Bab 7 – Melawan Takdir

Laila berdiri di peron Stasiun Gambir, mengenakan sweater abu-abu dan tas ransel kecil di punggung. Ia memesan tiket ke Bandung tanpa rencana, tanpa reservasi hotel, tanpa memberitahu siapa pun. Ia hanya ingin pergi.

Menjauh dari kota yang penuh suara-suara keputusan yang bukan miliknya.

Menjauh dari Reza.

Menjauh dari Arka.

Menjauh dari Salma, dari keluarga, dari proyek, dan dari semua yang membuatnya merasa seperti alat.

**

Perjalanan ke Bandung ditemani gerimis tipis di luar jendela kereta. Laila menyandarkan kepala ke kaca, menatap kabur kota yang perlahan tertinggal.

Di kepalanya, suara ayahnya terus terulang:

> “Kamu nggak cuma pewaris, Lail. Kamu pengikat. Kamu jembatan antara dua keluarga.”

Tapi Laila tidak ingin jadi jembatan. Ia ingin jadi rumah bagi dirinya sendiri.

**

Setibanya di Bandung, ia naik ojek online menuju daerah Lembang — ke rumah penginapan kecil milik temannya semasa kuliah. Sederhana, tapi cukup tenang.

Udara di sana dingin dan lembut, kontras dengan panasnya konflik yang ia tinggalkan.

Laila menghabiskan hari pertama dengan berjalan menyusuri kebun teh, menyusun ulang ingatan-ingatan seperti keping puzzle:

Reza, yang mengaku datang karena cinta, tapi ternyata punya rencana.

Salma, sahabat yang ternyata menyimpan jejak yang menyakitkan.

Arka, pria yang diam untuk melindungi… tapi malah menghancurkan kepercayaan.

Dan yang paling membuatnya sakit — adalah dirinya sendiri, yang terlalu lama diam.

**

Malam itu, Laila duduk di beranda penginapan, memeluk jaketnya erat-erat. Hujan turun perlahan, menimpa atap seng dan dedaunan.

Tiba-tiba, ada bayangan di ujung gerbang kecil.

Seorang pria. Payung di tangan. Setelan hitam kusut karena hujan.

Arka.

Laila berdiri. Shock. “Kamu ngapain di sini?”

Arka mendekat perlahan. Nafasnya berat.

“Aku tahu aku salah, Lail. Aku harusnya nggak biarin kamu pergi sendirian. Aku harusnya jujur dari awal.”

Laila menatapnya, matanya berkaca.

“Aku nggak mau jadi korban cerita orang tua kita, Ka. Aku bukan utusan warisan. Aku manusia.”

“Aku tahu,” jawab Arka pelan. “Makanya aku datang ke sini bukan sebagai pewaris Ilham Group. Aku datang sebagai Arka yang cuma ingin kamu percaya... bahwa aku nggak akan lepasin kamu kayak dulu aku lepasin Alya.”

Diam.

Angin berembus. Hujan makin deras.

Laila menggigit bibir. “Tapi kamu juga bagian dari semua ini.”

“Aku tahu. Tapi sekarang, aku mau keluar dari permainan itu. Kalau kamu siap... kita keluar sama-sama.”

**

Beberapa detik berlalu. Lalu, Laila membuka pintu. Tanpa berkata apa-apa.

Arka masuk, menggantung payung. Duduk diam.

Dua manusia yang sama-sama luka. Sama-sama bingung. Tapi malam itu... memilih diam bersama.

Dan kadang, diam adalah bahasa paling jujur di antara dua hati yang patah tapi belum menyerah.

**

Namun di sebuah mobil tak jauh dari sana, seorang pria lain menatap layar ponselnya.

Reza.

Ia membaca pesan terakhir dari seseorang:

> “Laila sudah tahu semuanya. Tapi proyek belum selesai. Jangan mundur. Masuk lebih dalam — atau semua sia-sia.”

Wajah Reza tegang. Tangannya mengepal.

Ia sadar… jika ia mundur sekarang, semua yang telah ia korbankan — nama ayahnya, usahanya menyusup ke sistem — akan sia-sia.

Tapi jika ia terus maju…

Ia akan kehilangan satu-satunya hal yang pernah ia cintai dengan tulus.

Laila.

bab 7 selesai

"Terima kasih telah membaca sampai akhir"

mohon maaf jika ada kesalahan kata