Jakarta, malam hari.
Di dalam galeri seninya yang kini terasa hampa, Salma duduk seorang diri. Lampu-lampu dipadamkan, hanya satu sorot putih menerangi lukisan yang belum selesai di kanvas besar.
Wajahnya lelah. Tapi bukan karena pekerjaan — melainkan karena penyesalan yang terus menghantui.
Ia menatap layar ponselnya. Tak ada balasan dari Laila. Sudah lima pesan dikirimkan, semuanya hanya centang dua.
Salma memutar pesan suara lama yang belum pernah ia kirim.
> "Lail, kalau kamu denger ini, aku cuma mau bilang aku nyesel. Bukan karena ketahuan, tapi karena aku ngecewain kamu. Aku tahu hubungan aku sama Reza seharusnya nggak pernah terjadi. Tapi aku juga manusia, Lail. Aku luka waktu kamu hilang arah. Dan Reza... dia juga luka. Kami luka bareng. Tapi bukan alasan untuk ninggalin kamu sendirian. Dan itu kesalahan terbesarku."
Ia menahan air mata, lalu menekan tombol delete.
Salma berdiri dan mulai menyiapkan lukisan baru. Tapi bukan bunga, bukan potret, bukan abstrak.
Kali ini ia mulai melukis sosok dua wanita… berdiri berdampingan, saling menatap.
> Sahabat — sebelum semuanya berantakan.
Harapannya: agar kelak, mungkin, persahabatan itu bisa dipulihkan.
**
Sementara itu, di Bandung, Laila kembali ke kota setelah tiga hari di Lembang. Ia tak pulang ke rumah. Ia langsung ke kantor proyek — bukan sebagai “putri pewaris”, tapi sebagai arsitek.
Ia tak menyangka, Arka berdiri menunggunya di lobi.
“Aku tahu kamu mau pisahkan dirimu dari semuanya. Dan aku dukung,” kata Arka.
Tapi sebelum Laila bisa menjawab, ponsel Arka bergetar. Wajahnya langsung berubah tegang.
“Ada rapat darurat. Dewan ingin keluarkan kamu dari proyek. Katanya karena ‘benturan kepentingan dan reputasi’. Dan... permintaan itu datang dari paman aku.”
Laila mengangguk pelan, wajahnya tak terguncang. “Sudah kuduga.”
“Kalau kamu mau mundur, aku ngerti.”
“Tapi aku nggak akan mundur,” jawab Laila mantap. “Aku akan pertahankan posisiku bukan karena hubungan, tapi karena kerjaanku. Kalau mereka mau nilai, nilai aku dari rancangan — bukan dari darah.”
Arka tersenyum kecil. Kagum. Tapi juga khawatir.
> “Kalau kamu butuh bantuan, aku di belakang kamu. Tapi kali ini, kamu di depan.”
**
Di sisi lain kota, Reza duduk di depan makam ayahnya. Hujan gerimis turun pelan.
Tangannya memegang dua lembar dokumen:
1. Surat gugatan resmi atas Ilham Group yang siap diajukan.
2. Surat pengunduran dirinya dari seluruh proyek.
> Ia harus memilih.
> Melanjutkan dendam, atau mengakhiri semuanya… demi cinta yang pernah ia hancurkan sendiri.
Ia meletakkan kedua dokumen itu di atas batu nisan.
“Pak,” bisiknya. “Aku nggak tahu mana yang benar. Tapi kalau balas dendam ini bikin aku kehilangan satu-satunya orang yang pernah peduli... apa masih layak diperjuangkan?”
Hening.
Angin menjawab dengan dingin.
**
Keesokan harinya, Laila menerima satu paket kecil ke apartemennya. Isinya:
Lukisan dari Salma: dua wanita, saling menatap, dengan latar belakang cahaya lembut.
Sepucuk surat.
> “Aku nggak mau kita berakhir karena laki-laki mana pun. Kita sahabat lebih dulu sebelum mereka datang. Aku akan tunggu kamu — kapan pun kamu siap memaafkan.”
Laila memeluk lukisan itu pelan. Air matanya jatuh.
> Mungkin ada luka yang tak bisa sembuh dalam semalam,
tapi tidak semua luka perlu dibiarkan bernanah selamanya.
**
Di layar komputer kantor, Laila membuka desain terbaru gedung pusat komunitas yang sedang ia rancang. Ia memberi nama proyek itu:
“Ruang Pulang”
Bukan untuk Arka.
Bukan untuk Reza.
Bukan untuk siapa pun.
Tapi untuk dirinya sendiri.
" Terima kasih telah membaca sampai akhir "