Kabut tipis menggantung rendah di halaman pelatihan, membungkus tanah keras dan batu-batu tajam yang tersusun rapi seperti jebakan yang menunggu korban.
Langit abu-abu bergelayut tanpa niat menurunkan cahaya, seolah memahami apa yang akan terjadi pagi ini.
Barisan murid berdiri tegak, mengenakan jubah abu-abu khas sekolah kultivasi tingkat dua: Akademi Langit Timur.
Semua mata tertuju ke depan—kecuali satu.
Di sudut paling belakang, di bawah pohon kamboja tua yang nyaris mati, berdiri seseorang yang seolah tak pernah masuk dalam hitungan.
Arya Bima.
Rambut hitamnya terurai hingga menyentuh pundak. Matanya setengah terpejam, sementara tangan kirinya meraba pelan sebuah buku kecil lusuh yang tersimpan di saku dalam jubahnya.
Ia tidak berbicara. Tidak tersenyum. Tidak menunjukkan emosi.
Ia hanya… diam.
Dan justru karena itulah, semua orang membencinya.
> “Itu dia, murid kelas buangan. Nggak punya silsilah, nggak punya teknik dasar, nggak punya masa depan.”
> “Katanya dulu ikut ujian masuk tapi nggak lulus. Tapi entah kenapa bisa lolos juga. Pasti pakai cara kotor.”
> “Lihat tuh, bahkan sistem nggak bisa baca nilai kultivasinya. Apa dia cuma lelucon?”
Bisik-bisik itu tak pernah berhenti, tapi Arya tak bereaksi.
Sama seperti yang ia lakukan setiap hari—selama dua tahun ini.
“SEMUA MURID, SIAP UNTUK UJIAN FISIK!”
Suara lantang sang instruktur menggema, memecah keheningan pagi.
Dua ratus murid bergerak serempak menuju tengah lapangan.
Kecuali satu.
Arya tetap berdiri di bawah pohon kamboja yang meranggas, memandangi langit suram seolah mencari sesuatu yang tak dimengerti orang lain.
Instruktur itu melangkah mendekat, wajahnya menyiratkan ketidaksabaran yang nyaris berubah jadi kemarahan.
“ARYA BIMA! Ini hari ujian. Bahkan ini pun tak bisa kau lakukan?!”
Arya menoleh perlahan.
“Langit tidak memanggil saya, Guru,” ucapnya—tenang, nyaris seperti bisikan.
> Suaranya lembut, tapi menghantam harga diri sang guru seperti palu godam.
Wajah sang instruktur memerah. “Kau pikir ini lucu?! Ini adalah tes resmi untuk menentukan siapa yang layak naik ke tingkat menengah!”
Arya menutup buku kecilnya. Ia melangkah ke depan—pelan, tenang—setiap langkah nyaris tanpa suara.
“Saya ikut, Guru,” ucapnya.
---
Beberapa murid terkekeh. Sebagian lain hanya menggelengkan kepala.
Salah satu murid elit, Raka—anak kepala sekte cabang—berseru lantang:
> “Oh, ini menarik! Si lemah tanpa nama akhirnya mau juga. Jangan sampai tersandung napas sendiri, ya!”
Tawa meledak.
Arya hanya menatap Raka. Sekilas.
Tatapan kosong, datar, nyaris tanpa reaksi.
Dan Raka… mendadak berhenti tertawa.
Tes pertama dimulai: Penyaluran Chi pada Pilar Batu.
Setiap murid diminta meletakkan tangan di atas pilar, dan sistem akan membaca tingkat kekuatan mereka.
“Mulai dari peringkat atas!”
Satu per satu murid maju dan menyentuh pilar.
Raka: Tingkat Energi Dalam, Lapisan 5.
Tepuk tangan langsung terdengar dari barisan murid.
Murid berikutnya menyusul: Lapisan 4.
Lalu Lapisan 3…
Hingga akhirnya—
> “Arya Bima.”
Suasana mendadak sunyi.
Semua mata serempak menoleh ke belakang.
Arya berjalan pelan ke depan.
Ia mengangkat tangannya… dan menyentuh pilar batu itu.
Tidak ada cahaya.
…
Sistem berbunyi pelan:
> “Nilai tidak terbaca. Energi tidak terdeteksi. Kultivasi: TIDAK ADA.”
Hening.
Lalu—tawa meledak lagi, lebih keras dari sebelumnya.
> “HAH! Luar biasa! Dua tahun di akademi dan masih nol!”
> “Mungkin dia manusia biasa. Atau hewan yang nyasar!”
Arya menarik kembali tangannya, lalu berjalan kembali ke tempatnya.
Tanpa berkata apa-apa.
Namun saat ia berbalik, mata sang instruktur sedikit menyipit.
Karena… retakan kecil muncul di pilar batu itu.
Retakan halus—nyaris tak terlihat oleh siapa pun.
Arya kembali berdiri di bawah pohon kamboja tua.
Ia membuka kembali buku kecilnya. Di halaman kosong, ia menulis dengan tenang:
> Hari ini, sistem mereka masih tak mampu melihatku.
Bagus.
Semakin lama mereka buta, semakin banyak waktu yang kupunya.
Di atas langit abu-abu, seekor burung gagak melintas,
sayapnya membelah kabut pagi tanpa suara.
Dan di dasar pilar batu yang retak, seberkas cahaya hitam muncul...
...lalu lenyap, seolah tak pernah ada.
Ujian kedua dimulai satu jam setelah tes pilar.
Kali ini, bukan sekadar menyentuh batu.
Ini adalah ujian pertempuran langsung—duel antar murid.
Murid-murid akan diadu di atas ring latihan untuk menguji ketahanan, kecepatan, strategi, dan kendali atas Chi.
Pemenang bukan hanya naik peringkat, tapi juga memperoleh poin sekolah—yang bisa ditukar dengan ramuan, teknik tingkat lanjut, bahkan akses ke ruang pelatihan tertutup.
Bagi murid biasa, ini adalah jalan hidup.
Bagi Arya Bima... ini adalah ujian yang, sejak awal, tidak pernah dimaksudkan untuk ia menangkan.
Di bawah langit yang semakin kelabu, sang instruktur membuka gulungan bambu dan mulai membaca daftar nama.
“Duel pertama: Raka dari Kelas Elit 3… melawan… Arya Bima dari Kelas Buangan Tanpa Indeks.”
Hening menyelimuti lapangan sesaat.
Lalu bisik-bisik kembali terdengar, menyusup di antara barisan murid seperti angin dingin.
> “Ini jelas jebakan. Mereka mau mempermalukannya di depan umum.”
“Raka itu Lapisan 5 Energi Dalam! Arya bahkan nggak bisa nyalain pilar!”
Tapi Arya tak menunjukkan reaksi.
Tanpa tergesa, ia melangkah ke tengah ring.
Raka sudah berdiri di sana—senyumnya lebar, menyeringai seperti harimau yang menemukan mangsa bodoh yang datang sendiri ke sarang.
"Tak disangka. Kupikir kau akan kabur," ujar Raka sambil melonggarkan kerah jubah kultivasinya, nada suaranya santai—tapi mengandung ejekan.
Arya menatapnya tenang.
“Kau terlalu keras pada dirimu sendiri.”
Raka menyipitkan mata. "Apa maksudmu?"
Arya menjawab datar:
“Harimau seharusnya tidak membanggakan diri saat memburu daun kering.”
Beberapa murid terdiam.
Raka mengertakkan gigi, wajahnya mulai memerah.
“Mulai!”
Suara sang instruktur menggema di seluruh arena.
Raka langsung menerjang—cepat, tajam—telapak tangannya menyala, dilapisi api merah menyala.
> “Tebasan Api Mendatar!”
Serangan itu mampu membakar kulit dalam sekali sapuan.
Bagi murid tingkat bawah, satu sentuhan saja bisa berarti kematian.
Arya tidak bergerak.
Satu langkah lagi. Api hampir menyentuh wajahnya.
Dan saat itu...
Arya menggeser tubuhnya—sedikit saja, hanya seperempat langkah ke kiri.
Namun saat ia bergerak, dunia seolah membeku.
Api melesat melewati tubuhnya.
Tidak membakar. Tidak menyentuh.
Seakan keberadaannya tak pernah ada di sana sejak awal.
> “Langkah Tak Terdaftar.”
Teknik yang tidak tercatat di sistem.
Langkah ringan tanpa pola, tak bisa dibaca oleh mata biasa—apalagi oleh sistem pertahanan duel.
---
Raka membelalakkan mata. “Kau—!”
Arya membalas dengan satu gerakan pelan, seperti menepuk angin.
Telapak tangannya menyentuh dada Raka—tanpa kilatan, tanpa tekanan yang terlihat.
Namun tubuh Raka... terangkat setengah meter dari tanah.
Lalu terhempas keras, terguling tiga kali ke belakang sebelum terdiam.
Hening.
Tak ada kobaran api. Tak ada gemuruh ledakan.
Hanya satu gerakan ringan—yang membuat murid peringkat 12 itu tumbang tanpa sempat mengerti.
Sistem duel mulai berbunyi, bersiap mencatat hasil…
> Tapi layar sihir tiba-tiba berkedip.
ERROR. Duel tidak terdeteksi. Gerakan tidak tercatat. Energi tidak teridentifikasi.
Sang instruktur berdiri kaku.
Beberapa guru mulai berdiskusi dengan suara pelan, saling bertukar pandang tak percaya.
Sebagian murid perlahan mundur… seolah naluri mereka berbisik: ada sesuatu di sini yang tak bisa dijelaskan.
---
Raka mengerang pelan, mencoba berdiri.
Tapi tubuhnya gemetar hebat, seolah seluruh aliran Chi dalam dirinya terguncang.
Arya menoleh ke instruktur.
“Apakah saya lulus ujian?”
Instruktur tak langsung menjawab. Hanya menatapnya—lama, nyaris tanpa berkedip.
Lalu ia menunduk, mencatat sesuatu di gulungan bambu. Tanpa sepatah kata pun.
Arya membungkuk sedikit.
Bukan karena hormat, hanya formalitas.
Lalu ia berjalan kembali ke bawah pohon kamboja tua.
Saat langit mulai diguyur gerimis tipis, Arya kembali membuka buku kecilnya.
Tinta hitam mengalir tenang di atas halaman kosong.
Ia menulis:
> Hari ini, teknik pertama berhasil digunakan tanpa reaksi tubuh besar.
Musuh tingkat menengah dapat dikalahkan tanpa kerusakan sistemik.
Namun... efek resonansi mulai terasa.
Tangan kirinya sedikit gemetar.
Di bawah kulit pucatnya, cahaya hitam samar mulai menyebar perlahan—berdenyut seperti sesuatu yang hidup.
> ...Harga akan segera datang.
Dan jauh di dalam kompleks sekolah—di ruang tertutup perpustakaan teknik tingkat tinggi—seorang guru tua perlahan membuka matanya.
Ia menatap ke arah jendela, meski tak ada apa pun di balik kaca berdebu itu.
> “Akhirnya… murid itu mulai melangkah.”
Malam turun seperti tirai hitam.
Langit menggumpal pekat tanpa bintang.
Angin membawa aroma tanah basah dan bunga kamboja tua yang gugur satu per satu, senyap.
---
Di lantai tiga barak murid kelas buangan, hanya ada satu kamar yang lampunya masih menyala.
Cahayanya redup, nyaris padam. Namun di balik jendela yang terbuka, duduklah Arya Bima.
Tubuhnya bersila, napas teratur.
Di hadapannya, di atas lantai, melayang sebuah batu kecil berwarna gelap, retakan merah samar berdenyut pelan di permukaannya.
Tangannya gemetar sedikit.
Bukan karena takut—tapi karena energi asing yang terus berputar di dalam tubuhnya,
seperti pusaran air hitam yang tak pernah berhenti.
> “Satu pukulan, satu harga.”
“Satu langkah, satu bayaran.”
“Bukan sistem yang memberiku kekuatan.
Tapi akulah yang memilih:
apa yang layak, dan apa yang harus dibayar.”
---
Tubuh Arya mulai berkeringat dingin.
Cahaya hitam merambat perlahan dari punggungnya, menyusuri tulang belakang, naik ke tengkuk, lalu menyebar ke wajah—membentuk pola samar, seperti urat tinta yang bergerak di balik kulitnya.
> “Harga hari ini: tiga puluh dua titik meridian terpaksa terbuka lebih awal.”
> “Efek samping: kelelahan saraf, pelemahan struktur tulang, nyeri memori jangka pendek, dan... gangguan emosional selama 4 jam.”
Matanya berkedip pelan.
Lalu ia tertawa kecil. Tertawa pertamanya hari itu.
> “Gangguan emosional, ya?”
“Sialnya... aku memang sudah rusak dari awal.”
---
Batu hitam itu perlahan turun, berhenti berputar.
Cahaya samar di dalamnya meredup.
Dengan tenang, Arya menaruhnya kembali ke dalam kotak kayu kecil, lalu menguncinya dengan tiga lapis segel pribadi—satu di setiap sisi, satu di dalam.
Di luar jendela, hujan mulai turun pelan.
Mengetuk-ngetuk genting seperti detak waktu yang terlalu sabar.
Arya bangkit, melangkah ke rak kayu sederhananya.
Di sana tergantung secarik kain lusuh—bergambar lambang sebuah sekte tua: Sekte Keluarga Bima, yang telah lama dilenyapkan… dan dicap pengkhianat.
Ia menyentuh kain itu perlahan.
Bukan dengan kesedihan.
Bukan pula dengan dendam.
Tapi dengan ketenangan.
> “Besok, mereka akan mulai bertanya-tanya.”
“Minggu depan, mereka akan mulai curiga.”
“Dan bulan depan… mungkin mereka akan mencoba membunuhku.”
Ia terdiam sejenak.
> “Biarlah.”
“Mereka boleh menyiapkan segalanya…”
Tatapannya menembus gelap, tajam, tak bergeming.
> “…tapi mereka tak akan pernah siap untuk harga yang bersedia aku bayar.”