Malam menjalar pelan di langit Jakarta. Laila duduk sendirian di balkon apartemennya, menatap layar laptop yang kini menampilkan kembali dokumen perjanjian rahasia itu. Hatinya dipenuhi tanda tanya.
"Kenapa semua ini terasa seperti jebakan yang disusun rapi?"
Perjanjian investasi antara keluarga mereka bukan sekadar kesepakatan bisnis. Ada nama-nama, angka aset, dan kalimat yang menggantung makna:
“…alih warisan akan terjadi setelah pengesahan pernikahan resmi antara Laila Rahmadani dan Arka Ilhamsyah.”
"Terima kasih telah membaca sampai akhir"
“Jadi... warisan hanya berlaku kalau kami menikah?” gumam Laila, jari-jarinya mengusap bibir bawahnya gelisah.
Dan kenapa Arka tidak pernah menyebut ini?
Pagi harinya, sebelum Laila sempat menghubungi Arka, ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar membuatnya tersenyum kecil: Salma.
“Cepet banget angkatnya,” suara Salma muncul, ceria seperti biasa. “Lagi nungguin kabar dari cowok ya?”
“Kalau cowoknya penuh misteri dan bisa bikin jantungan, mungkin.”
“Oh... jadi beneran Arka?”
Laila hanya menghela napas.
“Lail, kamu tahu aku nggak suka ikut campur, tapi kali ini... boleh aku jujur?” tanya Salma lebih serius.
“Selalu,” jawab Laila.
“Aku pernah lihat Arka waktu dia masih pacaran sama Alya—anak psikolog yang kuliah di Melbourne itu. Dan hubungan mereka... rumit banget. Tapi waktu itu katanya pernikahan mereka dibatalkan sepihak. Aneh aja kalau sekarang dia tiba-tiba ‘siap nikah’ sama kamu.”
Laila terdiam.
“Aku nggak bilang dia jahat, ya. Tapi aku ngerasa ada hal yang kamu belum tahu. Dan aku... nggak pengen kamu jadi bagian dari drama masa lalu yang belum kelar.”
Kalimat itu menampar logikanya.
Salma benar. Laila tidak tahu banyak tentang Arka. Ia hanya tahu sisi yang ditunjukkan pria itu—dingin, terkendali, dan kadang hangat dalam diam. Tapi itu tidak cukup untuk dasar membangun pernikahan.
Hari itu juga, Laila memutuskan menemui Arka. Tanpa janji, tanpa pemberitahuan. Ia tahu Arka akan ada di kantor pusat Ilham Group karena ada jadwal presentasi.
Ia menunggu di lobi hingga akhirnya Arka muncul, tampak terkejut melihatnya di sana.
“Laila?” Arka berjalan mendekat. “Kamu kenapa nggak bilang dulu?”
“Aku butuh bicara. Sekarang.”
Mereka pindah ke kafe kecil di seberang gedung. Duduk berhadapan, dengan dua cangkir kopi yang sama sekali tak tersentuh.
“Aku nemu dokumen warisan itu,” kata Laila akhirnya.
Arka menatapnya, ekspresinya berubah kaku.
“Kamu tahu tentang itu?” lanjut Laila. “Kamu tahu semua ini ada syarat tersembunyinya. Kenapa kamu diam?”
Arka menunduk. Butuh waktu lama sebelum akhirnya ia menjawab.
“Karena aku nggak mau kamu merasa dipaksa. Dan karena... aku juga belum yakin harus percaya siapa.”
Laila mengerutkan dahi. “Percaya siapa?”
“Ayahku.” Jawaban itu mengalir pelan, getir.
“Ayahmu?” Laila membeku.
Arka menatap lurus ke matanya. “Perjodohan ini... sebenarnya bagian dari rencana besar Ayahku untuk mempertahankan kendali perusahaan. Kalau kita menikah, semua aset kerja sama dialihkan ke atas nama kita berdua. Tapi bukan untuk kita. Untuk dikendalikan oleh dewan keluarga.”
Laila terdiam.
“Jadi kamu tahu semua ini dari awal?” bisiknya, terluka.
Arka mengangguk pelan. “Tapi aku juga... nggak tahu cara bilangnya tanpa bikin kamu pergi.”
Dan entah kenapa, kalimat itu justru membuat Laila semakin marah.
“Masalahnya bukan soal aku pergi atau enggak, Arka. Masalahnya kamu menahan kebenaran. Kamu pikir aku lebih suka dibohongi?”
Ia berdiri. Tak bisa lagi duduk di sana, di antara tumpukan ketidakjujuran.
“Tembok ini sudah retak, Arka,” katanya sebelum melangkah pergi. “Dan kalau kita nggak mulai jujur satu sama lain, jangan harap ada fondasi untuk apapun.”
**
Di luar kafe, hujan mulai turun. Laila tidak berlari, tidak membuka payung. Ia hanya berjalan dalam hujan—seperti mencari jawaban di balik setiap tetes air yang jatuh.
Yang ia tahu, mulai hari ini... ia tidak akan lagi membiarkan hidupnya ditentukan oleh janji masa lalu, atau rencana bisnis yang menyamar sebagai cinta.
Kalau perjodohan ini mau bertahan, maka harus ada kejujuran.
Dan itu... baru bisa dimulai kalau Arka siap menurunkan temboknya.