Sejak pagi itu—saat Resi Danyaka menerima bayi tanpa nama dari tangan langit—hutan Kapitayan tak pernah benar-benar sunyi lagi. Bukan karena suara menjadi ramai, tapi karena keheningan berubah makna.
Burung-burung mendadak lebih tenang. Mereka tidak terbang sembarangan seperti sebelumnya, seolah mengerti ada mata baru yang mengamati mereka dengan kesadaran dalam. Embun yang menetes dari pucuk daun terasa lebih berat, seakan setiap tetesnya menyimpan pesan yang harus dibaca. Dan malam-malam… malam-malam menjadi lebih dalam. Suara hutan merendah saat Barasena tidur, seakan seluruh alam turut menjaga anak yang belum mereka pahami sepenuhnya.
Barasena tumbuh di bawah langit yang tak pernah mengajarkan batas. Langit adalah atapnya, tanah adalah peluk ibunya. Ia belajar melangkah tanpa dibatasi pagar, memahami dunia bukan lewat kisah para raja, melainkan melalui bisik angin di antara daun, aroma tanah yang membuncah usai hujan, dan tatapan sunyi Resi Danyaka yang lebih fasih dari seribu kata.
Namanya diberikan dengan tenang, tanpa upacara, tanpa saksi selain hutan dan langit.
“Barasena,” kata Resi Danyaka suatu malam, saat cahaya bulan menembus sela-sela dedaunan.
“Api yang menyala dalam diam.”
Dan api itu benar-benar menyala. Bukan dengan kobaran, tapi dengan bara yang tak pernah padam.
Ia tidak belajar seperti anak-anak di padepokan kerajaan. Ia tidak disuruh duduk berbaris untuk membaca aksara di atas daun lontar. Tapi Resi membuka dunia lain untuknya: dunia aksara kuna—mantra dan ajian, bukan untuk kekuatan semata, tapi untuk memahami tatanan semesta.
Suatu pagi, Resi menunjukkan sebuah naskah tua, tulisannya nyaris hilang.
“Ajian bukan hanya bacaan,” ucap Resi. “Tapi jalan sunyi untuk berbicara pada dirimu sendiri.”
Barasena menatap tulisan itu lama, matanya bergerak perlahan mengikuti bentuk-bentuk huruf yang belum dikenalnya secara formal, tapi terasa akrab entah bagaimana. Lalu ia mengangkat wajah.
“Resi, kenapa ajian harus dibaca dalam hati?”
Resi tersenyum kecil. “Karena suara paling kuat bukan yang keluar dari mulut… tapi yang tak pernah terdengar oleh dunia.”
Dan sejak hari itu, Barasena membaca dalam diam. Ia menggumamkan doa tanpa suara, menuliskan makna tanpa tinta. Ia tidak mencatat di daun, tapi di dalam dirinya.
Ada hari-hari ketika tubuhnya bergerak sendiri. Ia tidak tahu kenapa. Kadang saat ia berdiri di antara pohon-pohon tinggi, tubuhnya berputar mengikuti arah angin. Kakinya melangkah seperti tarian, tangannya membelah udara, dan napasnya menyatu dengan semesta. Gerakan-gerakan itu tidak diajarkan siapa pun. Tapi tubuhnya seakan mengingat.
Resi memperhatikannya dari kejauhan. Lalu berkata dalam batin, “Itu bukan gerakan anak biasa…”
Pernah suatu malam, saat angin datang dari arah barat dan bulan pucat menggantung rendah, Barasena duduk memejamkan mata. Ia diam lama, seperti mendengarkan sesuatu.
“Akan ada kijang melahirkan di lembah utara,” ucapnya pelan.
Resi menatapnya dalam. “Bagaimana kau tahu?”
“Daun-daun berbicara... dan aroma tanah berubah.”
Resi menarik napas panjang. Dalam dirinya, ia mulai sadar: anak ini bukan hanya anak yang dijatuhkan dari langit. Ia adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, lebih tua, dan lebih dalam daripada yang bisa ia jelaskan.
Kemampuannya dalam berburu juga sangat mengesankan, ia seakan dapat menyembunyikan hawa keberadaannya dari mangsa mangsanya, ia melompat dari tanah ke pohon lalu menerkam mangsanya, namun demikian ia selalu menjaga penghuni hutan, tak berlebihan.
Sang Resi juga mengajarinya berbagai tanaman herbal, tumbuh-tumbuhan yang bisa dimakan, hampir semua ilmu bertahan hidup di alamnya telah ia ajarkan kepada Barasena.
Didalam hutan, tidak hanya hidup tumbuh-tumbuhan dan hewan, ada ras ras lain juga yang tinggal disana, dihutan yang paling dalam, merupakan tempat tinggal para raksasa, ras Danyang—makhluk penjaga hutan, dan makhluk-makhluk magis yang menyerupai hewan seperti barongan—harimau magis, ahul—kelelawar raksasa magis, bahkan terdapat pula ras naga yang selalu menyembunyikan keberadaannya.
Kebanyakan ras makhluk-makhluk magis memiliki kecerdasan yang rendah, mereka hanya memiliki insting menyerang dan memburu untuk dimakan, tak lebih tinggi dari hewan yang terkadang masih memiliki rasa takut, namun ada pengetahuan umum yang mengatakan bahwa mereka juga memiliki tingkatan, semakin mereka menyerupai manusia, kecerdasan mereka semakin tinggi, puncak dari para makhluk magis adalah Betari Durga, seorang Dewi yang jatuh dalam kegelapan dan menguasai alam bawah.
Terkadang mereka akan turun dari hutan untuk berburu, entah itu hewan dan terkadang manusia, dan kerap kali mereka bertemu Barasena.
Sore itu, ketika Barasena baru saja selesai berburu, ia bertemu sekelompok Barongan, ada 5 Barongan yang seketika menyerang Barasena ketika melihatnya, dengan sigap Barasena melompat mundur, lalu dengan satu pijakan ia kembali menerjang ke arah depan dan tendangan lurusnya menghantam salah satu Barong hingga tersungkur, tanpa menunggu detik berjalan, tendangan memutar kaki kanannya menyapu dua ekor lainnya, hingga tersisa 2 Barongan yang tak memiliki waktu untuk menyerang seketika tumbang terkena hembusan angin dari arah Barasena bak batu besar menghantam. Sang Resi ternyata diam-diam memperhatikan dari kejauhan dan merasa takjub dengan Barasena. “Bhawana-nya menyala lebih cepat dari waktunya,” gumam Resi Danyaka. “Dan bentuknya… bukan Bhawana anak hutan biasa.”
Waktu berjalan seperti sungai: tenang di permukaan, tapi di bawahnya membawa arus yang tak terlihat. Barasena tumbuh menjadi remaja yang tegap, tapi matanya tetap menyimpan kedalaman yang tak dimikili anak seusianya. Ia jarang bertanya, tapi ia selalu memperhatikan.
Suatu malam, api unggun kecil menyala di antara mereka. Barasena dan Resi duduk bersisian. Di kejauhan, suara burung malam bersahutan dengan gemericik sungai.
Resi berbicara, suaranya pelan seperti doa:
“Kau bukan anakku, Barasena. Tapi aku sudah berhenti bertanya siapa kau sesungguhnya.”
Barasena menatap nyala api. Diam. Lalu bertanya:
“Aku… anak siapa?”
Resi tersenyum. Tapi senyum itu mengandung kesedihan yang dalam.
“Mungkin… kau anak dari cerita yang belum selesai.”
Hening menggantung. Kayu retak dalam api. Barasena menunduk.
“Apakah aku akan pergi suatu hari nanti?”
Resi mengangguk pelan. Ia menatap api, bukan wajah Barasena. Tapi tangannya bergerak perlahan, menggenggam tangan anak itu.
“Segala sesuatu yang tumbuh… akan dipanggil keluar dari tempatnya semula. Hutan ini melindungimu, tapi ia bukan tempat akhir lakonmu.”
Barasena menggenggam balik tangan gurunya.
“Tapi... kalau aku pergi, siapa yang akan menjagamu?”
Resi menoleh, mata tuanya menyimpan nyala yang tak padam.
“Aku dijaga oleh sunyi, Nak. Tapi kamu—kamu harus belajar menjaga dunia.”
Diam. Lama. Angin menggerakkan rambut Barasena, dan api menciptakan bayangan aneh di wajah Resi. Di malam yang damai itu, tidak ada yang perlu dikatakan lagi.
Namun, di dalam hening itu, sesuatu telah berpindah:
Sebuah izin diam-diam, sebuah restu tanpa syarat, dari seorang ayah yang tidak pernah melahirkan… kepada seorang anak yang tidak pernah ia miliki—tapi akan membawa warisannya kepada dunia yang lebih luas.
Barasena tak menjawab. Tapi malam itu ia terjaga lebih lama dari biasanya, menatap langit, mendengarkan desir daun, dan bertanya-tanya… dari cerita mana sebenarnya ia berasal, dan lakon macam apa yang tengah menantinya di luar Kapitayan.
Langit malam tetap biru kelam. Tapi di satu sudut kecil langit itu, sebuah bintang tampak lebih terang dari biasanya—seperti pertanda bahwa cerita baru… sudah mulai ditulis.