Bab 4 – Kemunculan Reza

Suasana kantor siang itu dipenuhi suara langkah kaki dan bunyi tuts keyboard. Laila baru saja selesai presentasi desain proyek hunian ramah lingkungan yang dikerjakannya bersama tim. Saat ia merapikan berkas-berkas, seorang rekan mendekatinya.

“Laila, ada seseorang yang minta ketemu kamu. Katanya dia pengacara baru untuk tim legal proyek. Namanya… Reza.”

Laila berhenti. Waktu seolah beku selama dua detik. Reza? Nama itu seperti angin dari masa lalu yang belum sempat tertutup debu.

Ia berbalik. Dan di ambang pintu ruangan, berdiri seorang pria bertubuh tegap, mengenakan jas abu gelap, wajahnya lebih matang namun tetap menampilkan senyum yang dulu pernah membuatnya jatuh hati.

“Lama nggak ketemu, Lail,” ucapnya.

Laila tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil. Hatinya bergemuruh. Dunia luar tetap berjalan, tapi dunia dalam dirinya sedang bergeser ke poros lama.

**

Mereka duduk di pantry kantor, berdua, setelah timnya bubar. Di antara dua cangkir kopi dan pandangan yang tak nyaman, Reza membuka percakapan.

“Kamu masih cantik seperti dulu,” katanya pelan. “Tapi… kayaknya makin kuat sekarang.”

Laila menahan senyum. “Dan kamu… masih suka datang tiba-tiba tanpa permisi?”

Reza tertawa. “Kebiasaan buruk yang belum hilang.”

Laila menggeleng. “Kenapa kamu di sini, Reza?”

“Aku sekarang bagian dari tim hukum konsultan yang mengurus proyek kamu. Tapi... bukan itu alasan utama aku datang.”

Laila menatapnya tajam. Reza menarik napas dalam.

“Waktu aku dengar nama kamu terlibat di proyek ini... aku tahu aku harus datang. Harus ketemu.”

Laila memutar cangkir kopinya. “Terlambat, Reza. Waktumu untuk menjelaskan udah habis bertahun-tahun lalu.”

“Tapi aku belum pernah benar-benar minta maaf.”

Laila diam. Dalam hatinya, kata-kata Reza mulai menggoyahkan benteng yang ia bangun sejak putus bertahun-tahun lalu. Reza tidak pernah memberi alasan jelas kenapa ia pergi. Tiba-tiba menghilang, menghapus semua kemungkinan.

Dan sekarang… ia muncul di saat hidup Laila sedang berantakan karena perjodohan dan warisan.

**

Sore itu, Laila mampir ke toko Salma di Kemang. Suasana galeri seni Salma seperti biasa — damai, harum cat minyak dan kopi hangat.

“Reza muncul,” kata Laila tiba-tiba.

Salma yang sedang menyusun lukisan kecil langsung berhenti. “Reza... yang itu?”

Laila mengangguk. “Dia sekarang pengacara proyek. Katanya, dia nggak pernah minta maaf waktu itu. Dan sekarang dia mau perbaiki semuanya.”

Salma terdiam lama. Terlalu lama.

“Kamu tahu dia muncul bukan tanpa alasan, kan?” kata Salma akhirnya. “Aku nggak bilang dia jahat. Tapi hati-hati.”

“Kamu ngomong gitu karena kamu pernah dekat sama dia, atau... karena kamu tahu sesuatu yang aku nggak tahu?” tanya Laila tajam.

Salma menatap sahabatnya. “Mungkin dua-duanya.”

Dan itu membuat Laila semakin bingung.

**

Malam itu, Laila menerima pesan singkat dari Reza.

> “Aku nggak datang untuk merusak apa yang kamu punya sekarang. Aku datang karena aku percaya... kita belum selesai.”

Laila menatap layar ponselnya lama. Di satu sisi, ia tahu hatinya pernah hancur karena Reza. Tapi di sisi lain, Arka belum juga memberi kejelasan setelah pertemuan terakhir mereka yang tegang.

Jika semua ini adalah permainan takdir... Laila merasa seperti pion yang sedang didorong paksa ke dua arah yang saling menjauh.

Dan di tengah semua itu… ia hanya ingin jadi dirinya sendiri lagi.

Hujan mengguyur Jakarta dengan deras saat Laila berdiri di lobi restoran hotel mewah, mengenakan gaun biru tua yang elegan, rambut disanggul rapi. Malam ini adalah acara makan malam resmi antara keluarga Arka dan tim proyek — momen yang katanya penting. Arka sendiri yang memintanya hadir.

Tapi jam sudah menunjukkan pukul 19.45.

Laila menatap layar ponsel. Tidak ada kabar. Tidak ada pesan.

Tangannya mulai gemetar, bukan karena dingin, tapi karena kekecewaan yang lama ditahan mulai merembes keluar.

“Laila?”

Ia menoleh.

Reza berdiri di belakangnya, mengenakan jas hitam, sedikit basah karena hujan. Senyumnya datar, tetapi matanya memancarkan kekhawatiran yang tulus.

“Kenapa kamu masih di sini?” tanyanya.

Laila mengalihkan pandangan. “Harusnya Arka yang ada di sini.”

Reza terdiam sejenak, lalu menatapnya dengan pandangan tajam.

“Dia nggak datang, kan?”

Laila menarik napas. “Aku nggak tahu. Dia nggak bilang apa-apa.”

“Kalau begitu, kamu nggak perlu nunggu lagi. Ayo,” kata Reza sambil menyodorkan payungnya. “Kita cari tempat lain. Kamu udah terlalu cantik malam ini buat dikecewakan di lobi hotel.”

**

Mereka akhirnya duduk di sebuah kafe kecil di Menteng. Hujan masih deras di luar, tapi suasana dalam kafe hangat. Laila menyandarkan dagu di tangannya, memandangi secangkir teh hangat yang tak juga ia minum.

“Aku benci ini,” gumamnya.

“Apa?”

“Perasaan seperti cadangan. Seperti hanya berguna kalau dia ingat.”

Reza menatapnya. “Kamu nggak pernah jadi cadangan, Lail. Kamu cuma... terjebak di dalam sistem yang bahkan nggak ngerti siapa kamu sebenarnya.”

Laila tersenyum miris. “Kamu ngomong seolah kamu ngerti sistem itu.”

Reza terdiam lama, lalu berkata pelan, “Aku tahu terlalu banyak tentang sistem itu.”

**

Di sisi lain kota, Arka duduk di dalam ruang pertemuan yang gelap, hanya ditemani layar laptop dan berkas-berkas.

Ia tidak datang ke makan malam itu. Bukan karena ia lupa — tapi karena ia dicegat oleh pamannya, anggota dewan komisaris Ilham Group, yang memperingatkan bahwa ada penyusup di proyek mereka.

“Namanya Reza Akbar Pradipta,” kata sang paman. “Dia anak dari Pradipta Wibowo, orang yang dulu hampir menggugat kita karena pemutusan kontrak besar. Jangan biarkan dia dekat dengan proyek... atau dengan Laila.”

Arka terdiam saat mendengar nama itu. Ia ingat. Dan ia tahu... itu bukan hanya soal bisnis.

Tapi ia juga tahu: kalau ia memberitahu Laila sekarang, ia akan terdengar seperti pria yang cemburu — bukan seseorang yang melindungi.

Jadi ia memilih diam.

Dan itu… mungkin kesalahan terbesarnya.

**

Di dalam taksi saat pulang, Reza membuka pembicaraan yang membuat Laila tertegun.

“Kamu tahu... dulu waktu aku pergi, aku nggak pernah bilang alasan yang sebenarnya.”

Laila menatapnya. Hujan turun seperti irama pelan yang menyesakkan dada.

“Ayahku waktu itu sakit,” lanjut Reza. “Dan bisnis keluarga kami jatuh karena salah satu kontrak besar dibatalkan sepihak. Aku harus cari kerja sambil urus rumah. Aku takut kamu jadi beban.”

“Kamu pergi begitu saja,” bisik Laila.

“Aku tahu. Dan aku salah. Tapi sekarang... aku kembali. Bukan karena kasihan, tapi karena aku tahu aku nggak pernah benar-benar berhenti cinta.”

Laila terdiam. Ia tak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang manis karena masa lalu.

Ponselnya bergetar.

Pesan dari Arka.

"Maaf. Aku nggak bisa datang tadi malam. Aku akan jelaskan nanti."

Terlambat.

Untuk malam ini, bagi Laila… janji itu sudah diingkari.

"Terima kasih telah membaca sampai akhir"