bab 2

Pagi itu, langit terlihat lebih cerah dari biasanya.

Namun bagi murid kelas buangan, cahaya pagi bukan pertanda harapan—

melainkan isyarat bahwa hari baru untuk diuji dan dipermalukan telah tiba.

Di aula simulasi Akademi Langit Timur, murid-murid berkumpul dalam kelompok.

Hari ini bukan sesi latihan fisik biasa.

Hari ini adalah Ujian Simulasi Survival —

sebuah misi tiruan berbasis ilusi,

namun dengan efek nyata pada tubuh dan jiwa.

Gagal dalam simulasi tak hanya berarti kehilangan poin.

Tapi juga bisa berarti kehilangan kesempatan untuk tetap tinggal di akademi.

"Perhatian!"

Instruktur utama berdiri di depan podium batu, mengenakan jubah merah tua yang menandakan otoritas penuh.

“Simulasi akan diatur oleh Sistem Jiwa Cermin.

Kalian akan dilempar ke dunia buatan—dengan misi, musuh, dan keputusan yang nyata.”

> “Kelompok dibentuk berdasarkan tingkatan kultivasi dan catatan akademik.”

---

Layar proyeksi sihir menyala di atas aula, perlahan memetakan nama-nama murid.

[Pemetaan Kelompok Ujian]

Raka → Grup 1 (Elite)

Nadira (Peringkat 3) → Grup 1

Seno, Alaric, Juno → Grup 2, 3, 4...

Hingga akhirnya, di bagian paling bawah daftar—

baris yang tak diwarnai, tanpa simbol kehormatan.

Grup 9 – “Tanpa Kode Sistem”

Arya Bima (Tidak Terkalsifikasi)

Simulasi: Random – Tingkat Kesulitan Tidak Terdeteksi

Status Misi: EXPERIMENTAL FIELD

Murid-murid mulai berbisik.

Suara mereka berdesakan, penuh nada cemas dan penasaran.

> “Grup Sembilan? Itu bahkan nggak ada tahun lalu.”

“Random? Sistem bahkan nggak bisa deteksi tingkat bahayanya?”

“Dia… dijadikan kelinci percobaan…”

---

Instruktur tak memberikan penjelasan.

Ia hanya menatap Arya sambil menyunggingkan senyum tipis—terlalu tenang untuk situasi seperti ini.

Dan Arya… tetap diam.

Tanpa tergesa, ia melangkah menuju ruang masuk simulasi—lorong sihir yang menyala redup, berdenyut seperti nadi.

Saat melewati Raka, pemuda itu membisikkan satu kalimat:

> “Selamat mati.”

[Simulasi Dimulai]

Lokasi: Lembah Kematian Tiruan

Misi: Bertahan selama 12 jam dan ambil Kristal Jiwa Liar

Bahaya: Level Tidak Diketahui

---

Ketika Arya membuka matanya, ia sudah berdiri di tengah hutan berkabut.

Kabutnya pekat dan berat, seolah menyelimuti segalanya dengan kesunyian yang dalam.

Tak ada suara.

Tak ada penjelasan.

Tak ada peta.

Bahkan sistem tidak menampilkan antarmuka seperti biasanya.

Arya melangkah perlahan, menyusuri tanah basah dan dedaunan lembap.

Langkahnya ringan, tapi setiap gesekan angin ia dengarkan.

Suara burung terdengar… sebentar.

Lalu menghilang—tiba-tiba.

Mati seketika.

> “Hutan ini… terlalu senyap.”

Dalam hitungan detik, tiga bayangan hitam melompat turun dari antara pepohonan.

> “Binatang Ilusi Kelas-Tiga: Bayangan Merah.”

Cakar-cakar mereka menyambar dari segala arah, meninggalkan jejak merah yang menggores udara seperti luka terbuka.

Tiga lawan sekaligus.

Dalam simulasi normal, bahkan satu saja sudah cukup untuk membuat murid kelas menengah terluka serius.

Tapi Arya tak mundur.

Ia hanya melangkah. Sekali.

> Langkah Tak Terdaftar.

Cakar pertama menembus bayangan.

Cakar kedua… terpental ke samping, tak menyentuh apa pun.

Cakar ketiga — terhenti.

Tertangkap oleh tangan kirinya.

Dengan satu gerakan, Arya memutar pergelangan dan menekuk tubuh makhluk itu ke tanah.

Retak!

Tanpa kobaran energi.

Tanpa sorotan teknik.

Hanya bunyi patahan yang sunyi.

Dan makhluk itu… tidak bangkit lagi.

Namun, sesuatu yang aneh mulai terjadi.

Langit simulasi—yang seharusnya stabil dan terprogram—mulai bergetar perlahan.

Seperti tirai tipis yang diremas angin tak terlihat.

Sistem simulasi mendeteksi anomali:

> [⚠️ Kesalahan Pembacaan: Energi Tidak Terdaftar]

[⚠️ Sumber Kekuatan: Tidak Diketahui]

[⚠️ Kesalahan Fungsi. Memulai ulang… Gagal.]

--

Arya melanjutkan langkahnya.

Tanpa mempercepat. Tanpa memperlambat.

Seolah ia sudah tahu ini akan terjadi.

> “Simulasi ini... bukan sekadar ujian biasa.”

> “Ini adalah jebakan. Tapi bukan untuk menjebakku.”

Tatapannya menembus hutan yang mulai retak.

> “Ini adalah pengukur. Untuk sesuatu… yang bahkan mereka tak pahami.”

Beberapa jam kemudian, Arya berdiri di depan air terjun tiruan—suara derasnya memantul di antara tebing batu buatan.

Di balik celah sempit di dinding batu, ia menemukan Kristal Jiwa Liar—objek utama dari misi.

Tapi tepat saat tangannya menyentuh kristal itu, dunia kembali bergetar.

Namun kali ini… bukan sistem sekolah yang berbicara.

Sebuah suara muncul langsung dalam pikirannya. Dalam. Dalam sekali.

Seolah berasal dari inti dirinya sendiri.

> “Misi selesai. Tapi kamu bisa lebih.”

“Bayar dua hari hidupmu… dan kamu akan bisa membaca jalur energi di seluruh simulasi.”

---

Arya memejamkan mata. Napasnya tenang.

> “Dua hari, ya?”

Ia tersenyum kecil.

> “Terlalu murah.”

Arya menjentikkan jarinya ke arah kristal.

Sentuhan kecil. Tanpa tekanan. Tanpa ledakan.

Dan seketika… dunia simulasi runtuh.

Kabut menghilang.

Langit terpecah seperti cermin yang dibanting.

Air terjun berhenti mengalir di tengah udara.

---

> [⚠️ Sistem Simulasi Gagal Memproses Akhir Misi]

[⚠️ Rekaman Tidak Tersedia]

[⚠️ Peserta: Arya Bima – Dikeluarkan Otomatis]

---

Di luar ruang simulasi, guru-guru besar berkumpul di depan layar pemantauan utama.

Namun tampilan hanya menunjukkan kabut hitam, tak bergerak.

Rekaman tak bisa diputar. Data… kosong.

> “Sistem kita tidak bisa membaca aksinya.”

“Simulasi runtuh total—padahal itu arena buatan terkuat yang kita miliki.”

“Siapa sebenarnya murid itu…?”

Dan di kamar kecilnya malam itu, Arya menulis di buku kecilnya yang mulai penuh dengan huruf-huruf rapi.

> Simulasi bukan untuk kelulusan.

Itu untuk mengukur… apakah aku masih manusia.

Hari ini, aku hanya membayar dua hari umur.

Tapi yang kutemukan… jauh lebih berharga.

---

Sementara itu, jauh di balik perpustakaan utama, di ruang observasi rahasia yang tersegel dengan tujuh lapis formasi, tiga guru besar berdiri dalam keheningan.

Proyektor sihir di tengah ruangan terus berkedip.

Peta simulasi—yang seharusnya menampilkan jalur Arya Bima—

hanya menunjukkan titik kosong, bergerak acak tanpa pola.

Seolah bukan makhluk hidup… tapi keretakan sistem itu sendiri.

Seorang guru berjubah hijau gelap mengerutkan kening.

> “Simulasi Level Empat… runtuh hanya karena satu murid tak terklasifikasi.”

Guru satunya menambahkan, lebih pelan:

> “Kita pernah melihat murid berbakat.

Tapi ini… adalah sesuatu yang berbeda.”

Dan yang tertua di antara mereka, Tuan Reksamitra —

Kepala Bidang Observasi Teknik Tingkat Lanjut —

menatap kosong ke dinding batu.

Suara napasnya berat, seolah ia tak hanya melihat hasil… tapi juga masa depan.

> “Ini bukan kekuatan yang dia kendalikan.”

“Ini kekuatan yang… memilih dia.”

Sementara itu, di asrama murid bagian timur, kabar tentang kerusakan sistem simulasi menyebar secepat angin badai.

Murid-murid dari berbagai kelas berkumpul dalam bisik-bisik cemas dan penasaran.

Dan tentu saja — nama Arya Bima menjadi pusat semua pembicaraan.

> “Serius? Sistemnya error?”

“Dan penyebabnya… dia lagi?”

“Apa yang sebenarnya dia lakukan di dalam sana…?”

---

Di salah satu sudut ruangan, Raka duduk diam dengan kepala tertunduk.

Namun tangannya menggenggam erat—urat di lengannya menegang.

Matanya tak berkedip, menatap ke arah jendela yang hanya menampilkan malam.

> “Dia tidak boleh terus dibiarkan hidup seenaknya…”

“Kalau sistem tak bisa membacanya…”

“Maka kita yang harus menghentikannya.”

Di sisi lain kampus, jauh dari gemuruh latihan dan hiruk-pikuk kabar, Arya duduk sendiri di tepi sungai kecil di belakang Akademi Langit Timur.

Tempat itu tersembunyi. Sepi. Bahkan sebagian besar murid tak tahu tempat ini ada.

Air mengalir tenang, tapi udara malam mengandung sesuatu yang berbeda.

Diam yang menggantung… bukan ketenangan, tapi tekanan.

Arya perlahan menggulung lengan bajunya.

Di balik kulit pucatnya, garis hitam samar masih terlihat. Tapi malam ini, garis itu berdenyut. Perlahan. Seperti makhluk hidup yang tidur… tapi siap bangun.

> “Dua hari umur...” bisiknya pelan.

“Aku sudah terbiasa.”

---

Tapi malam ini… berbeda.

Kepalanya terasa berat.

Napasnya tak stabil.

Denyut garis hitam semakin cepat… dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, sesuatu muncul dalam pikirannya.

> [Sistem: Harga Telah Dibayar]

[Pecahan Takdir Ditemukan – Fragmen 01]

Sebuah suara muncul—dalam kepalanya. Dalam jiwanya.

Tak bergema. Tak bergaung. Tapi mutlak.

> “Apakah kamu ingin melihat masa lalu?”

Arya tak langsung menjawab.

Angin malam menyentuh wajahnya. Sungai mengalir seperti biasa. Tapi di dalam dirinya, sesuatu diam-diam berubah.

> “Jika aku lihat… bisakah aku mengubahnya?”

> [Tidak.]

Sunyi sejenak.

Lalu ia mengangguk perlahan.

> “Kalau begitu... tunjukkan.”

Matanya menutup.

Dan seketika, dunia runtuh ke dalam dirinya sendiri.

---

Ia melihat dirinya sendiri — lebih muda sepuluh tahun.

Tubuh kecil berdiri di tengah kobaran api yang memakan langit.

Suara jeritan di kejauhan. Cahaya merah menyapu segala arah.

Dan di antara nyala yang menyayat, siluet seorang pria berdiri tegak… bersimbah darah.

> “Ingat, Arya.”

“Kekuatan bukan untuk disembah… tapi untuk dipilih.”

Suaranya berat. Lembut. Dan terakhir.

---

Lalu… gelap.

---

Arya membuka mata.

Napasnya tersengal. Peluh membasahi wajah dan leher.

Dadanya naik turun, jantung berdebar cepat —

bukan karena takut… tapi karena ingatan itu nyata.

> “Itu… bukan mimpi.”

“Itu… memori yang disegel.”

Ia berdiri.

Memandang air sungai yang mengalir lambat di bawah cahaya malam.

> “Kalau begitu… kalian bukan hanya membunuh ayahku…”

“…kalian juga mengambil bagian dari jiwaku.”

Tangannya mengepal. Tapi wajahnya tetap tenang.

Bukan dendam yang membakar — tapi tekad yang membeku.

> “Dan sekarang… aku mulai mengambilnya kembali.”

---

Malam terus bergulir.

Kampus tenggelam dalam gelap, kecuali lampu-lampu roh kecil yang melayang di atas jalan setapak, berkedip pelan seperti napas dunia yang hampir padam.

Di kamar kecil terpencil, Arya Bima duduk sendiri.

Tubuhnya lelah, bahunya sedikit merosot.

Tapi matanya tetap terbuka, menatap kosong ke dinding kayu yang kasar —

seolah sesuatu di balik sana terus memantul, mengetuk perlahan dari dalam dirinya sendiri.

> “Kenangan itu... seharusnya tidak bisa kembali.”

“Aku sendiri yang menguncinya.”

Diam sejenak.

> “Tapi sistemku… tidak tunduk padaku.”

Di atas meja kecil kayu tua, tergeletak buku catatan lusuh —

halaman berikutnya kosong, menunggu diisi.

Namun malam ini… Arya tak langsung menulis.

Tangannya menggenggam pena, tapi tak bergerak.

Seolah kalimat yang akan ditorehkan terlalu berat untuk diakui.

Terlalu jujur. Terlalu dalam.

Akhirnya, pelan… ia goreskan tinta hitam di atas putih kertas:

> Hari ini, aku melihat api.

Api yang seharusnya telah padam bersama malam itu.

Dan dari api itu…

aku akhirnya melihat alasan kenapa aku masih hidup.

---

Tinta pada huruf terakhir sedikit buram.

Basah.

Entah karena hujan yang menerobos dari celah jendela,

atau karena sesuatu yang jatuh dari matanya sendiri.

Tak ada yang tahu.

Dan Arya tak ingin tahu.

Tiba-tiba… sesuatu bergerak.

Arya berdiri.

Tatapannya tajam seketika, seperti mata binatang yang diburu — atau yang baru saja menemukan pemburunya.

Dari sudut jendela, seberkas bayangan melesat di atas atap-atap kampus.

Tak ada suara. Tak ada aura.

Namun Arya… bisa merasakannya. Seolah udara sendiri memberi tahu.

> “Pengamat?”

---

Ia melangkah keluar. Tanpa suara. Tanpa terburu-buru.

Langit malam dipenuhi awan kelabu. Lampu roh menggantung seperti kunang-kunang spiritual.

Langkah Arya membelah diam, mengikuti jejak nyaris tak terlihat — bukan dengan mata, tapi dengan intuisi yang diasah oleh harga dan pilihan.

Sampai akhirnya ia tiba… di pelataran menara observasi lama —

tempat yang bahkan guru tidak lagi kunjungi.

Di sana… berdiri sosok berjubah hitam.

Wajahnya tersembunyi di balik tudung, hanya rambut panjang berwarna abu yang mencuat lembut di sisi kepala.

Angin malam tak berani menyentuh mereka.

Sosok itu perlahan membalikkan tubuh.

> “Kau… tidak seperti yang mereka katakan.”

“Bahkan aku nyaris tak bisa mencium auramu.”

---

Arya tak menjawab. Hanya berdiri diam.

Tatapannya tenang. Tapi siaga.

Sosok itu melanjutkan, suaranya tenang… tapi seperti menyentuh akar dunia.

> “Kau tahu kenapa mereka mengujimu dengan simulasi yang tak bisa dibaca?”

> “Karena mereka ingin memastikan satu hal…”

> “…apakah kau bagian dari Pecahan Lama…”

“…atau sesuatu yang jauh lebih tua.”

Angin malam berdesir pelan.

Daun-daun kamboja tua berguguran tanpa suara.

Arya mengerutkan alis, suaranya rendah… nyaris tak terdengar:

> “Kau siapa?”

Sosok berjubah itu hanya tersenyum samar.

Senyuman yang bukan kebahagiaan — tapi kesadaran akan sesuatu yang belum bisa diucapkan.

> “Aku bukan musuh.”

“…Belum.”

---

Dan sebelum udara sempat bergetar, sosok itu… menghilang.

Bukan dengan gerakan.

Tapi seperti kabut yang dikembalikan ke langit.

---

Arya berdiri diam cukup lama.

Angin menyentuh ujung jubahnya. Tapi matanya tetap tertuju ke langit gelap — seolah mencoba membaca sesuatu yang tak tertulis.

> “Mereka mulai bergerak.”

“Dan aku… belum cukup siap.”

Keesokan paginya.

Arya duduk tenang di aula pelaporan, di barisan paling belakang.

Instruktur berdiri di podium batu, membaca hasil ujian simulasi dengan nada datar.

> “Raka: 70 poin.”

“Nadira: 82 poin.”

“Arya Bima…”

Suara itu terhenti sejenak.

Seluruh aula menoleh — bukan karena penasaran, tapi menunggu bahan tertawaan.

> “…TIDAK TERCATAT.”

“Tidak ada nilai.”

---

Gelak tawa meledak.

Beberapa murid bersorak, menepuk meja.

Yang lain tertawa sambil menunjuk ke arah Arya.

Namun instruktur itu… menunduk sedikit, menyembunyikan selembar kertas kecil di balik tumpukan laporan resmi.

Dengan tinta merah yang tak dibacakan:

> “Dikeluarkan paksa oleh sistem.”

“Subjek terlalu tidak stabil untuk diukur.”

---

Arya tidak bicara.

Ia berdiri. Membalikkan badan.

Melangkah keluar dari aula… tanpa tergesa.

Tapi saat melewati lorong kayu menuju pintu belakang, matanya menangkap sesuatu di salah satu tiang penyangga:

Goresan kasar. Tulisan paksa. Tapi jelas:

> “Kami sedang mengawasi.

Bayangan sepertimu tidak boleh bersinar.”

---

Tatapannya tak berubah. Tapi jemarinya mengepal pelan.

> “Kalian boleh mengawasi…”

“Tapi kalian tak bisa menghentikan.”