Angin sore menyapu halaman rumah bergaya kolonial itu, membawa serta aroma tanah basah setelah hujan pagi. Laila memandangi langit dari balik jendela kamarnya. Matanya menatap kosong, namun pikirannya berkelana ke mana-mana. Tangannya masih memegang amplop cokelat tua yang baru saja diberikan ibunya.
“Laila, ini dari Papa. Dulu dia titipkan ini ke Ibu kalau suatu hari kamu sudah cukup dewasa,” kata Bu Ratna sambil meletakkan teh hangat di meja kecil di dekat ranjang putrinya.
Dengan hati-hati, Laila membuka amplop itu. Di dalamnya, ada sepucuk surat bertuliskan tangan ayahnya, almarhum Pak Fadli.
"Anakku Laila,
Semoga saat kamu membaca surat ini, kamu sudah menjadi perempuan kuat seperti yang selalu Papa bayangkan.
Papa dan Om Ilham pernah membuat janji, jauh sebelum kamu lahir. Kami ingin anak-anak kami bersatu, agar persahabatan kami tetap hidup dalam ikatan keluarga.
Papa tahu mungkin kamu tidak setuju, tapi Papa percaya pada takdir. Jika suatu hari kamu bertemu Arka dan hatimu berkata tidak, maka abaikan surat ini.
Tapi jika hatimu ragu, cobalah beri kesempatan.
Dengan cinta,
Papa.”
Laila terdiam. Surat itu seperti menghantamnya dengan kenyataan yang tidak pernah ia duga. Arka. Nama itu bukan asing. Ia ingat samar-samar, pernah bermain bersama anak lelaki pendiam itu saat kecil. Setelah dewasa, mereka tak pernah bertemu lagi.
"Jadi, kamu sudah tahu sekarang," suara Ibu lembut, tapi sarat makna.
Laila menatap ibunya, lalu kembali ke surat di tangannya. Perasaannya campur aduk—marah, bingung, tapi juga penasaran.
“Apa Arka tahu tentang ini?”
Ibunya mengangguk. “Dan keluarganya ingin bicara.”
Kamu dijodohkan dengan Arka.
Papa tahu mungkin kamu tidak setuju, tapi Papa percaya pada takdir. Jika suatu hari kamu bertemu Arka dan hatimu berkata tidak, maka abaikan surat ini.
Tapi jika hatimu ragu, cobalah beri kesempatan.
Dengan cinta,
Papa.”
Laila terdiam. Surat itu seperti menghantamnya dengan kenyataan yang tidak pernah ia duga. Arka. Nama itu bukan asing. Ia ingat samar-samar, pernah bermain bersama anak lelaki pendiam itu saat kecil. Setelah dewasa, mereka tak pernah bertemu lagi.
"Jadi, kamu sudah tahu sekarang," suara Ibu lembut, tapi sarat makna.
Laila menatap ibunya, lalu kembali ke surat di tangannya. Perasaannya campur aduk—marah, bingung, tapi juga penasaran.
“Apa Arka tahu tentang ini?”
Ibunya mengangguk. “Dan keluarganya ingin bicara.”
Laila berdiri dan berjalan ke jendela. Di luar, senja mulai menjingga. Surat itu mungkin hanya selembar kertas, tapi bagi Laila, itu adalah permulaan dari sebuah cerita yang akan mengubah hidupnya.
Sabtu sore di sebuah kafe berkonsep industrial-minimalis. Laila duduk di pojok ruangan dekat jendela besar. Jari-jarinya mengetuk pelan gelas kopi yang mulai mendingin. Ia datang lebih awal dari yang dijanjikan. Mungkin karena gugup. Atau mungkin... penasaran.
Hatinya masih belum bisa menerima kenyataan bahwa ia, seorang arsitek muda yang bebas dan mandiri, kini harus duduk menanti seorang pria yang dijodohkan dengannya. Seolah hidupnya adalah naskah film zaman dulu.
Lalu pintu kafe terbuka. Sosok itu datang.
Arka.
Tinggi, berwajah tenang, mengenakan kemeja hitam dan celana abu-abu. Rambutnya rapi, wajahnya sedikit lebih dewasa dari yang Laila ingat. Tapi tatapan dingin dan pembawaan tertutup itu—masih sama.
“Laila.” Suaranya berat, pelan. Sekadar formalitas.
Laila tersenyum tipis. “Arka.”
Ia duduk di depannya, langsung membuka menu, seperti ingin menyibukkan diri dari tatapan lawan bicaranya. Keheningan menyelimuti mereka beberapa saat.
"Aku nggak tahu harus ngomong apa duluan," Laila akhirnya membuka percakapan.
Arka menutup menu. “Aku juga nggak yakin kenapa kita harus ketemu. Tapi, orang tua kita sepertinya sudah sepakat lebih dulu.”
Nada suaranya datar. Seolah ia sedang membahas kontrak kerja, bukan perjodohan.
Laila menghela napas. “Aku tidak marah soal surat itu. Tapi ini terlalu tiba-tiba. Kita bahkan nggak saling kenal.”
Arka menatapnya lekat-lekat untuk pertama kalinya. “Kita pernah kenal. Waktu kecil.”
Laila tertawa kecil, agak sinis. “Main sepeda bareng dua kali itu nggak termasuk kenal, Arka.”
Arka mengangguk pelan. Lalu, ia bersandar ke kursi. “Kamu masih punya cita-cita ke luar negeri?”
Laila terkejut. “Kok kamu tahu?”
“Papa kamu cerita ke Papa aku. Dan sekarang perusahaan arsitekturmu baru dapat proyek besar di Bali, kan?”
Laila menyipitkan mata. “Kamu ngecek aku?”
Arka mengangkat bahu. “Aku cuma ingin tahu siapa calon istri yang dipilihkan untukku.”
“Calon istri?” Laila hampir tersedak kata-katanya sendiri. “Tunggu. Jadi kamu... menyetujui ini?”
Untuk pertama kalinya, raut wajah Arka berubah. Sekilas, ada emosi yang menyelinap di balik ekspresinya. Entah marah, bingung, atau kecewa.
“Aku tidak menolak. Tapi bukan berarti aku setuju.”
Laila terdiam. Arka juga.
Pelayan datang membawa pesanan mereka—dua cangkir kopi hitam, dan sepotong kue cokelat yang ternyata dipesan Arka untuk Laila.
"Aku ingat kamu suka cokelat," katanya singkat.
Dan entah kenapa, di tengah kecanggungan dan kebingungan itu, kalimat sederhana itu membuat jantung Laila berdetak sedikit lebih cepat.
---
> Apakah ini sekadar basa-basi... atau awal dari sesuatu yang tak terduga?
"Terima kasih telah membaca sampai akhir"