Keesokan paginya, Laila terbangun lebih awal dari biasanya. Udara Lembang masih berkabut, tapi hatinya perlahan jernih — setelah malam yang penuh diam bersama Arka.
Ia menatap pria yang duduk di teras penginapan, memegang cangkir kopi hangat, mengenakan hoodie kelabu, dan untuk pertama kalinya… tampak seperti pria biasa. Bukan pewaris. Bukan suksesor perusahaan. Bukan pemegang saham.
Hanya Arka.
Dan di sanalah Laila sadar: ia tak benar-benar mengenal sisi manusia Arka.
Laila duduk di sebelahnya. Tak ada kata-kata, sampai akhirnya Arka membuka suara.
“Aku belum pernah cerita ke siapa-siapa tentang Alya. Bahkan ke ayahku.”
Laila menoleh, menunggu lanjutannya.
**
{KILAS BALIK – Tiga Tahun Lalu}
Waktu itu Arka dan Alya sudah bertunangan. Persiapan pernikahan mereka mewah — seperti perjodohan klasik dua keluarga kaya yang sudah saling mengenal.
Tapi Alya bukan gadis biasa. Ia mandiri, punya idealisme tinggi, dan selalu menantang Arka untuk hidup sesuai pilihannya — bukan orang tua.
> “Ka, kalau kita nikah karena rencana orang tua, kita nggak pernah benar-benar hidup buat diri kita sendiri,” kata Alya suatu malam.
Arka diam. Ia tahu itu benar. Tapi ia juga tahu… perusahaan sedang dalam titik kritis. Dan warisan yang akan ia terima sangat menentukan nasib ratusan karyawan.
Saat itu, Pak Haris — ayah Laila — datang dengan tawaran:
Jika Arka membatalkan pernikahan dengan Alya dan setuju dengan perjanjian perjodohan Laila kelak, maka ia akan mendapatkan suara mayoritas di dewan, sekaligus penyelamatan proyek investasi utama.
> Arka merasa jijik. Tapi ia juga merasa... tak punya pilihan.
Dan pada hari ketika Alya membicarakan rencana bulan madu mereka, Arka memutuskan semuanya. Tanpa penjelasan. Tanpa alasan.
> “Kita nggak bisa terusin ini, Alya. Maaf.”
Alya menangis. Tapi tak memohon.
> “Kalau kamu anggap aku beban buat jalan hidupmu, maka aku akan pergi. Tapi suatu hari nanti, kamu akan sadar… kamu kehilangan seseorang yang mau jalan bareng, bukan di belakangmu.”
**
Arka menghela napas panjang, menatap Laila.
“Aku nggak pernah benar-benar sembuh dari itu, Lail. Dan saat aku ketemu kamu… aku cuma pengen lakukan semuanya beda. Tapi aku malah ulang kesalahan yang sama — membiarkan orang lain mengatur kita.”
Laila menggigit bibir, menahan emosi.
“Jadi kamu datang ke sini... karena ingin menebus kesalahan masa lalu?”
“Bukan,” jawab Arka. “Aku datang ke sini karena ini pertama kalinya aku ingin hidup atas pilihanku sendiri.”
**
Sebelum Laila bisa menjawab, langkah kaki terdengar dari belakang.
Reza.
Basah oleh embun pagi. Wajahnya kelelahan. Tapi matanya penuh ketegangan.
“Maaf,” katanya. “Tapi aku harus bicara. Sama Laila. Berdua.”
Arka menatap Reza lama, lalu berdiri. “Tempat ini cukup luas. Aku tunggu di belakang.”
Setelah Arka pergi, Reza mendekat.
“Aku nggak akan menyangkal lagi,” katanya langsung. “Aku datang ke proyek bukan cuma karena cinta. Aku datang karena keluargaku pernah dihancurkan oleh Ilham Group. Aku ingin balas dendam. Tapi aku juga... ingin kamu.”
Laila tak bereaksi.
“Awalnya itu cuma strategi,” lanjut Reza, suaranya lirih. “Tapi semua jadi rumit waktu aku sadar... perasaanku ke kamu nggak pernah hilang.”
Laila memandangnya tajam. “Dan kamu pikir aku bisa percaya lagi setelah semua yang kamu sembunyikan?”
Reza terdiam.
“Kalau kamu memang cinta aku,” lanjut Laila pelan, “kamu harusnya datang bukan dengan strategi. Tapi dengan luka. Dengan kejujuran.”
**
Angin pagi meniup rambut Laila. Ia melangkah menjauh, meninggalkan Reza yang kini menatap punggungnya — perlahan membenam dalam embun dan penyesalan.
**
Beberapa jam kemudian, Laila duduk di dalam kamar. Ia membuka laptopnya, menulis satu email:
> To: HR Project Ilham Group
Subject: Permohonan Cuti dan Revisi Kontrak Proyek
> “Saya, Laila Haris, menyatakan mundur dari semua bentuk pengaruh pribadi dalam struktur kepemilikan proyek. Saya ingin terlibat sebagai arsitek, bukan alat warisan. Bila permohonan ini ditolak, saya siap tinggalkan proyek.”
Laila menutup laptopnya. Senyum kecil muncul di bibirnya.
Untuk pertama kalinya, ia mengambil keputusan bukan karena cinta, bukan karena keluarga, tapi karena dirinya sendiri.
---
"Terima kasih telah membaca sampai akhir"