terseret beberapa meter sebelum akhirnya tergeletak di ruang sastra.
Sial... Aku bahkan tak menyadari serangan itu lebih dulu… pikirnya sambil mencoba bangkit.
Asap reruntuhan mulai mereda, memperlihatkan sosok baru—seorang preman berotot, berjalan santai ke arahnya sambil tertawa.
"Ternyata benar... Kamu memang sekolah di sini."
Jangan-jangan… preman yang pernah kulawan waktu itu? pikir si bertopeng.
"Apa maksudmu? Aku tak mengerti..."
"Jangan bodoh. Kau kira aku tidak tahu?"
"Tahu darimana?"
"Saat kutebas jaketmu dan robek, aku melihat seragam sekolahmu. Dan karena kamu mengintai kami sejak awal, sekolah terdekat pastilah ini."
Heh... Hebat juga. Kupikir dia cuma bisa pakai otot, ternyata bisa mikir juga…
Preman itu melompat ke depan, kini dengan dua pisau di tangan. Ia menyerang membabi buta. Si bertopeng terus menghindar, tapi gerakan lawan makin cepat, hingga sempat menggores bajunya.
Ia mencoba melompat menjauh—namun tiba-tiba, serangan mendadak dari Ketua OSIS kembali menghantamnya.
Ia terpental lagi, menghancurkan bagian lain dari tembok, dan terlempar ke lorong sekolah.
Preman berotot langsung menyusul, menebas dengan brutal.
Si bertopeng segera melompat ke kanan dan berlari menyusuri lorong.
Satu lawan dua dalam kondisi seperti ini? Jelas tidak menguntungkan. Mereka punya senjata… sedangkan aku tidak.
Kalau begini terus… bakal merepotkan banget.
Ia terus berlari, menghindari serangan dua musuh yang jauh lebih bersenjata dan agresif.