Bab 5 – Luka yang Tak Pernah Sembuh

Hujan turun sejak pagi. Jakarta tampak seperti kota yang sedang menangisi sesuatu yang tak pernah sempat diungkapkan.

Laila menatap kaca jendela apartemennya, menyaksikan tetes-tetes air menuruni permukaan kaca seperti aliran ingatan yang tak bisa ia hentikan. Di tangannya, ada secangkir teh hangat — tapi rasanya hambar. Sama seperti pikirannya yang kini bercabang: antara Arka yang diam-diam mulai menjauh, dan Reza yang perlahan-lahan kembali masuk.

Ponselnya bergetar.

Pesan dari Reza.

> “Boleh ketemu? Aku janji nggak akan paksa apa-apa.”

Dan untuk alasan yang bahkan Laila sendiri tak bisa definisikan, ia menjawab:

> “Jam 3. Di taman belakang kampus.”

**

Langit masih mendung ketika Laila duduk di bangku kayu tua di taman fakultas arsitektur, tempat yang dulu sering mereka datangi. Kini, taman itu seperti diam dalam waktu, menunggu dua hati yang pernah saling menjanjikan dunia, hanya untuk saling meninggalkan.

Reza datang beberapa menit kemudian. Tak lagi seperti mahasiswa hukum berambut acak dan jaket jeans, tapi pria dewasa dengan sorot mata yang lebih lelah dari dulu.

“Taman ini masih sama,” katanya pelan.

“Tapi kita udah beda,” balas Laila, tanpa basa-basi.

Reza mengangguk, lalu duduk di sampingnya. Tak terlalu dekat. Tak terlalu jauh.

“Waktu aku pergi, aku kira itu cara paling benar. Ayahku sakit, bisnis keluarga bangkrut, dan aku harus cari kerja buat nyambung hidup. Aku takut kamu lihat aku lemah. Aku takut kamu lihat aku jatuh.”

Laila tidak menjawab. Tapi di benaknya, ingatan mulai merayap.

---

📽️ Flashback – Empat Tahun Lalu

Sore itu, mereka duduk di taman yang sama. Laila menggambar sketsa rumah mungil, dan Reza membaca buku hukum sambil meliriknya.

> “Kalau kamu seriusin gambar ini, lima tahun lagi kamu bisa bangun rumah impian kita.”

“Rumah impian siapa? Kita?”

“Ya masa aku bangun rumah sama Salma?”

Laila menyikut bahunya, tertawa kecil. Tapi ada keyakinan yang tumbuh dari kata-kata itu. Bahwa mereka akan membangun sesuatu bersama. Bahwa apa pun yang terjadi, mereka tidak akan saling pergi.

Tapi ternyata, mimpi itu tinggal sketsa.

---

Kini, Laila memejamkan mata. Perih itu belum sembuh. Bukan karena ia belum move on, tapi karena luka itu tidak pernah benar-benar dijahit.

“Kamu tahu,” katanya perlahan, “aku lebih kecewa karena kamu nggak percaya kalau aku bisa terima kamu apa adanya. Kamu pikir aku cuma mau versi kamu yang sempurna. Padahal aku cuma mau kamu yang jujur.”

Reza menunduk. “Aku bodoh.”

“Ya, kamu bodoh,” katanya tegas. “Tapi mungkin... aku juga. Karena hari ini, aku masih duduk di sini.”

Reza menoleh. “Masih ada aku di hati kamu?”

Laila menghela napas panjang.

“Yang ada cuma... bekasnya. Dan kamu tahu, bekas luka itu, kalau digaruk terus... bisa berdarah lagi.”

Reza menunduk, wajahnya penuh penyesalan.

“Aku nggak akan paksa apa-apa, Lail. Tapi kalau suatu hari kamu butuh tempat yang nggak penuh tekanan, nggak penuh warisan, dan nggak penuh rencana orang tua—aku akan ada di situ.”

Laila berdiri. Menatapnya sekali lagi. “Tapi kamu juga bagian dari masa lalu yang penuh tekanan, Reza. Jangan lupa itu.”

Dan dengan langkah pelan, ia pergi meninggalkan taman — membawa hatinya yang masih perih, tapi lebih jujur dari sebelumnya.

**

Malam harinya, Laila membuka kembali dokumen proyek. Ia membaca nama-nama vendor, dan satu nama mencuri perhatiannya: Wibowo Material Indonesia.

Itu nama perusahaan ayah Reza dulu.

Tapi bukankah... perusahaan itu sudah bangkrut?

Jantung Laila berdetak lebih cepat.

Apa Reza datang hanya karena cinta?

Atau... ia membawa agenda yang lebih besar dari sekadar minta maaf?

Pagi itu, Laila membuka laptopnya lebih cepat dari biasanya. Ia mengetik nama perusahaan itu lagi: Wibowo Material Indonesia. Hasil pencarian membawanya ke beberapa artikel lama — perusahaan konstruksi kelas menengah yang kolaps karena hilangnya kontrak besar tahun 2014. Dan proyek besar itu... berasal dari Ilham Group.

Perasaan Laila tak enak.

Ia mengingat ucapan Reza semalam. Tentang ayahnya. Tentang kehilangan.

Tapi yang paling mengusiknya adalah pertanyaan:

Kenapa Reza tidak pernah menyebut bahwa keluarganya punya riwayat dengan perusahaan Arka?

Dan kenapa sekarang… ia kembali dalam lingkaran proyek?

**

Laila membuka galeri seni Salma sore harinya. Suasananya tetap indah seperti biasa — lampu gantung kuning temaram, aroma kopi dan kayu tua, serta lukisan-lukisan ekspresif di dinding. Tapi ada sesuatu di mata Salma yang membuat Laila menegang.

“Kita perlu bicara,” kata Laila pelan.

Salma meletakkan kuasnya. “Tentang Reza?”

Laila mengangguk. “Kenapa kamu nggak pernah cerita kalau kamu pernah dekat sama dia setelah kami putus?”

Salma terdiam. Wajahnya mengeras.

“Karena saat itu aku pikir kamu nggak akan pernah tahu. Karena aku pikir... dia juga udah jadi bagian dari masa lalu kita semua.”

“Bagian dari masa lalumu,” koreksi Laila. Suaranya dingin.

Salma mendesah. “Laila, aku juga bukan bangga soal itu. Tapi kamu tahu gimana aku. Aku selalu ada buat kamu. Selalu. Dan waktu kamu jatuh, aku... aku juga ngerasa hancur ngeliat kamu kayak gitu.”

“Dan kamu menyembuhkan dirimu dengan mantan aku?” Laila menatapnya tajam. “Kalau kamu benar sahabat, kenapa kamu sembunyikan semua ini?”

Salma tidak menjawab. Tapi matanya mulai berkaca.

“Aku salah, Lail. Tapi aku juga manusia.”

Dan untuk pertama kalinya sejak mereka bersahabat, Laila merasa asing dengan sosok di depannya.

**

POV Arka

Di ruang kerjanya yang sepi, Arka duduk memandangi berkas investigasi internal yang baru saja dikirim timnya.

Ada nama-nama yang mencurigakan. Salah satunya:

Reza Akbar Pradipta.

Status: Penasihat hukum kontrak vendor.

Catatan: Terhubung dengan Wibowo Material — mantan vendor yang diblacklist sejak 2014.

Arka menggeram pelan.

Ia ingat malam itu, beberapa tahun lalu, ketika dewan komisaris memutus kontrak sepihak. Ia masih muda saat itu — belum bisa melawan sistem.

Dan kini, pria dari masa lalu itu kembali. Menyusup ke proyek, mendekati Laila, dan seolah-olah... berperan sebagai pahlawan.

Arka berdiri dan berjalan ke jendela, menatap gedung-gedung tinggi yang pernah ia anggap rumah. Tapi hari ini, semuanya terasa rapuh.

> “Dia nggak cuma datang buat Laila. Dia datang buat menghancurkan semua yang aku bangun.”

Ponselnya bergetar.

Pesan dari HR Internal:

“Vendor audit mencurigakan. Reza ditemukan berhubungan langsung dengan dewan lama.”

Arka menghela napas panjang. Ia sadar, waktunya sudah habis. Jika ia terus diam, Laila bisa jatuh ke tangan orang yang hanya berpura-pura menyembuhkan luka — padahal sedang menciptakan luka baru.

**

Sementara itu, di apartemennya, Laila duduk menatap foto lama — ia, Salma, dan Reza — sebelum semuanya berubah. Dan tiba-tiba, sebuah pertanyaan melintas:

> Apakah luka lama bisa sembuh kalau dirawat oleh orang yang menyebabkannya?

**

Dan pada saat itu juga, sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:

> “Kalau kamu mau tahu siapa Reza sebenarnya, cek email yang aku kirim. Jauhkan dia sebelum semuanya terlambat.”

"Terima kasih telah membaca sampai akhir"