Ruangan ekskul penelitian terasa sunyi seperti biasa. Yonami Ritsu duduk di meja panjang, jari-jarinya mengetuk ringan permukaan laptopnya. Grafik hasil eksperimen terpampang di layar, berisi perhitungan rumit yang hanya bisa dipahami oleh segelintir orang.
Cahaya sore menyorot masuk melalui jendela, menimbulkan bayangan panjang di ruangan yang hanya diisi oleh satu orang—dirinya sendiri.
Ekskul ini bukanlah ekskul populer. Bahkan, bagi sebagian besar siswa, ini hanya sekadar nama di daftar klub yang tidak menarik untuk diikuti. Tidak ada kompetisi, tidak ada acara besar, dan yang paling penting, tidak ada anggota lain.
Namun, bagi Ritsu, ekskul ini adalah tempat ia bisa menenggelamkan dirinya dalam obsesinya tanpa gangguan.
Tapi hari itu berbeda.
Pintu ruangan terbuka dengan bunyi decitan kecil.
Ritsu mengangkat kepalanya, sedikit terganggu. Ia mengira itu hanya guru yang kebetulan melintas, atau mungkin staf sekolah yang ingin mengecek ruangan. Namun, yang ia lihat bukanlah wajah familiar.
Seorang murid laki-laki berdiri di ambang pintu.
Rambutnya hitam, sedikit berantakan, dengan poni yang jatuh menutupi sebagian dahinya. Mata hitamnya tajam namun tidak menunjukkan banyak ekspresi, hanya tatapan datar yang seolah menilai segala sesuatu di sekitarnya.
Ia melangkah masuk tanpa ragu, seakan sudah mengenal tempat ini sejak lama.
Ritsu menutup laptopnya perlahan. "Kau siapa?"
Laki-laki itu tidak langsung menjawab. Ia melirik ruangan sebentar, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke Ritsu.
"Yonami Ritsu, ketua ekskul penelitian, kan?"
Nada bicaranya datar, tanpa basa-basi.
Ritsu menyandarkan punggungnya ke kursi, memperhatikan murid itu dengan sedikit kecurigaan. "Iya. Dan kamu siapa?"
"Masasuke Touma. Murid baru," jawabnya singkat.
Ritsu diam sejenak. Murid baru? Biasanya murid baru tidak akan langsung mencari ekskul yang bahkan hampir tidak ada anggotanya.
"Kenapa kamu ada di sini?" tanyanya, sedikit skeptis.
Touma memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Aku ingin bergabung ke ekskul ini."
Ritsu menaikkan satu alis. "Serius?"
"Kelihatannya begitu."
Jawaban itu terlalu santai untuk seseorang yang baru pertama kali datang ke ruangan ini. Ritsu tidak langsung menanggapinya. Ia hanya mengamati murid itu sebentar, mencoba mencari tahu apakah ini semacam lelucon.
"Tahu ini ekskul apa?" tanya Ritsu akhirnya.
Touma mengangguk. "Ekskul penelitian. Fokusnya ke ilmu pengetahuan dan hal-hal di luar pemahaman umum."
Jawaban itu benar, tapi ada sesuatu dalam cara Touma mengatakannya yang terasa aneh bagi Ritsu.
"Kebanyakan orang tidak tertarik dengan ekskul ini," lanjut Ritsu, masih mengamatinya. "Malah kebanyakan orang menganggapnya membosankan."
"Kalau begitu, aku bukan kebanyakan orang," jawab Touma santai.
Jawaban itu membuat Ritsu terdiam. Ia tidak suka berbasa-basi, tapi ada sesuatu dari anak ini yang terasa… berbeda.
"Jadi?" Ritsu menyilangkan tangan di dada. "Apa alasanmu ingin bergabung?"
Touma menatapnya sesaat, lalu berbicara dengan nada tenang.
"Karena aku tahu sesuatu yang mungkin menarik bagimu."
Ritsu menunggu kelanjutannya, tapi yang ia dapatkan hanya tatapan kosong dari Touma.
"Apa itu?" desaknya akhirnya.
Touma menundukkan kepalanya sedikit, lalu tersenyum tipis. "Dimensi keempat."
Jantung Ritsu berdebar. Kata-kata itu langsung memukul titik terlemahnya—sesuatu yang selama ini hanya bisa ia pikirkan sebagai teori belaka.
Ia mencoba menyembunyikan keterkejutannya, tapi tak bisa menahan gelombang rasa ingin tahu yang langsung menyerangnya.
"Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya lebih rendah dari sebelumnya.
Touma melangkah sedikit lebih dekat, lalu bersandar pada meja. "Aku bisa membawamu ke sana."
Hening.
Angin dari jendela yang sedikit terbuka berhembus, menggoyangkan tirai tipis di sudut ruangan.
Ritsu menatapnya lekat-lekat. Tidak ada tanda bahwa ia bercanda. Hanya keyakinan yang dingin, tanpa keraguan.
"Jangan asal bicara," kata Ritsu, mencoba bersikap skeptis meski dalam hatinya ia mulai goyah. "Kalau memang begitu, tunjukkan buktinya."
Touma tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengangkat tangannya, lalu menggesekkan dua jarinya di udara.
Dan sesuatu yang mustahil terjadi.
Ruangan terasa bergetar sesaat, dan di hadapan mereka, udara seperti terkoyak. Retakan tipis berwarna keunguan muncul di udara, seolah-olah ruang itu sendiri terbelah. Cahaya aneh berpendar dari celah itu, dan di dalamnya, Ritsu melihat sesuatu yang tak bisa dijelaskan—sesuatu yang tidak seharusnya ada dalam dunia ini.
Matanya membelalak.
Touma menutup celah itu dengan satu gerakan, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Ia menatap Ritsu dengan ekspresi datar.
"Masih tidak percaya?" tanyanya.
Ritsu merasakan napasnya memburu. Tangannya mengepal di atas meja, berusaha meredam getaran kecil akibat keterkejutannya.
Dia tahu. Mulai hari ini, hidupnya tidak akan sama lagi.