WebNovelBarasena100.00%

Pertemuan Para Putra Petir

Hari itu, Barasena genap berusia lima belas tahun. Tubuhnya telah ditempa berbagai latihan fisik, dan jiwanya mulai menyatu dengan kekuatan spiritual: Bhawana. Resi Danyaka tak pernah mengajarinya cara bertarung. Latihannya adalah laku sunyi, membaca langit, memahami tubuh dan alam.

Setiap pagi, Barasena bermeditasi di dekat air terjun. Tak sekadar melatih napas, tapi menyatu dengan suara alam. Suatu pagi, saat ia membuka mata, Resi Danyaka berdiri di belakangnya, menatapnya lekat.

“Bhawanamu sudah menyala,” ujar sang resi. “Lebih terang dari yang bisa aku ajarkan.”

Barasena menoleh. “Bhawana?”

“Aliran spiritual. Semua makhluk memilikinya, tapi hanya sedikit yang bisa mendengarnya. Ia seperti sungai gaib yang mengalir di dalam tubuh. Kau sudah melewati tingkat Wija dan Taru. Kini Bhawanamu... menyentuh Angin Pawaka.”

“Apakah itu… luar biasa?”

Resi menatapnya, agak berat. “Sangat luar biasa. Tapi... Bhawanamu terasa asing. Seolah tak lahir dari dunia ini.”

“Apa yang bisa aku lakukan dengan Bhawana Rama Resi?”

“Kamu sudah menggunakan Bhawana selama ini, ketika kamu menggunakan aji ajian atau bertarung melawan hewan magis”

“Jadi Rama selama ini tau kalau aku sering bertarung melawan hewan hewan magis?”

“Lebih dari sekedar tau, aku selalu memperhatikan mu Bharasena, dalam setiap gerakanmu, pukulan, tendangan semuanya mengandung Bhawana, bahkan aku pernah melihatmu memunculkan angin yang terasa sangat berat seperti batu menghantam para makhluk magis, itu adalah bentuk manifestasi Bhawana dalam bentuk elemen, kamu pasti mempraktekan apa yang kamu baca dari naskah kuna yang pernah aku ajarkan”

“Iya Rama, aku mengingat isi bacaan itu lalu mencoba mempraktekannya”

“Kamu memang luar biasa, hanya membaca saja sudah bisa memanifestasikan Bhawana menjadi suatu elemen, padahal aku sendiri tidak pernah mengajarkannya”

“Semua berkat ajaran Rama Resi, kalau saja Rama tidak mengajarkanku cara membaca aksara-aksara yang ada di daun lontar itu, aku tidak akan bisa sampai seperti ini”.

Sang Resi menatapnya sejenak sambil tersenyum dan berkata “Teruslah bersikap rendah hati anakku”.

Beberapa hari kemudian, Resi Danyaka mengajaknya ke puncak bukit yang menghadap cakrawala.

“Sudah waktunya,” ucapnya.

“Waktunya apa, Rama Resi?”

“Kau telah tumbuh dengan baik disini, namun dalam hidup diperlukan pengalaman. Pergilah ke dunia manusia. Belajar bukan hanya dari pohon dan batu... tapi dari orang-orang, dari kesalahan, dari pertarungan dan luka.”

“Aku... harus ke mana?”

Resi tersenyum. “Ikuti suara hatimu. Aku dengar, di kaki Gunung Amarta, para kesatria muda dilatih. Di sana, kau mungkin akan menemukan lakonmu.”

Keesokan paginya, Sang Resi melepas kepergian putra angkatnya dengan penuh rasa khawatir namun bangga, dipanjatkan doa untuk kelancaran perjalanan baru anaknya tersebut. “Semoga perjalananmu direstui semesta”.

“Aku pamit dulu Rama Resi, terimakasih untuk segalanya, akan kupastikan perjalanan ku kelak akan membuatmu bangga”

perpisahan sementara mereka diakhiri dengan pelukan seorang anak dengan ayahnya, tidak ada tangis dan air mata, hanya ada restu dan doa.

Beberapa hari perjalanan membawa Barasena ke lembah tempat Padepokan Argapati berdiri—pusat pelatihan para calon kesatria. Ia datang seorang diri, pakaian dari serat goni, rambut diikat seadanya, di punggungnya hanya bungkusan kecil dari daun lontar bekal sejumlah makanan yang dibawakan oleh sang ayah.

Saat ia melintasi lapangan, beberapa murid mulai memperhatikannya. Salah satu dari mereka, pemuda besar bernama Yuda, menghentikannya.

“Lho… siapa ini? Anak petapa turun gunung?”

Barasena membungkuk sopan. “Namaku Barasena. Aku ingin mendaftar di padepokan ini.”

“Barasena? Hah! Ini tempat untuk para kesatria, bukan pengembara dari hutan.”

Tawa meledak dari para murid padepokan. Yuda mengambil dua tongkat latihan, melemparkan satu ke kaki Barasena.

“Kalau kau benar mau jadi murid di sini, jangan cuma bawa mulut. Tunjukkan kekuatanmu.”

Sorak-sorai mulai terdengar dari murid lain. Pertarungan pertama Barasena akhirnya tiba, bukan hewan atau makhluk magis yang ia lawan, kini ia akan mendapatkan pengalaman pertamanya bertarung melawan manusia. Yuda menyerang terlebih dahulu. Gerakannya kuat tapi kasar. Ayunan tongkat yang ia pegang menyambar ke arah Barasena dengan bertubi-tubi, namun Barasena dengan mudahnya menghindari semua serangannya, seakan gerakan musuhnya terlihat lambat. Ia tak menyerang balik—hanya bertahan, mencari irama, membiarkan Bhawana menuntunnya. Serangan demi serangan datang tanpa satupun berhasil mendarat di tubuh Barasena, Yuda mulai panik, keringat mengucur deras, napasnya terengah-engah, staminanya mulai menipis. Semua orang yang tadinya menertawakan kini hanya bisa terdiam, malu namun kagum. Yuda yang mulai kelelahan akhirnya menunjukan celah yang begitu besar, walaupun sedari awal sangat mudah untuk Barasena menyerang, namun seakan ia ingin mengetes kemampuannya dan lawannya. Di sisa tenaganya dan keputusan asaannya, Yuda lalu mendaratkan satu serangan menyamping datang kiri. Tubuh Barasena memutar secara refleks, menjejak ringan, dan menghentakkan tongkatnya ke dada Yuda dengan presisi aneh tapi sangat kuat.

Aji Bayubajra.

Yuda terlempar hingga beberapa meter kebelakang, terguling di tanah. Murid-murid berseru kaget.

Dari pinggir lapangan, Antasena, yang sejak tadi bersandar di bawah pohon, berdiri kaku. Ia melangkah ke tengah gelanggang.

“Itu… bukan gerakan biasa,” ujarnya, suaranya datar. “Kau memakai salah satu jurus milik ayahku?”

Barasena masih terengah. “Aku tidak tahu... Rasanya... seperti tubuhku pernah melakukannya.”

Wisanggeni menatapnya lama, lalu kembali pergi dan berkata “Untung saja kau menggunakannya dengan tidak sempurna, kalau saja kau menggunakananya dengan sempurna, bocah ini pasti mati. Aku Antasena. Dan aku akan memperhatikanmu.”

Dari kejauhan, Wisanggeni, yang diam sejak awal, hanya berujar pelan sambil mengunyah sirih:

“Api... yang tahu arah angin.”

Beberapa saat kemudian, seorang pelatih menghampiri Barasena dan mengatakan sesuatu.

“Kau dipanggil ke balairung.”

Barasena pun pergi mengikuti pelatih tersebut menuju balairung, semua siswa yang ada disana menatapnya dengan tatapan kagum namun seperti masih tak percaya.

Di dalam balairung, Resi Seta menatap Barasena dalam-dalam. Resi Seta merupakan sosok besar dalam padepokan tersebut, ia merupakan pemimpin sekaligus guru tertinggi di padepokan Argapati, sosok yang telah selesai dengan urusan duniawi dan kemudian mengabdikan dirinya untuk mendidik calon calon kesatria kerajaan.

“Bhawana-mu sudah menyentuh tingkat ketiga. Itu bukan hal kecil.” ucap Resi Seta membuka percakapan.

“Saya... berasal dari hutan kapitayan anak angkat Resi Danyaka,” ujar Barasena, jujur.

Ekspresi Resi Seta berubah. Ada keheningan aneh di wajahnya—sejenak seperti melihat masa lalu.

“Resi Danyaka… sudah lama tidak terdengar kabarnya.”

Ia tak berkata lebih banyak. Hanya menatap dengan sorot lain—bukan hanya menilai, tapi mengenali.

“Kau bukan bangsawan. Tapi Bhawanamu membawa resonansi yang langka. Apa yang kau cari disini?”

“Saya ingin belajar” ucap Barasena. “Resi Danyaka menyuruh saya untuk pergi ke dunia luar, belajar dan banyak orang dan pengalaman dan menemukan lakon saya sendiri”.

Resi Seta mengangguk.

“Kalau begitu, bersiaplah. Lakon tak pernah sederhana.”

Dan dengan itu, pintu dunia baru pun terbuka.