WebNovelBarasena33.33%

Kematian Seorang Pengeris

Angin malam mengiringi kesunyian yang bergantian dengan gema gamelan dan tembang-tembang pengiring pertunjukan, belum sampai tengah malam, latihan hari ini telah usai, Ki Suryono, dalang tua yang cukup terkenal di daerahnya, sedang duduk dibelakang sanggar ditemani kopi dan rokoknya, ia memandangi sosok Surtarta yang sedang sibuk merapikan wayang-wayang kembali kedalam kotak untuk persiapan pentas lusa, Surtarta adalah seorang Pengeris, ia seperti tangan kanan bagi sang dalang, ia yang menyiapkan wayang yang akan berlakon dibalik kelir, ia yang menyimpan kembali wayang yang sudah selesai bertugas dan akan kembali digunakan di adegan selanjutnya, ia yang membantu dalang dalam memastikan transisi antar adegan berjalan lancar, bahkan ia juga yang menambal wayang yang robek sebelum pertunjukan. Pengeris lebih dikenal sebagai asisten dalang. Surtarta seperti bayangan setia sang Dalang, semakin kuat cahayanya, maka semakin tajam pula bentuk kegelapannya.

Tahun ini Surtarta genap berusia 40 tahun dan ia sudah menjadi Pengeris Ki Suryono hampir 20 tahun, waktu yang cukup lama untuk seseorang yang tidak berkembang, stagnan, seperti takdirnya berkata Surtarta akan menjalani sisa hidupnya sebagai seorang Pengeris.

“Tar, sini istirahat dulu” teriak sang dalang memanggil Surtarta.

“Iya Pak”, ia menjawab sambil menyelesaikan wayang terakhir yang belum masuk kedalam kotak.

“Kamu ngga kepengin jadi dalang sendiri? kamu kan sudah jadi Pengeris saya puluhan tahun, kamu apal semua lakon yang pernah aku bawakan, malah kayanya lebih nglotok kamu kalau ngomongin lakon daripada aku.” ucap sang dalang membuka obrolan.

“Bapak kan tau saya ngga ada bakal buat ndalang, ngga bisa nembang, sabetan saya juga jelek, saya cuma pandai mendengarkan, menonton dan menyimak pak, pekerjaan saya yang sekarang sudah cukup juga buat saya” jawab Surtarta, walaupun dalam hati terdalamnya, ia merasa kecewa dengan dirinya karena tidak memilik bakat untuk mendalang, ia juga ingin menjalankan wayang-wayangnya sendiri, menjalankan cerita dan lakon-lakonnya.

“Bisa aja kamu njawabnya. Asal kamu mau berusaha lebih kamu pasti bisa, kalau memang mau mencoba besok akan aku latih kamu untuk mendalang, memainkan lakonmu sendiri” balas sang dalang disusul kebulan asap rokok yang keluar dari mulutnya. Surtarta terdiam sejenak, lalu mengangguk patuh.

Malam itu, ada pertunjukan wayang dari dalang kondang Ki Seno yang memang ingin ditonton Surtarta, maka dari itu ia mempercepat pekerjaannya membereskan sisa - sisa latihan sore itu, segera setelahnya ia berpamitan lalu langsung bergegas pergi ke kampung sebelah dengan motor bututnya, ia memaksa sang motornya untuk berjalan cepat dengan kondisi motornya yang enggan untuk di ajak cepat. Ditengah perjalanan, ia teringat tawaran Ki Suryono untuk memulai belajar esok hari, ada setitk warna untuk hidupnya yang ia anggap semuanya hitam putih, ia mulai membayangkan dirinya duduk didepan kelir memainkan Antasena berdialog dengan Werkudara, ia larut dalam khayalnya, hingga takdir membangunkannya, sorotan menyilaukan dan suara klakson kencang membuatnya terkejut hingga refleks membanting setir motornya ke kanan, namun masih tak sempat untuk menjemput takdir yang menantinya, dentuman keras terdengar, tiba-tiba suara menghilang dari kepala Surtarta, tidak gelap namun tidak pula terang, ia merasa berdiri atau lebih tepatnya, ia merasa ada—di tengah kehampaan. Langit tanpa warna. Tanah tanpa arah. Tak ada tubuh. Tak ada suara, kecuali detak kesadarannya sendiri. Ia tak merasa takut, tapi juga tak merasa tenang.

“Jadi ini akhir dari takdirku? mati tanpa berusaha? menyerah sebelum mencoba? berakhir hanya menjadi bayangan? menganggap bakat adalah segalanya?” sesal Surtarta ditengah kehampaan.

“Lalu setelah ini apa? Kalau saja ada kesempatan sekali lagi, aku ingin lebih berusaha, aku ingin menjadi cahaya. Sekali saja… biarkan aku menjalani lakonku sendiri”. Penyesalan tak membiarkannya tenang ditengah kehampaan.

Dan semesta pun menjawab.

Sebuah suara kuno muncul dalam keheningan, berat namun penuh belas kasih:

“Permintaan diterima. Tapi ingat… tokoh utama bukan hanya soal sorotan. Ia menanggung beban seluruh cerita.”

tanpa sempat mencerna suara tersebut, tiba-tiba Sutarta merasa gelap, semakin gelap, perlahan kesadarannya hilang seperti orang yang akan tertidur sangat lelap, dan itulah saat terakhir Sutarta dapat mendengar suara.

Disebuah hutan rimba, para angin menari, burung-burung bernyanyi, suara air disungai mengisi ketenangan, hanya suara tangis seorang manusia kecil yang memecah ketenangan suara alam kala itu. Seorang bayi menangis kencang, dibalut kain lusuh dalam pelukan seorang resi tua, resi merupakan sebutan untuk para petapa yang telah melupakan duniawi dan mengabdikan diri pada kehendak alam dan semesta. Resi itu mengangkat wajahnya ke arah langit. “Oh Semesta… mengapa kalian memilih menitipkan takdir baru ini padaku?”

Ia menatap mata bayi itu, mata yang terbuka lebar, seperti tahu sesuatu yang seharusnya tak mungkin diketahui seorang bayi.

“Namamu… Barasena,” bisik sang Resi, dengan suara gemetar namun penuh kasih sayang. “Kau bukan anak biasa. Tapi dunia belum siap tahu siapa dirimu. belum.”

Dari kejauhan, langit biru cerah terbentang, angin membawa bisikan takdir, dunia pewayangan, dunia para dewa dan ksatria—baru saja menerima penghuni baru. Tak satu pun menyadari bahwa di dalam tubuh bayi itu, hidup jiwa seorang pengabdi panggung, seorang pelayan cerita yang pernah meminta satu hal sederhana: kesempatan menjalani lakonnya sendiri.

Dan kelir pun perlahan tergulung, tapi cerita sejati baru saja dimulai.