•2 Tawaran yang sulit Ditolak

Hujan rintik-rintik turun saat Laila menginjakkan kaki di rumah keluarga Arka. Rumah besar bergaya modern minimalis itu terasa asing, dingin, dan sunyi. Lantai marmernya berkilau sempurna, seakan terlalu bersih untuk disinggahi percakapan hangat.

Ia datang bukan karena ingin, tapi karena Ibu memintanya hadir dalam makan malam keluarga. Ibu Arka, Tante Rina, sudah lama menantikan pertemuan ini. Arka? Belum tentu.

"Selamat datang, Laila," sapa Tante Rina hangat. “Semakin cantik, ya. Persis seperti waktu kecil.”

Laila tersenyum canggung. “Terima kasih, Tante.”

Malam itu, meja makan disiapkan dengan penuh kemewahan. Di antara gelas kristal dan cahaya lampu gantung yang hangat, percakapan terjadi—tentang masa kecil, tentang janji, dan tentang masa depan.

“Kalau kalian berdua setuju, kami ingin mulai membicarakan pertunangan,” kata Tante Rina tiba-tiba.

Laila terbatuk pelan, hampir tersedak sup ayam di depannya. Ia menoleh pada Arka, berharap pria itu akan menolak. Tapi Arka hanya menatap kosong ke arah piring.

“Aku pikir kita belum sampai ke tahap itu,” Laila akhirnya berkata, berusaha tetap sopan.

Tante Rina tersenyum, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang lain. “Takdir kadang datang lebih cepat dari rencana, sayang.”

Setelah makan malam selesai, Laila duduk sendiri di taman belakang rumah Arka. Suara air mancur dan hujan yang mulai reda menjadi latar sunyi pikirannya yang gaduh.

Lalu, langkah kaki terdengar. Arka datang.

“Mereka serius, ya?” kata Laila tanpa menoleh.

“Sejak lama,” jawab Arka singkat. Ia duduk di sampingnya, menjaga jarak.

“Kamu tahu... aku nggak suka dipaksa,” ucap Laila pelan.

“Aku juga,” Arka balas. “Tapi kadang kita nggak punya pilihan.”

Laila menoleh ke arahnya. “Kenapa kamu nggak menolak aja dari awal?”

Arka terdiam. Lalu, ia menatap langit, seolah mencari jawaban di balik awan.

“Karena aku punya hutang budi pada ayahmu.”

Laila mengernyit. “Apa maksudmu?”

Arka tampak ragu, lalu berkata pelan, “Ayahmu pernah menyelamatkan hidup keluargaku… secara harfiah.”

Laila menatapnya, bingung.

“Waktu perusahaan Papa hampir bangkrut dulu, yang membantu diam-diam adalah almarhum Papa kamu. Tapi bukan itu saja...” Arka menunduk.

Laila menahan napas.

“Ada satu lagi. Dulu... waktu SMA, aku hampir dikeluarkan dari sekolah karena sebuah insiden. Ayahmu tahu. Tapi dia tutup mulut dan bantu bersihkan semuanya, asal aku berjanji satu hal: menjaga kamu.”

Laila terdiam. “Menjaga aku?”

Arka mengangguk. “Aku pikir itu cuma janji klise. Tapi belakangan... semua ini mulai terasa seperti beban. Karena aku punya rahasia yang bahkan kamu pun nggak tahu.”

Wajah Laila berubah. Ada rasa takut muncul dalam hatinya.

“Apa itu, Arka?”

Arka menatap matanya dalam-dalam. Tapi bukannya menjawab, ia berdiri dan berkata pelan, “Mungkin kamu akan membenciku kalau tahu. Dan aku belum siap kehilangan kesempatan... untuk mengenal kamu lebih jauh.”

Lalu ia pergi, meninggalkan Laila yang terpaku di bawah cahaya lampu taman.

Dalam hening malam itu, Laila sadar—perjodohan mereka bukan sekadar janji dua keluarga. Ada sesuatu yang lebih gelap, lebih dalam... dan mungkin lebih berbahaya dari yang ia duga.

.~

> Rahasia apa yang disembunyikan Arka?

Dan apakah Laila siap menghadapi kebenaran, meski bisa meruntuhkan kepercayaan yang tersisa?

Langit Jakarta tampak kelabu pagi itu, seolah ikut menyerap kegelisahan yang memenuhi benak Laila. Duduk di studio arsitek miliknya yang baru setengah jadi, ia memandangi denah proyek yang terhampar di mejanya. Tapi pikirannya tak berada di sana. Ia kembali ke malam di rumah Arka, ke kalimat terakhir yang tak selesai diucapkan pria itu.

"Aku punya rahasia yang bahkan kamu pun nggak tahu."

"Kamu mungkin akan membenciku kalau tahu..."

Kata-kata itu bergema di kepalanya seperti gema di dalam ruang kosong.

Ia tahu dirinya tidak boleh terlibat terlalu dalam. Namun, ada sesuatu dalam sikap Arka yang membuatnya tak bisa berpaling begitu saja. Dingin, tertutup, tapi juga penuh beban. Seolah dia adalah orang yang hidup dalam perjanjian, bukan keinginan.

Dan lebih dari itu—Laila adalah orang yang ingin tahu kenapa.

“Laila, kamu lihat dokumen konsep villa Ubud ini?” tanya Alya, asistennya.

Laila tersentak dari lamunannya. “Oh, iya... sorry. Aku belum sempat cek. Boleh kirim ke email, ya?”

Alya menatapnya dengan ragu. “Kamu nggak apa-apa, Kak?”

Laila menghela napas. “Aku cuma lagi... bingung sama satu hal. Pribadi.”

Alya tersenyum memahami. “Tentang Arka?”

Laila terkejut. “Kamu tahu?”

“Gosip jalan cepat, Kak. Apalagi kalau nama kalian berdua mulai disebut-sebut di undangan komunitas bisnis.” Alya terkekeh.

Laila menggeleng sambil tertawa hambar. “Belum tentu bener.”

Tapi dalam hati, ia tahu gosip itu akan segera menjadi kenyataan jika tidak ada yang menghentikannya. Dan itu membawa pertanyaan penting: apakah ia siap menepikan semua rencana hidupnya demi janji masa lalu?

**

Hari itu, sepulang dari kantor, Laila memutuskan mengunjungi seseorang yang bisa menjawab sebagian teka-teki yang mulai menyelimuti hidupnya: Bu Diah, mantan sekretaris ayahnya yang sudah bekerja lebih dari dua puluh tahun sebelum pensiun.

Ia datang ke rumah sederhana Bu Diah di kawasan Depok, membawa kue dan senyum yang ditahan oleh rasa ingin tahu.

"Bu Diah," sapa Laila hangat. “Masih ingat aku?”

“Ya ampun, tentu saja, Nak Laila!” Bu Diah memeluknya penuh kasih. “Kamu sekarang jadi perempuan cantik dan sukses ya. Almarhum Bapak pasti bangga.”

Mereka mengobrol panjang tentang masa lalu, tentang ayahnya, dan tentang betapa beliau sangat menjaga hubungan baik dengan keluarga Arka.

Namun, ada satu hal yang membuat Laila semakin penasaran.

“Bu Diah... Bapak pernah cerita tentang Arka nggak? Maksudku, secara pribadi?”

Bu Diah terdiam sejenak. Kemudian ia menghela napas.

“Ada satu kejadian. Waktu kamu SMP, Arka pernah nyaris dikeluarkan dari sekolah karena kasus... perundungan. Tapi bukan dia pelakunya. Dia justru menutupi temannya.”

Laila mengernyit. “Menutupi?”

“Iya. Arka diam, nggak membela diri, karena dia tahu kalau temannya—anak dari pejabat tinggi waktu itu—bisa celaka. Akhirnya yang kena Arka. Tapi Ayahmu bantu selesaikan semuanya secara diam-diam. Sejak itu, Arka berubah. Jadi tertutup. Dan Ayahmu sering bilang... Arka terlalu banyak menanggung hal yang bukan tanggung jawabnya.”

Laila menunduk. Ada rasa iba, tapi juga kekaguman dalam diam. Arka bukan sekadar pria dingin. Ia menyimpan banyak luka. Dan entah kenapa, itu membuatnya terasa lebih manusiawi.

**

Keesokan harinya, Laila mengundang Arka bertemu. Kali ini, bukan di kafe, bukan di rumah keluarga—tapi di galeri tempat proyek desainnya akan dipresentasikan.

Ia ingin memperlihatkan bagian dari hidupnya yang selama ini mungkin tak pernah Arka lihat: mimpinya.

“Tempat ini indah,” ujar Arka sambil berjalan pelan di antara instalasi kayu dan papan mood board desain vila di Bali.

“Ini dunia aku,” kata Laila. “Dan aku akan ke Bali selama 6 bulan untuk menyelesaikan proyek ini. Jadi sebelum kamu atau orang tua kita membuat keputusan tentang perjodohan ini... aku ingin kamu tahu satu hal.”

Arka menatapnya. Kali ini lebih dalam.

“Aku tidak akan mengorbankan ambisiku hanya demi janji dua keluarga.”

Arka mengangguk pelan. “Kamu tahu? Aku justru kagum.”

Laila sedikit terkejut.

“Aku pernah ingin pergi ke luar negeri juga. Tapi aku tetap di sini karena... janji-janji itu. Kadang aku mikir, mungkin aku terlalu lemah untuk melawan. Tapi kamu enggak.”

Laila tersenyum tipis. “Jadi sekarang?”

Arka menatap langit-langit galeri.

“Aku belum tahu. Tapi yang pasti, kalau pun aku harus menikah... aku mau bukan karena dipaksa. Tapi karena kita saling percaya.”

Laila membeku. Kata-kata itu terasa lebih berarti daripada pengakuan cinta.

Dan untuk sesaat... angin di dalam ruang itu terasa lebih hangat.

**

Namun, malam harinya, saat Laila sedang merapikan file proyek di laptopnya, ia menemukan email dari pengacara keluarga. Sebuah file PDF dengan judul yang mencuri perhatiannya:

"Perjanjian Investasi Rahasia antara Fadli & Ilham Group – Tertutup"

Matanya membelalak. Di dalam file itu, jelas tertulis:

> “Jika anak dari kedua belah pihak menikah, maka aset kolaboratif akan dialihkan ke nama pasangan muda tersebut sebagai bentuk pewarisan.”

Laila menutup laptopnya perlahan. Kepalanya penuh tanda tanya.

"Jadi ini bukan sekadar perjodohan... tapi soal warisan dan bisnis?"

Hatinya berdegup lebih cepat.

"Dan Arka tahu soal ini sejak awal?"

Apakah Arka benar-benar jujur? Atau justru menyembunyikan sesuatu yang lebih besar?

Laila berada di tengah dua pilihan: cinta yang perlahan tumbuh... atau kepercayaan yang mulai retak.

"Terima kasih telah membaca sampai akhir"