Sebastian menghabiskan waktu di ruang kerja setelah dia pulang dari kantor. Dia memilih untuk menyelesaikan pekerjaannya hingga selesai dan tak mau diganggu terutama dari seorang Laras.
Seminggu sudah berlalu tantangan Laras sudah menjadi kebiasaan. Sulit awalnya tapi Sebastian terus mencoba. Ada beberapa gosip tentang dirinya di perusahaan tapi Sebastian tidak ambil pusing. Sejauh ini tantangan Laras dikerjakan dengan baik, meski dia yakin tak sepenuhnya mengubah citranya menjadi pemimpin.
Pintu ruang kerja diketuk membuyarkan lamunan Sebastian. Dari depan ada Laras yang muncul. "Boleh aku masuk?" tanya wanita itu.
Sebastian tak langsung menjawab. Dia menaruh file yang dipegang lalu mengangguk. Laras masuk ke dalam mengambil tempat duduk dekat di sebuah rak yang berjauhan dari Sebastian. "Kau ke mana saja seminggu ini? Tantanganku tidak kau lupa?" tanya Laras.
"Aku pergi dinas luar kota tiba-tiba. Jangan khawatir aku masih memegang janji." Sebastian menjawab dengan nada enteng.
"Baguslah. Oh iya aku baru tahu kau juga pernah bersekolah di SMA yang sama dengan kami. Kenapa aku tidak pernah melihatmu saat kita sekolah dulu?" Sebastian yang fokus dengan file langsung berhenti dan mengalihkan pandangan pada Laras.
"Kau juga bersekolah di sana?" Laras mengangguk sebagai jawaban.
"Aku satu kelas dengan dia. Saat kau mengirimkan surat-surat itu, kau selalu menaruhnya di dalam laci mejaku." Sebastian diam saja, tampak terlihat merenung tapi tetap memandangi Laras.
"Aku tahu juga kalau kau bersekolah di sana hanya saat kelas 2. Aneh sih kenapa aku tidak pernah melihatmu atau bahkan tahu namamu," lanjut Laras sambil bersidekap dada.
Sebastian mendengus sinis. "Untuk apa aku berkenalan denganmu? Kau wanita keras kepala, punya banyak tingkah dan banyak sifat yang aku tak suka. Aku malah beruntung sebab aku tak harus bertemu denganmu."
Laras ikut memperlihatkan tampang kesalnya. Seharusnya dari tadi ia tak penasaran dengan siapa Sebastian. Laras bisa membayangkan bagaimana masa muda Sebastian. Dia pasti seperti yang sekarang.
Pria sombong dan menganggap bahwa semua orang tidak satu level dengannya. Sebastian pasti tak memiliki teman. Tapi mengingat Sebastian memiliki rasa suka terhadap Lucy, rasanya agak berbeda.
Laras tak sadar jika dia tersenyum saat memandangi Sebastian yang kembali bekerja. "Kenapa senyam senyum begitu? Kamu terlihat seperti orang idiot." Sebastian mengejek.
"Dari pada kamu, gengsi tapi tak bisa ngomong sama temanku kalau kamu suka padanya," balas Laras langsung.
"Kamu... " Sebastian tak bisa berkata-kata. Telinganya tampak memerah, malu dengan ejekan Laras. Laras tak bisa menahan tawanya. Dia menutup mulutnya mencoba untuk tetap menghormati Sebastian.
Dari ekspresi Sebastian yang kesal, Laras tampaknya tak mudah dimaafkan. "Kalau tidak ada yang perlu dibicarakan sebaiknya kau pergi dari sini. Aku masih punya pekerjaan dan tak mau diganggu."
Laras langsung menghentikan tawa dan memperbaiki caranya duduk. "Sebenarnya aku di sini untuk memberikanmu tantangan lagi."
Kening Sebastian terlipat. Dia meletakkan dokumen dan menatap serius pada Laras. "Tantangan apa lagi? Ini hampir sebulan dan kamu mau menambah tantangan ku?" tanya Sebastian tidak terima.
"Justru karena sudah hampir sebulan, aku mau menambah tantangannya. Ini artinya kita maju selangkah ke depan," jelas Laras bersemangat.
Mata Sebastian berbinar. Ikut senang dengan ucapan Laras. "Lalu tantangan apa yang harus aku lakukan? " tanya Sebastian tidak sabar.
Laras tersenyum misterius. Dia berdeham sebentar, agar suaranya tidak parau. "Tuan, apa kau mau berkencan dengan tunanganmu?" tanya Laras.
"Berkencan dengan anak pejabat itu?" ulang Sebastian mencoba mencerna setiap kata demi kata. "Tidak aku tidak mau." putus Sebastian langsung menolak.
"Aku tidak ingin berkencan dengan dia. Wanita itu manja, clingy parah dan dia bukan tipeku. Untuk apa aku harus menghabiskan waktu bersamanya selama sehari? " omel Sebastian.
"Kamu juga kalau buat tantangan jangan yang nyeleneh. Pokoknya aku tidak mau. " Laras mengembuskan napasnya. Sepertinya akan sulit untuk membujuk Sebastian.
"Tuan ini bukan hanya tantangan sesuka hati saja tapi kencan ini akan membuat Tuan jauh lebih sabar agar mengendalikan emosi Anda."
"Maksudmu bagaimana? Aku tak mengerti." Sebastian berucap dengan tidak sabar. Sebenarnya ingin cepat menyudahi percakapan mereka.
"Aku dengar dari Tuan Gino kalau Tuan bersikap canggung pada sahabatku padahal kau begitu mencintainya tapi kau terlihat kaku. Karena itulah aku mengusulkan kau kencan agar kau bisa memperlakukan wanita dengan baik."
"Jadi kau tahu soal itu?" Laras mengangguk sebagai jawaban pertanyaan Sebastian. "Hanya untuk sekali ini saja?" tanya Sebastian lagi.
"Iya, iya setelah kencan ini kau bisa menolak pertunangan ini dan tidak menemui wanita itu lagi."
"Baiklah. Kapan kita bisa mulai kencan pura-pura ini?" Laras tersenyum. Membujuk seorang pria yang bucin selalu saja mudah.
***
Akhirnya hari itu tiba. Sebastian memakai pakaian kasual yang cocok untuk berkencan. Pagi tadi Laras yang memilih beberapa baju untuknya. Dia mengejek mengatakan Sebastian tak memiliki pakaian yang cocok untuk bersantai.
Sebastian merasa dongkol tapi anehnya tidak membalas. Mungkin sudah terbiasa akan ejekan Laras tapi kini dia merutuki diri mengapa bisa-bisanya setuju untuk berkencan. Mengapa Sebastian selalu tidak menolak ide gila Laras? Seakan dia sudah bisa di kontrol.
"Maaf aku terlambat." Suara cemprengan memekik penuh semangat terdengar. Sebastian berbalik menatap Eksa yang berjalan menghampirinya.
"Akhirnya setelah sekian lama kau menghubungiku dan memintaku berkencan. Kau tahu bagaimana rasanya saat aku melihat chat darimu?" Sebastian tak menggubris, dia mencoba sebisa mungkin untuk mengabaikan perasaan tak nyaman saat lengannya di rangkul oleh Elsa.
"Kita mau ke mana sekarang? Aku menurut saja kemauanmu." Sebastian mengambil secarik kertas yang berada di saku celana. Ada sebuah intruksi yang tertulis.
"Ayo kita ke bioskop. Filmnya akan dimulai." Elsa tersenyum lebar. Sambil berjalan beriringan, tak sedetik pun Lisa akan melepaskan lengan Sebastian. Pria itu terlihat kaku saat mencoba berjalan dengan Elsa.
"Nona, kau yakin Tuan akan bisa menjaga emosinya dari dia?" tanya Gino. Kini dia dan Laras mengawasi dari kejauhan. Gino cemas Sebastian tidak sabar dan akan menyakiti pasangan kencannya.
"Justru karena kita ada di sini. Kita harus mengawasi Tuan sampai kencan ini selesai. Tuan Gino, apa Tuan sudah beli tiket film?" tanya Laras memastikan.
"Sudah Nona."
"Baiklah ayo kita nonton juga. Ingat harus jaga jarak, jangan sampai ketahuan."
"Baik Nona." Laras dan Gino berjalan mengikuti, menyusup di antara banyak kerimunan yang ada. Dari kejauhan keduanya bisa melihat betapa tak nyaman Sebastian digandeng oleh Elsa meski demikian tak pernah terdengar sekali pun pria itu protes.
Elsa sendiri sibuk berceloteh. Dia gembira sampai tak tahu jika pasangan kencannya berusaha untuk tidak emosi.