Bab 10– Api yang Menyala Kembali

Jakarta, pagi hari.

Langkah kaki Laila bergema di lorong rumah masa kecilnya. Rumah itu masih seperti dulu—kursi tua, rak buku lawas, dan aroma kayu yang samar. Tapi hatinya tidak lagi sama.

Di tangan kirinya, sebuah map cokelat. Di dalamnya, dokumen yang ia temukan dari arsip proyek. Nama-nama yang terlibat. Termasuk ayahnya sendiri.

Pak Haris, ayahnya, sedang duduk di meja makan, menyeduh kopi pagi. Ia terkejut melihat Laila muncul.

“Laila? Tumben pagi-pagi ke sini.”

Laila tidak menjawab. Ia hanya menaruh map itu di meja.

“Buka. Sekarang,” ucapnya datar.

Pak Haris menatapnya sebentar, lalu membuka isi map. Ia mengenali dokumen itu seketika: kontrak vendor bayangan dari tahun 2016, yang dulu ia pikir sudah terkubur rapat.

Laila menahan air mata.

> “Aku udah capek jadi anak baik yang kamu giring ke jalan yang kamu pilih. Sekarang aku mau tahu... berapa banyak yang kamu tutupi?”

Pak Haris merespons dengan tenang. “Kamu nggak akan ngerti. Dunia ini kotor, Laila. Kalau kamu mau bertahan, kadang kamu harus main kotor juga.”

> “Kalau begitu, jangan ajarkan aku nilai. Jangan bilang aku harus jujur, kalau kamu sendiri berdiri di atas kebohongan.”

Wajah Pak Haris menegang. “Aku lakukan itu buat kamu. Buat masa depanmu.”

Laila tertawa pahit. “Lucu. Kamu rusak masa depan orang lain supaya aku punya ‘jalan mulus’? Ayah Reza kehilangan semuanya, tahu gak?”

Suasana memanas.

“Apa kamu pikir aku akan diam selamanya?” tanya Laila. “Aku akan buka ini ke publik kalau perlu.”

Pak Haris berdiri perlahan. “Kalau kamu lakukan itu, kamu akan menjatuhkan nama keluarga kita sendiri.”

Laila menatap tajam.

> “Lebih baik namaku hancur karena kejujuran... daripada harum karena kebusukan.”

**

Sementara itu, di ballroom konferensi media nasional, Reza bersiap naik ke podium. Ia mengenakan jas gelap, tapi wajahnya tak penuh percaya diri—melainkan keberanian yang terpaksa lahir dari penyesalan.

Reza menatap kerumunan: media, investor, dan orang-orang penting.

> “Nama saya Reza Akbar Pradipta. Saya pernah menjadi bagian dari sistem yang korup. Bukan hanya sebagai korban, tapi juga pelaku.

Saya menyusup ke proyek milik Ilham Group bukan untuk bekerja. Tapi untuk mencari bukti bahwa keluarga saya dulu dihancurkan oleh sistem yang kotor. Dan saya menemukannya.”

Ia menatap kamera. Hening sesaat.

> “Yang menyakitkan bukan hanya kebohongan orang-orang lama. Tapi saat saya menyadari bahwa saya juga mengkhianati seseorang yang saya cintai.

Maka hari ini saya serahkan semua bukti penyalahgunaan wewenang kepada lembaga hukum, dan... saya meminta agar nama saya juga diperiksa.

Saya tidak ingin membalas. Saya hanya ingin memutus rantai.”

Suara tepuk tangan terdengar, pelan… lalu makin ramai. Reza menunduk. Ia tahu, ia mungkin kehilangan segalanya—tapi untuk pertama kalinya, ia merasa benar.

**

Sementara itu di ruang dewan Ilham Group, Arka berdiri sendiri di hadapan para direksi.

“Dewan meminta agar semua ini ditutup rapat. Jangan sampai keluar,” kata salah satu paman Arka.

Tapi Arka berdiri tegak. “Kalau saya harus turun dari posisi saya demi menyelamatkan nama perusahaan yang dibangun dari kebohongan, silakan. Tapi saya tidak akan menutup mata. Dan saya tidak akan biarkan Laila jadi korban berikutnya.”

**

Malamnya, di rooftop kantor, Laila menatap lampu-lampu Jakarta.

Salma datang diam-diam, membawa dua cangkir teh panas.

“Kamu berhasil bikin satu kota terguncang,” kata Salma ringan.

Laila tertawa kecil. “Aku cuma mau jadi jujur, Sal.”

Salma menyerahkan secarik kertas.

“Ini... pendaftaran untuk program arsitek sosial Asia Tenggara. Aku daftarin kamu. Mereka suka desain ‘Ruang Pulang’-mu.”

Laila tertegun. “Kamu serius?”

“Serius. Tapi kamu harus pergi dari sini. Mulai dari nol. Tanpa bayang-bayang siapa pun.”

**

Laila menatap langit malam. Ia mengirim satu pesan terakhir ke Reza:

> “Kita sama-sama luka. Tapi kamu akhirnya memilih jadi benar. Terima kasih. Tapi jalanku… bukan ke belakang. Dan bukan kembali ke kamu.”

Dan satu pesan ke Arka:

> “Jika kamu benar-benar ingin berjalan bersamaku, jalan ini tidak rata. Tidak nyaman. Tapi nyata. Dan aku tak mau ada yang memimpin. Kita jalan sejajar.”

Tak lama kemudian, balasan Arka masuk.

> “Sudah lama aku tunggu kalimat itu. Ayo jalan bareng. Tanpa warisan. Tanpa janji orang tua. Tanpa utang masa lalu.”

Laila tersenyum.

> Untuk pertama kalinya, api yang menyala dalam dirinya bukan karena amarah… tapi karena kebenaran.

"Terima kasih telah membaca sampai akhir "